Mengenang Ratih Purwarini, Dokter dan Aktivis Perempuan yang Gugur Karena Corona

Semua tak menyangka Ratih Purwarini pergi dengan cepat. Beberapa hari sebelumnya ada yang masih berkirim pesan di Whats App, namun setelah itu Ratih tak pernah kembali karena Covid-19. Ratih Purwani tak hanya seorang dokter, namun ia adalah aktivis perempuan yang selama ini ikut memperjuangkan stop kekerasan seksual terhadap perempuan

*Aprelia Amanda- www.Konde.co

Sedih lalu menangis sendiri adalah sesuatu yang dirasakan salah satu relawan Komnas Perempuan, Nike ketika tahu dr. Ratih Purwarini meninggal dunia.

Nike dan Ratih pernah sama-sama menjadi relawan di Komnas Perempuan di tahun 2014-2017.

Bahkan beberapa hari sebelumnya, mereka masih saling mengirim pesan melalui Whats App. dr. Ratih adalah sosok yang senang berbagi kabar dengan teman-temannya. Ketika dinyatakan positif Covid-19 ia juga mengabarkannya lewat grup whats App. Namun tiba-tiba ada kabar masuk tentang kondisi dr. Ratih, namun kali ini bukan dr. Ratih sendiri yang mengabarkannya. dr. Ratih sudah meninggal dunia pada saat pesan itu sampai.

“Aku sedih dan hopeless. Padahal kita sama-sama tinggal di Serpong, tapi aku gak bisa dateng. Aku gak bisa peluk. Aku terpukul karena itu,” gumam Nike ketika mendapat kabar bahwa Dr. Ratih Purwarini meninggal karena Covid-19. Nike hanya bisa menangis.

Ratih Purwarini adalah salah satu dokter yang gugur di garis terdepan saat melawan Covid-19. Tidak hanya kiprahnya sebagai dokter yang berani menghadapi wabah global, namun juga dedikasinya bagi perempuan korban kekerasan.

Ratih menjadi relawan di Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sejak 2014 sampai 2017. Kemudian ia mendirikan Akara Perempuan, sebuah lembaga layanan bagi para perempuan korban kekerasan. Dedikasinya bagi Komnas Perempuan menumbuhkan rasa kehilangan yang dalam bagi rekannya, seperti yang dirasakan Nike dan Winda.

Nike mengenang pertemuannya pertamannya dengan dr. Ratih Purwarini saat manjadi relawan di Komnas Perempuan. Pertemuannya bermula ketika dr. Ratih mendaftar menjadi relawan Komnas Perempuan pada tahun 2014.

Melewati hari demi hari bersama menjadi relawan Komnas Perempuan dan kuliah di Kajian Gender Universitas Indonesia membuat Nike punya banyak kenangan bersama Dr. Ratih. Mami Ratih, sapaan hangat Nike untuk dr. Ratih.

Bagi Nike, dr.Ratih adalah orang yang bisa membuat semua orang dekat dengannya. Ia hebat dalam membangun relasi personal dan ia juga lucu.

Sama-sama memiliki lembaga layanan yang bergerak di isu perempuan membuat Nike dan dr. Ratih sering bertukar pikiran. Nike mambangun HelpNona, sebuah platform yang memberikan informasi tentang kekerasan dalam relasi romantis dan tempat sharing bagi para penyintas.

“Di HelpNona, Mami Ratih bantu bikin artikel. Karena dia dokter, dia sering bikin artikel tentang apa sih yang harus dilakukan ketika mengalami kekerasan fisik dan gimana bikin rekam medisnya. Kalau ada kasus yang masuk ke HelpNona aku juga sering diskusi sama dia”, ujar Nike.

Mendapat kabar itu Nike bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.

“Aku sedih dan hopeless. Padahal kita sama-sama tinggal di BSD tapi aku gak bisa dateng. Aku gak bisa peluk. Aku terpukul karena itu,” gumamnya.

Winda Junita Ilyas, Koordinator Unit Pengaduan untuk Rujukan, Komnas Perempuan turut berbagi cerita tentang kenangannya bersama dr. Ratih ketika di Komnas Perempuan.

Winda ingat saat acara Caring for Caregivers tahun 2017, dr. Ratih duduk di sebelahnya dan mereka saling membelai punggung masing-masing untuk merasakan apa yang satu sama lain alami. Caring for Caregivers adalah agenda rutin yang diadakan Komnas Perempuan setiap tahunnya untuk mempererat hubungan antar sesama dan healing dari banyaknya laporan kasus kekerasan yang diterima Komnas Perempuan.

Di mata Winda, dr. Ratih merupakan sosok yang periang, penuh semangat, pembelajar, dan mampu memberikan energi positif di sekitarnya.

“Kayaknya energinya ada terus gitu. Setiap ketemu, dia pasti selalu menebar senyum, ketawa, dan canda. Jadi siapa pun yang ketemu dia pasti merasa dekat. Dia dokter yang luar biasa”, ujar Winda.

Winda pun kaget dan gemetar ketika mendapat kabar dr. Ratih meninggal. Ia berusaha mengonfirmasi kabar tersebut kemana-mana. Menanyakan apakah kabar itu benar atau tidak. Dan akhirnya ia dapat jawaban bahwa dr. Ratih benar-benar meninggal dunia.

”Aku nangis dan lihat lagi chat whatsapp ku sama dia tepat seminggu sebelumnya. Aku tanya soal rujukan, dia masih balas. Namun saat itu kondisinya sudah sakit dan batuk parah,”ujar Winda.

“Aku sempat chat dia lagi tangal 27 Maret untuk tanya kabar. Tapi udah gak dibalas. Sampai sekarang kalo aku ingat dia aku masih nangis”, tambah Winda.

Dr. Ratih tidak hanya meninggalkan kenangan indah bersama Nike dan Winda, tapi juga kepada seluruh orang di Komnas Perempuan. Banyak kontribusi yang telah dilakukan dr. Ratih bagi Komnas Perempuan.

Nike yang merupakan teman sesama relawan melihat dr. Ratih sudah menjadi sosok yang mencapai tujuan utama relawan UPR Komnas Perempuan dengan mendirikan Akara Perempuan. Sedangkan bagi Winda, dr. Ratih bukan hanya berkontribusi ketika masih di Komnas Perempuan saja tapi juga setelahnya. Banyak kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang dirujuk Komnas Perempuan ke Akara Perempuan.

“Salut, karena Mbak Ratih mendedikasikan dirinya untuk perempuan korban kekerasan di tengah kesibukannya sebagai dokter bahkan kepala rumah sakit. Seingat aku, Mbak Ratih belum pernah menolak kasus yang kami rujuk ke Akara Perempuan. Bagiku Mbak Ratih bukan hanya pahlawan dalam melawan Covid-19, dia juga Women’s Human Rights Defender (WHRD)”, tutup Winda.

Saat ini terdapat 44 tenaga medis Indonesia yang terdiri dari 32 dokter dan 12 perawat yang meninggal karena Pandemi Covid-19. Beberapa meninggal karena minimnya Alat Pelindung Diri (APD) yang kurang memadai.

Banyak pekerja medis yang kemudian berkampanye melalui sosial media agar masyarakat berada di rumah, karena jika berada di luar, akan semakin banyak masyarakat yang sakit, kondisi rumah sakit penuh dan pekerja medis harus merawat pasien yang jumlahnya lebih banyak lagi.

Pekerja medis ini, ada yang sudah 1 bulan tak pulang, bahkan ada yang hampir 2 bulan. Semua menghabiskan waktu bekerja di rumah sakit untuk merawat pasien.

(Foto: Facebook Ratih Purwarini)

*Aprelia Amanda, biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!