Perkosaan, Tak Banyak Dibicarakan Dalam Tragedi Mei 1998

Aktivis perempuan Ita F. Nadia bercerita, ada seorang korban perkosaan Mei yang masih berusia 13 tahun meninggal dunia karena diminumkan baygon oleh pihak keluarga. Keluarga tak tahan menerima tekanan & teror yang luar biasa pasca perkosaan tersebut. Setelah minum Baygon, anak perempuan tersebut meninggal dunia. Kisah tentang perkosaan yang terjadi pada Mei 98, tak banyak dibicarakan ketika orang kembali membicarakan tragedi Mei 98. Padahal ada lebih dari 152 perempuan yang menjadi korban perkosaan kala itu

*Aprelia Amanda- www.Konde.co

Mei 1998 adalah sejarah politik yang sangat pahit bagi perempuan Indonesia. Banyak perempuan dari Etnis Tionghoa menjadi korban perkosaan.

Tim Relawan untuk Kemanusiaan mengungkap sebanyak 152 perempuan yang menjadi korban perkosaan dari 85 korban kekerasan seksual dari Tragedi Mei 1998. Perkosaan besar-besaran ini tersebar di sejumlah wilayah Indonesia seperti di Palembang, Solo, Surabaya, Lampung, Medan, Tangerang dan Jakarta

Andy Yentriyani, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan, perkosaan menjadi satu cara mengancam dan satu cara penaklukan perempuan pada Mei 98. Ita Nadia dan Andy Yentriyani menyatakan ini pada diskusi online yang diadakan Jaringan GERAK Perempuan, 16 Mei 2020.

“Perkosaan lalu dijadikan pola upaya penaklukan terhadap perempuan, ini terlihat dari peristiwa 98 dan diwarisi hingga hari ini,” kata Andy Yentriyani

Sebelumnya, telah terjadi kesimpangsiuran tentang berapa sebenarnya jumlah korban perkosaan, karena trauma dan rasa takut yang dialami korban dan keluarganya membuat mereka takut untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.

Peristiwa ini juga yang terjadi pada Ita Martadinata, anak perempuan berusia 18 tahun. Ita adalah anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang mencoba bersaksi tentang perkosaan dan pembunuhan 98. Ita Martadinata juga seorang survivor. Bersama ibu dan 4 penyintas lainnya, Ita berencana akan memberikan kesaksian pada Kongres Persatuan Bangsa-Bangsa di Amerika Serikat. Namun tiba-tiba ia dibunuh secara kejam di rumahnya di Jakarta. Pembunuhan Ita adalah ancaman terhadap penyingkapan tragedi perkosaan 98.

Walaupun tidak disebutkan siapa saja pelaku perkosaan Mei 1998, namun Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 (TGPF Mei 98) mencatat bahwa kekerasan seksual telah terjadi selama kerusuhan Mei 98. Ini merupakan suatu bentuk serangan terhadap martabat manusia yang telah menimbulkan penderitaan serta rasa takut dan trauma. Kekerasan seksual terjadi karena adanya niat tertentu, peluang, serta pembentukan psikologi massa yang seolah-olah memperbolehkan tindakan tersebut dilakukan.

TGPF Mei 98 juga memverifikasi sebanyak 52 orang yang menjadi korban perkosaan, 14 orang jadi korban perkosaan dan penganiayaan, 10 orang jadi korban penyerangan seksual, dan 9 orang jadi korban pelecehan seksual

Ita Nadia adalah aktivis perempuan yang selama tahun 1998 mendampingi banyak korban perkosaan, salah satunya seorang anak perempuan keturunan Tionghoa berusia 11 tahun yang meninggal karena menjadi korban perkosaan. Ita juga melihat korban lain yang ada di Cengkareng, Jembatan Tiga Jakarta Barat dan sejumlah tempat di Jakarta. Peristiwa itu tidak akan pernah dilupakannya.

Ada sejumlah korban yang didampinginya kemudian membangun hidupnya kembali setelah hancur akibat perkosaan.

Namun yang membuat kecewa adalah, hingga saat ini banyak orang yang cepat melupakan peristiwa perkosaan Mei 98. Selama ini Ita mencoba melakukan sejumlah upaya agar orang tak melupakan perkosaan Mei 1998, karena kerusuhan Mei tak hanya cerita tentang penjarahan, jatuhnya mantan Presiden Soeharto, namun juga diskriminasi dan kekerasan seksual terhadap para perempuan keturunan Tionghoa. Peristiwa perkosaan yang merupakan tonggak kelam dimana banyak sekali perempuan yang menjadi korban.

Upaya yang Ita Nadia lakukan antaralain membawa sejarah perkosaan ini melalui pameran, melalui lagu, juga ke sekolah-sekolah.

“Sekarang mulai ada yang mengingat, tidak melupakan, banyak yang mengatakan senang karena ada yang tidak melupakan.”

Setelah 22 tahun berlalu, upaya penuntasan Tragedi Mei 1998 belum juga menunjukkan titik terang. Dalam konferensi pers Peristiwa Mei pada 13 Mei 2020 yang dilakukan Komnas Perempuan secara online disebutkan bahwa pelaksanaan rekomendasi dari berbagai mekanisme independen terkait penuntasan kasus Mei 1998 masih terkendala baik dalam aspek substansi, struktur, maupun kultur.

Komnas Perempuan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terus memantau jalannya penuntasan kasus Mei 1998. Tahun ini Komnas Perempuan menggaungkan kampanye Recalling Memory Mei 98. Recalling memory adalah upaya untuk merefleksikan kembali tragedi kelam Mei 1998. Bukan sekedar untuk mengingat-ingat atau melacak informasi masa lalu, tapi untuk melangkah ke depan dan mencari cara bersama agar kasus serupa tidak akan pernah terulang.

Komnas Perempuan, LPSK, dan seluruh stakeholder terus berupaya salah satunya mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Akhir tahun 2019 lalu banyak pihak yang sudah mengharapkan agar RUU PKS disahkan namun masih terbentur dengan narasi-narasi atas nama moral yang salah kaprah.

“RUU PKS dituduh tidak sesuai dengan moralitas bangsa Indonesia, padahal kita semua merumuskan itu berdasarkan laporan-laporan korban yang kami terima. RUU PKS disusun bukan hanya dari studi literatur tapi berdasarkan kesaksian demi kesaksian korban kekerasan yang melapor,” ujar Andy.

Dalam konferensi pers ini, Komnas Perempuan dan LPSK terus mendorong agar segera ada instrumen hukum yang berpihak kepada perempuan korban kekerasan. Tanpa adanya intrumen hukum yang punya perspektif korban maka akan sulit menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Padahal kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan terus bertambah setiap hari.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Aprelia Amanda, biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!