Film The Half of It, Terima Kasih Telah Mengisi Kekosongan Kisah Remaja Saya

Sepertinya saya harus berterima kasih pada Alice Wu yang telah membuat film hangat untuk ditonton dalam masa karantina Corona ini. Terimakasih Alice! Film dengan cerita sederhana yang dirilis pada 1 Mei 2020 di Netflix dengan judul “The Half of It” ini adalah film tentang kisah cinta yang turut merepresentasikan hubungan lesbian dengan cara yang yang simpel namun menarik.

*Fadiyah- www.Konde.co

Film “Half of It” ini benar-benar mengisi cerita masa remaja saya sekarang, karena dulu tak mudah buat saya untuk mendapatkan film dengan tema homoseksual yang semenarik ini.

Tanpa mau menghadirkan cerita tentang hubungan cinta 2 perempuan sebagai cerita utama film, justru ini menjadi daya tarik film Alice Wu. Alice Wu, sebelumnya juga sempat menyutradarai film Saving Face (2004).

The Half of It mengisahkan tentang Ellie Chu (Leah Lewis), seorang perempuan keturunan Amerika-China yang besar dan tinggal di Squahamish, Amerika Serikat. Ia menghasilkan uang dengan cara membantu teman sekolahnya membuat esai.

Dalam suatu kesempatan, salah satu teman sekolahnya, Paul Munsky (Daniel Diemer) meminta Ellie untuk membantunya dalam membuatkan surat cinta kepada Aster Flores (Alexxis Lemire). Sementara, di sisi lain, Aster memiliki pacar, Trig Carson (Wolfgang Novogratz)—seorang laki-laki populer di sekolahnya.

Paul tak mampu memahami Aster, sebagaimana Ellie memahami Aster. Aster menggemari sastra dan seni yang juga Ellie gemari, sementara Paul tidak pernah menaruh perhatian pada hal tersebut.

Dengan itu, Ellie pun akhirnya membantu Paul lebih jauh untuk mendekatkan Aster, termasuk membuatkan pesan singkat melalui telepon genggam, mengajarkan cara berkomunikasi yang baik, hingga memberikan kursus seputar seni dan sastra.

Namun, secara diam-diam, Ellie sebetulnya menyimpan perasaan pada Aster. Saat Paul menyadarinya, Ellie langsung menyangkalnya. Di saat yang sama, Aster mulai menaruh ketertarikannya pada Paul, tetapi Paul mulai tertarik pada Ellie. Penyangkalan Ellie pun mulai berhenti saat Paul menunjukan ketertarikannya pada Ellie. Film pun memasuki konfliknya saat ketertarikan ketiga orang ini seolah tak menemukan titik tengahnya.

In case you haven’t guessed this is not a love story. Or not one where anyone gets what they want – Elle Chu

The Half of It menghadirkan kisah yang sederhana. Setiap momen yang hadir terbentuk dari karakter dari setiap tokohnya. Setiap perasaan yang dimunculkan pun hadir sebagai konsekuensi atas beberapa irisan momen yang terbentuk, maupun irisan kegemaran.

The Half of It berhasil mengisi kekosongan kisah dalam masa remaja saya, yang justru banyak diisi oleh film-film dengan cerita serupa, tetapi dengan tokoh yang berbeda, seperti High School Musical, Camp Rock, Another Cinderella Story, The Clique, Bring It On, Mean Girl, dan sebagainya, di mana imaji seputar kisah percintaan di masa sekolah dalam budaya populer hanya berputar pada pasangan heteroseksual saja.

Namun Half of It menghadirkan kisah remaja yang menggemaskan, khususnya untuk masyarakat yang masih belum terpuaskan atas film-film remaja layar lebar yang ada, termasuk saya.

I never really thought about the oppression of fitting in before. The good thing about being different is that no one expects you to be like them – Ellie Chu

Tanpa menjadikan lesbian sebagai tema utama, ataupun pusat kisahnya, Film The Half of It justru bisa menghadirkan representasi yang lebih natural terkait ketertarikan seorang perempuan terhadap perempuan lainnya.

Akses informasi seputar seksualitas dan gender tak pernah menjadi hal yang mudah untuk saya dapatkan saat remaja. Segelintir informasi tentangnya hanya saya dapatkan melalui majalah bulanan remaja, serta buku dan film yang saya konsumsi.

Dan sialnya lagi, saat itu pun, narasi yang saya dapatkan lebih banyak mengobjektifikasi perempuan secara seksual, hingga glorifikasi orientasi seksual yang dinilai berbeda.

Salah satu karya dengan bahasan seputar lesbian yang pertama saya konsumsi, saat saya duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA), adalah buku karya Haruki Murakami dengan judul Sputnik Sweetheart. Buku tersebut menuturkan kisah percintaan antara perempuan remaja dengan perempuan dewasa.

Tak lama dari situ, saya pun menemukan sebuah film yang juga mengisahkan soal hubungan romantis antara perempuan dengan perempuan lainnya. Film tersebut berjudul Blue is The Warmest Color (2013) yang disutradarai oleh Abdellatif Kechiche.

Blue is The Warmest Color bercerita tentang seorang remaja, Adèle (Adèle Exarchopoulos) yang membangun sebuah hubungan dengan seorang mahasiswa senior di bidang seni, Emma (Léa Seydoux). Di akhir saya SMA, film tersebut tengah menjadi percakapan hangat. Dan untuk pertama kalinya, saya menonton film panjang yang mengangkat kisah romantis dengan pasangan lesbian sebagai sentralnya.

Kedua karya tersebut, Sputnik Sweetheart dan Blue is The Warmest Color memberikan semacam gambaran awal bagi saya mengenai relasi pasangan lesbian. Kesamaannya, kedua karya tersebut sangat mengeksplorasi kehidupan seksual dari pasangan lesbian.

Murakami memberikan gambaran detail mengenai aktivitas seksualitasnya hingga menghabiskan berhalaman-halaman untuknya. Blue Is the Warmest Color pun menghadirkan skenario selama 10 menit yang menunjukan hubungan seksual antara Adèle dan Emma. 10 menit tersebut cukup intens dan mengeksplorasi sejumlah posisi dalam hubungan seksual.

Di awal kuliah, salah seorang teman laki-laki saya menyampaikan bahwa ia sangat menyukai film Blue Is the Warmest Color. Alasannya, film tersebut menghadirkan fantasi yang utuh seputar pasangan lesbian.

“Kalau bagi gue yang suka nonton bokep, film itu mantep banget karena bisa eksplor banyak gaya,” ujarnya.

Selain itu,kesamaan kedua karya tersebut adalah sama-sama dibuat oleh laki-laki, baik Murakami, maupun Kechiche. Saya tak pernah mendapatkan kisah drama-romantis, maupun selipan komedi, di dalamnya. Saya hanya mendapatkan gambaran seputar eksplorasi seksual dari pasangan lesbian melalui karya mereka. Gambaran mengenai lesbian yang dihadirkan seolah hanya terbatas pada fantasi para lelaki mengenai pasangan lesbian, sebagaimana yang juga diungkapkan oleh teman laki-laki saya.

Memasuki pertengahan kuliah, salah seorang teman perempuan dari komunitas film di kampus saya pun menyampaikan, “kayaknya kita perlu bikin film pendek romantic-comedy soal lesbian deh. Masa cerita soal lesbian selalu seputar seksualitas, atau proses coming out-nya,” ujarnya.

Ide film tersebut tak pernah benar-benar kami jalankan. Namun, narasi seputar hubungan lesbian yang saya temukan saat itu memang tak pernah sepenuhnya merepresentasikan kisah-kisah sederhana, atau membedah emosi yang mendalam antar-karakternya. Ia direduksi oleh para seniman laki-laki menjadi sebatas eksplorasi seksual “ala” fantasi para laki-laki.

(Foto: Wikipedia)

*Fadiyah, Jurnalis lepas di Jakarta. Kini aktif sebagai pengurus divisi gender Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. Di waktu kosong, kerap kali mengubah khayalannya jadi fiksi

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!