Solidaritas dalam Pandemi di Kelompok LGBT

Saat ini terdapat lebih dari 640 transgender yang hidup di Jabodetabek yang kehilangan pekerjaan dalam pandemi Corona, ini membuat mereka tak mampu lagi untuk makan dan terancam kehilangan tempat tinggal

*Tika Adriana- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Kurang lebih seminggu 2 kali, aktivis Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, and Questioning (LGBTIQ), Hartoyo dari Perkumpulan Suara Kita menawarkan sejumlah barang pre-loved melalui facebook. Beberapakali saya mengikutinya.

Barang-barang pre-loved atau barang pantas pakai ini kebanyakan berupa tas, yang dikumpulkan Perkumpulan Suara Kita dari donasi di berbagai macam kalangan. Setelah dikumpulkan, mereka kemudian menjualnya melalui facebook, untuk menghindari pertemuan. Transaksi dana kemudian dilakukan melalui transfer melalui rekening bank dan Perkumpulan Suara Kita kemudian mengirimkan barang yang sudah terbeli.

Nia Dinata, merupakan salah satu artis yang mendonasikan sejumlah tasnya untuk dijual disini. Hartoyo dan organisasinya kemudian menjual barang-barang ini, yang kemudian dari hasil jualannya didonasikan untuk kelompok LGBTIQ yang terdampak Covid-19. Donasi yang terkumpul dan distribusinya kemudian dipublikasikan melalui sosial media agar informasinya bisa diakses semua orang.

Bantuan yang disalurkan ini bentuknya bermacam-macam, ada Sembako, ada juga nasi bungkus dan juga uang. Ini memperlihatkan banyaknya kelompok rentan yang mau makan saja sulit, apalagi dengan harga makanan yang saat ini melambung tinggi.

Rikky Muhammad Fajar bersama Sanggar Seroja dan Queer Language Clb (QLC) yang selama ini berjuang untuk kelompok LGBTIQ terlebih waria, juga melakukan solidaritas yang sama dengan cara membuka donasi.

Awalnya di tanggal 20 Maret 2020, salah satu waria di Bukit Duri, Jakarta kehilangan mata pencariannya dalam merias. Kebanyakan waria yang tinggal di Bukit Duri bekerja merias dan mengamen.

Sanggar Seroja dan QLC kemudian berinisiatif untuk membantu menggalang dana. Kebutuhannya adalah untuk makan atau menyambung hidup para waria. Hal ini disambut sangat baik oleh waria yang lain yang juga kehilangan penghasilan, tak ada penghasilan bagi perias. Waria pengamen juga mengalami hal yang sama, kondisi kota Jakarta yang semakin sepi membuat mereka kehilangan penghasilan, tak ada lagi yang memberikan uang di jalan bagi pengamen karena semua orang sudah berada di rumah.

Waria yang mengamen, dari pagi hingga sore hanya mendapatkan uang Rp. 50 ribu, itu sudah dikurangi dengan menyewa alat musik untuk mengamen Rp. 15 ribu. Otomatis mereka seharian hanya mendapatkan Rp. 35 ribu untuk makan dan transport saja.

Rikky dan Dian dari QLC kemudian mendata berapa waria yang harus didonasi ketika melihat kondisi ini, dan mulai mengumpulkan dana dari individu, komunitas dan organisasi.

Kurang lebih ada 120 yang memberikan bantuan, ada dari organisasi kemanusiaan, individu yang selama ini banyak bekerja di isu kemanusiaan, sampai komunitas menulis juga ikut membantu penggalangan. Kurang lebih ada 65 waria yang harus dibantu.

“Bantuan datang dari individu, komunitas dan organisasi. Ada yang menuliskan kampanye seperti kelompok penulis, sampai menyebarkan di sosial media dan yang lainnya mengelola uang,” kata Rikky.

Setelah terkumpul dananya, mereka memutuskan untuk membelanjakan uangnya dan memasak nasi bungkus sederhana. Yang penting kata Rikky, ada nasi, sayur dan tahu atau tempe. Jika dananya lebih, mereka bisa memasak telur sebagai pengganti tahu atau tempe. Nasi bungkus ini kemudian dibagikan pada 65 waria untuk makan pagi dan sore di Bukit Duri. Mereka bersama memasak dan membagikannya.

Namun kegiatan ini hanya bisa mereka lakukan dari tanggal 25 Maret sampai 10 April 2020 saja, karena harus berhenti. Mengapa kegiatan ini berhenti? karena ada aturan untuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari Pemerintah DKI Jakarta. Mereka tak boleh lagi berkumpul untuk memasak. Maka sejak itulah, bantuan nasi bungkus ditiadakan karena tak bisa lagi memasak bersama.

Maka setelah itu, Sanggar Seroja dan QLC kemudian mengirimkan bantuan berupa Sembako pada pada waria yang dikirimkan 3 hari sekali. Total waria yang mendapatkan Sembako 82 orang termasuk warga sekitar yang membutuhkan pertolongan karena rata-rata warga di Bukit Duri bekerja di sektor informal seperti berdagang.

Saat ini, selain mengirimkan Sembako, mereka juga sedang berusaha untuk mendapatkan dana dari Proogram Keluarga Harapan (PKH) yang merupakan program bantuan dari pemerintah bagi para warga disini. Untuk waria yang belum punya identitas DKI Jakarta, akan dibantu untuk mendapatkan surat izin tinggal agar bisa mengakses dana ini. Sanggar Seroja dan QLC kemudian membantu dalam mengurus ini.

Pandemi Corona atau Covid-19 ini memang merupakan situasi yang sangat buruk bagi LGBTIQ. Sebelum pandemi, kelompok ini banyak yang tersingkir dari dunia kerja. Pengin kerja kantoran susah, mau kerja di pabrik juga susah, apalagi bagi kelompok waria, ini semua karena identitas gendernya. Umumnya mereka kemudian bekerja mengamen atau bekerja di salon.

Jika dalam situasi negara dalam kondisi normal saja mereka sudah sulit hidup, maka dalam situasi pandemi Corona, hidup mereka pasti lebih buruk.

Kepada Konde.co, Khanza Vinna, aktivis yang fokus pada penanganan krisis bagi komunitas LGBTIQ di Indonesia, menceritakan tentang pengalamannya saat membagikan donasi kepada kawan-kawannya di Depok. Disana ia didiskriminasi karena statusnya sebagai LGBTIQ.

Meski donasi telah dibagikan, tapi pembagian donasi itu sempat ditolak oleh warga karena kelompok LGBTIQ dianggap menjadi pembawa Virus Corona atau Covid-19. Bayangkan saja, berbuat baikpun masih dicurigai. Ini memperlihatkan cara pandang yang sangat stereotyping terhadap LGBTIQ.

Wabah Covid-19 membuat kondisi kelompok minoritas gender dan seksual semakin rentan. Hidup mereka yang selama ini di bawah garis kemiskinan, pendapatannya makin tak menentu dan kian sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena tak sedikit dari mereka yang bekerja di sektor informal.

“Situasinya sangat memprihatinkan karena mayoritas teman-teman ini kan kerjanya di jalan seperti pekerja seks, pengamen, dan penjual jasa lainnya. Nah, ketika ada instruksi sosial distancing, lalu work from home, itu enggak bisa dilakukan oleh teman-teman,” ungkap Khanza kepada Konde.co, Senin (6/4/2020).

Menurut hitungan Khanza, saat ini ada lebih dari 640 transgender hidup di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Kehilangan pekerjaan dalam pandemi ini membuat mereka tak mampu membeli makan dan terancam kehilangan tempat tinggal.

Bukan itu saja, konstruksi sosial heteronormatif pun membuat keberadaan mereka makin terhimpit karena tak bisa mengakses bantuan Sembako akibat identitas gender mereka. Padahal LGBTIQ juga warga negara yang memiliki hak setara dengan masyarakat lainnya.

“Ada beberapa teman yang mulai kesulitan membayar kos-kosan, karena banyak dari mereka tidak tinggal bersama keluarga, dan mereka juga sulit memenuhi kebutuhan pangan. Ada juga teman-teman Orang dengan HIV/ AIDS atau ODHA yang kesulitan mengakses obat karena enggak punya uang untuk bayar transportasi untuk ke penyedia layanan kesehatan,” ujar Khanza.

Khanza dan rekan-rekannya yang tergabung dalam koalisi CRM pun akhirnya berinisiatif untuk menggalang donasi bagi kelompok LGBTIQ hingga sekarang. Tujuannya agar kawan-kawan LGBTIQ bisa bertahan hidup di tengah krisis ini.

Meski kondisi keuangan mereka terhimpit dan sulit, banyak LGBTIQ yang memilih bertahan di tempat tinggalnya sekarang karena takut untuk pulang.

Kondisi yang tak pasti ini membuat kelompok masyarakat sipil seperti LGBTIQ kemudian serentak melakukan solidaritas bersama, saling meringankan beban pada yang lain, walaupun entah hingga kapan solidaritas seperti ini bisa dilakukan mengingat pandemi Corona yang belum ketahuan kapan akan berakhir.

Tak bisa mengakses bantuan dari pemerintah adalah bukti bahwa diskriminasi yang terus terjadi pada LGBTIQ.

Seperti ditulis oleh BBC (https://www.bbc.com/news/uk-52039832), lingkungan yang heteronormatif membuat LGBTIQ terjebak dalam keluarga homofobik. Mereka yang memutuskan untuk pulang, akhirnya sulit menjadi dirinya sendiri.

Jika mereka terbuka dengan keluarga mereka, maka akan ada stigma yang melekat. Hal ini tentu membuat kondisi mental mereka kian terpuruk.

Berdasarkan Catatan Kelam 12 Tahun Persekusi LGBT di Indonesia yang disusun oleh Yayasan Arus Pelangi, tercatat bahwa 88 persen korban tindak pidana adalah kelompok transpuan.

Padahal perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia merupakan milik semua warga negara, termasuk LGBTIQ, sehingga semestinya kasus-kasus kekerasan terhadap LGBTIQ bisa berakhir.

Bukan itu saja, pemerintah pun seharusnya menghentikan usaha untuk mengkriminalisasi kelompok LGBTIQ melalui beragam aturan seperti Rancangan Undang-Undang atau RUU Ketahanan Keluarga, dan RUU Anti Propaganda Penyimpangan Seksual.

(Foto: Rikky Fajar)

*Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!