Empat Skenario Masa Depan Seniman Pasca Pandemi

Hingga saat ini terdapat 234 acara seni yang dibatalkan atau ditunda di masa Pandemi Covid-19, termasuk yang dilakukan para perempuan seniman dan pegiat seni. Data Koalisi Seni Indonesia (KSI) menyebutkan sebanyak 234 acara seni yang dibatalkan tersebut antaralain: 30 proses produksi, rilis dan festival film. 113 konser, tur dan festival musik. Lalu 2 acara sastra, 33 pameran dan museum seni rupa, 10 pertunjukan seni tari dan 46 pentas teater, pantomim, wayang, boneka dan dongeng. Dalam kondisi ini KSI melalui penelitian yang dilakukan Ratri Ninditya mencoba menemukan 4 skenario yang bisa dilakukan para seniman, pegiat seni pasca pandemi

Dalam kehidupan kesenian, krisis ini dengan gamblang memunculkan masalah ekosistem seni ke permukaan. Sebagai pegiat seni, tentunya kita kenal betul berbagai masalah itu:

1. Seni belum dapat menjadi penghidupan utama untuk seniman

2. Ada ketimpangan akses terhadap ruang etalase, distribusi, inkubasi karya baik bagi seniman maupun publik

3. Ketiadaan data yang terintegrasi tentang para pelaku seni dan karyanya

4. Serta anggapan umum bahwa seni hanya berfungsi sebagai hiburan dan belum dianggap sebagai bagian dari keseharian yang punya dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Dapat disimpulkan, para pelaku seni budaya adalah aktor-aktor tak tampak dalam sebuah ekosistem yang masih kurang mendapat perhatian. Dalam pemulihan pasca pandemi, seni hampir pasti jadi yang terakhir diprioritaskan.

Padahal, selama masa pandemi ini, geliat kolektif seni di banyak wilayah justru semakin tampak dan terasa dampaknya, baik dalam mengubah relasi antara seniman dan publik maupun dalam mentransformasi ruang-ruang berkesenian.

Para pegiat seni berjejaring dengan berbagai kalangan baik dari lingkungan seni maupun di luar seni untuk memobilisasi bantuan, mendata para penerima bantuan, menggunakan karya atau pertunjukan seni sebagai pemantik donasi dan apresiasi untuk para donatur, bahkan sebagai alat pemulihan krisis itu sendiri.

Menurut beberapa ahli, seni memang terbukti dapat menjaga kesehatan mental, terutama saat terkurung di rumah. Tak terhitung banyaknya komunitas seni yang terus menyediakan ruang bagi para pegiat seni untuk berdiskusi, bertukar ide, dan menampilkan karya.

Semasa pandemi, beberapa ruang kolektif seni juga bertransformasi sebagai lumbung bahan makanan dan dapur umum. Dalam ruang-ruang baru ini, praktik kesenian tidak menjadi sesuatu yang eksklusif, tapi lebur bersama gerakan sosial masyarakat.

Sebuah biopolitik demokratis yang bergerak dari bawah sedang terjadi dalam ekosistem seni, saat ketakutan digantikan solidaritas sosial dan kewajiban patuh peraturan diubah menjadi kesadaran untuk saling peduli. Kecenderungan ini juga sejalan dengan gagasan Simon Mair mengenai mutual aid society. Ia menggarisbawahi respon yang paling baik terhadap krisis terjadi di level komunitas. Skenario ini merupakan salah satu prediksinya terhadap dunia setelah pandemi, ketika pelindungan terhadap kelangsungan hidup menjadi prinsip ekonomi utama dan negara tidak mengambil peran sentral.

Di masa depan, apabila negara masih terus gagap memulihkan krisis dan mengesampingkan seni, potensi kekuatan ini tentu akan hilang. Pertanyaan berikut sering terlontar di antara pegiat seni: seniman bisa membantu masyarakat, tapi siapa yang akan membantu seniman?

Dengan jumlah korban yang masih bertambah setiap harinya, katakanlah kita harus hidup dengan COVID-19 untuk seterusnya. Dari kondisi ini, mari kita berandai-andai. Apa yang akan terjadi dengan kehidupan kesenian?

Saya membayangkan masa depan seni dalam empat skenario sederhana. Dalam keempat skenario ini, peran negara hilang, digantikan oleh swasta dan individu. Indikatornya kita ambil dari dua sumber kegelisahan dalam ekosistem seni hari ini: ruang berinteraksi (virtual atau fisik) dan relasi antarpelaku (ekonomi atau afektif).

Pada kenyataannya, keempat skenario ini sifatnya sangat mungkin beririsan, atau terjadi secara bersamaan:

Skenario 1: Seniman Konten Prekariat

Skenario ini membayangkan interaksi antarpelaku ada di ruang virtual, dengan motif ekonomi menjadi relasi utama. Dalam kondisi ini, seniman akan sibuk di depan layar, terobsesi dengan pembuatan konten sensasional setiap hari. Namun, jumlah penonton nol, karena semua orang telah menjadi seniman live streaming. Kita akan teralienasi ramai-ramai, menjadi kreator konten yang tergantikan semudah scroll. Obsesi akan status melampaui urgensi untuk memonetisasi pertunjukan. Banyak kebutuhan dasar tidak terpenuhi. Mengikuti kenaikan listrik, tarif internet akan semakin mahal, begitu pula platform streaming musik dan film. Tapi pekerja yang ada di puncak tangga lagu pun akan mendapat sedikit sekali bagian. Seniman perempuan yang menikah dan/atau memiliki anak kemungkinan besar akan berhenti berkarya. Kekerasan dalam rumah tangga terus meningkat.

Akan muncul generasi prekariat, yakni terjebak situasi tak menentu dan tak punya jaminan masa depan lebih baik, yang masif tapi tidak terlacak. Kredit macet, seniman terikat utang yang tidak akan bisa terbayar. Kalau beruntung jadi viral sesaat, maka tenaga dan idenya akan dieksploitasi oleh perusahaan tanpa imbalan seimbang. Setelah itu, dilupakan kembali. Institusi seni mapan akan dimiliki swasta. Mereka menawarkan program-program belajar seni yang lebih menarik dibanding sajian televisi publik, tapi dengan harga mahal, sehingga hanya kalangan atas yang bisa mengakses. Seni menjadi eksklusif dan banal sekaligus dengan berbagai institusi yang terikat atas dasar keuntungan ekonomi semata.

Kondisi seniman prekariat ini sejatinya sudah terjadi jauh sebelum pandemi muncul. Tapi, pandemi memperparah situasi tak menentu ini, karena tanpa ruang fisik, manusia menjadi automata, tercerabut dari kemampuannya berhubungan dengan orang lain. Tidak ada dorongan berserikat karena motif afektif tersebut hanya muncul dari interaksi di ruang fisik. Sehingga, tidak ada perlindungan akan statusnya sebagai seniman/pekerja kreatif.

Skenario 2: Gerakan Seni Virtual

Jika interaksi utama terjadi di ruang virtual dan relasi sifatnya afektif, maka akan muncul berbagai komunitas yang keterikatannya tumbuh dari masa sebelum pandemi. Mereka mungkin akan menyiasati mahalnya akses internet dengan membangun jaringan internet sendiri. Melalui berbagai platform media sosial, komunitas ini memperluas jaringan, memobilisasi sumber daya, dan melibatkan diri dalam jejaring serta gerakan-gerakan tagar tingkat dunia. Komunitas saling terhubung di media sosial karena kesamaan ide. Jargon-jargon seksi menjadi kunci. Citra kelompok dan portfolio menjadi hal utama untuk berjejaring.

Namun, kepekaan pelaku seni terhadap keterbatasan dan kemungkinan di ruang digital akan sangat tinggi. Dengan luasnya akses informasi, bisa jadi mereka akan menemukan inovasi radikal yang menjadikan praktik seninya lebih ramah terhadap alam (misal, siasat supaya kegiatan seninya di internet mengeluarkan lebih sedikit panas) serta menemukan cara agar interaksi di ruang daring lebih bermakna dan tingkat jenuhnya lebih rendah. Teknologi digital tak hanya akan menjadi medium, tapi juga isu utama yang diangkat, dipermasalahkan, dan ditawarkan solusinya melalui karya.

Karya seni juga bisa punya peran sentral dalam gerakan, seperti fungsi pemulihan atau arsip ingatan kolektif. Perkumpulan dan serikat seni akan tumbuh subur dalam level lokal, nasional, hingga internasional. Namun seperti yang ditekankan sosiolog Ulrich Dolata dan Jan-Felix Schrape, fungsi teknologi pada gerak komunitas hanyalah pendukung, tak dapat sepenuhnya menggantikan kondisi sosial. Ketiadaan kesempatan berkumpul dalam jumlah besar di ruang fisik mengakibatkan rasa memiliki, keterikatan antarkomunitas di luar lingkup lokal, serta daya tawar menjadi lemah ke kalangan di luar komunitas.

Skenario 3: Seni sebagai Keseharian

Jika interaksi hanya dimungkinkan di ruang fisik dan relasi antarpihak yang dominan bersifat afektif, desa akan menjadi unit yang paling subsisten. Kewaspadaan dan larangan untuk bergerak membuat warga akan terisolasi dalam desa-desa ini. Kita akan melihat desa berinovasi memenuhi kebutuhan dasar warganya melalui sumber daya yang dimiliki secara komunal. Seni akan kembali menjadi ritual sebelum dan sesudah panen atau melaut, misalnya. Sistem ekonomi alternatif akan diterapkan di desa ini, seperti barter, dan seni bisa jadi salah satu alat tukarnya. Penghayat dan seniman memimpin ritual dan diupah dengan pembagian hasil panen atau laut. Risiko dalam skenario ini adalah sistem kepemimpinan yang otoritatif di tahap awal. Sebab, ada kebutuhan yang besar untuk mengelola warga melalui proses pemulihan krisis.

Perkembangan seni bakal terjadi seiring dengan perubahan iklim global karena praktik seni yang sangat erat hubungannya dengan alam.

Sementara itu dalam konteks perkotaan, muncul eksperimen seni partisipatif merespon perubahan. Pelaku seni dapat berkumpul dalam jumlah kecil untuk mendiskusikan estetika baru dan melibatkan diri dalam proses pemulihan warga pascapandemi. Gerakan seni radikal di lingkup lokal mungkin tumbuh. Seni mungkin jadi metode baru pembelajaran anak-anak yang harus lama mengikuti kegiatan sekolah dari rumah. Sedangkan orang dewasa yang jenuh dalam isolasi sosial bisa juga kembali mencoba membuat karya seni setelah sekian puluh tahun absen.

Seni sebagai alat pemulihan akan banyak tercipta di kota dan desa. Namun lagi-lagi, dampaknya akan terasa hanya dalam lingkup kecil dan kemampuan tiap komunitas untuk memulihkan diri tidaklah sama. Hal itu akan sangat tergantung ketersediaan sumber daya alam dan sumber daya manusia di masing-masing wilayah. Komunitas yang tinggal di daerah yang alamnya habis dieksploitasi perusahaan tambang misalnya, tidak akan bisa sejahtera, apalagi bicara kesenian. Kesenian terancam punah di komunitas-komunitas yang gagal bangkit.

Skenario 4: Hiburan Warga

Berinteraksi di ruang fisik dengan relasi antarpelaku yang hanya berbasis ekonomi akan menjadikan seniman terisolasi di tempat tinggal sewaan dan makin akrab dengan tetangga untuk mendagangkan keahliannya berkesenian. Kesulitan mengakses internet sekaligus hasrat interaksi fisik yang tak bisa tergantikan internet membuat orang menghibur diri dengan pertunjukan live berbayar dari warga sekitar atau memutar koleksi MP3 bajakan yang dikumpulkan di masa sebelum streaming populer. Penyanyi kafe, kelompok orkes dangdut, dan pengamen akan relatif diuntungkan dalam sistem transaksi ini. Para tenaga teknis juga akan terpakai keahliannya membangun panggung pertunjukan berskala kecil.

Karena berfungsi sebagai hiburan, sebagian besar seniman akan menampilkan karya orang lain yang sudah terkenal, sehingga sedikit karya baru dihasilkan. Perupa mungkin akan mendapat pekerjaan komisi untuk menunjang unit usaha kecil menengah, seperti melukis mural di warung kopi atau menghias panggung seni warga. Akan muncul perkumpulan para pekerja seni budaya dalam lingkup RT/RW untuk mengelola hiburan-hiburan kecil berbayar ini. Seni akan hidup selama bisa dinilai dengan uang, mengikuti selera populer, dan bersandar pada mekanisme pasar di tingkat lokal.

Dukungan untuk menjaga keberlangsungan komunitas dan meluaskan gaungnya dapat berupa:

1. Pendanaan dalam skala komunitas, seperti melalui skema Dana Desa maupun Dana Perwalian Kebudayaan. Dana Perwalian Kebudayaan yang akan siap digulirkan tahun depan dapat diarahkan pada komunitas atau kolektif yang punya inovasi memunculkan praktik-praktik kesenian baru merespon kerentanan pascapandemi, baik dalam penyediaan ruang, karya, maupun kritik atau refleksi.

2. Memastikan pemerataan akses internet dan bekal literasi digital sesuai kebutuhan tiap komunitas. Pengembangan jaringan internet berbasis komunitas di Ciptagelar adalah praktik baik yang perlu diperluas. Jaringan ini dibuat dengan membangun menara transmisi dan koneksi nirkabel secara gotong royong. Menara tersebut memancarkan jaringan internet ke rumah-rumah di sekitarnya yang sebelumnya tidak terjangkau layanan internet komersial. Karena sumber jaringan berasal dari internet gateway lokal, biaya penggunaan jaringan juga lebih terjangkau. Biaya didapatkan dari jual-beli voucher yang dikelola mandiri oleh warga.

3. Alternatifnya, akses informasi dapat dikembangkan melalui media publik dan jaringan komunikasi lokal. Media televisi publik mulai lebih banyak menampilkan seni budaya. TVRI mengalokasikan hari Sabtu dan Minggu untuk program khusus kebudayaan. Salah satunya, Podbox yang membahas sejarah dan pergerakan komunitas seni, seperti musik dan sastra. Di masa depan, ruang ini harus mudah diakses komunitas seni manapun yang ingin menampilkan dan mempertukarkan ide maupun karyanya.

4. Ruang berkesenian fisik, seperti gedung pertunjukan dan taman budaya, dapat diaktifkan kembali dengan memberlakukan protokol khusus yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan daerahnya. Protokol harus berorientasi pada keselamatan para pekerja teknis dan seniman, serta masuk dalam penganggaran penyelenggaraan acara.

5. Mendorong swasta, institusi seni mapan, dan filantrop untuk mendukung kolektif dan komunitas seni. Salah satu wadahnya dapat berupa dana abadi khusus kesenian yang menghimpun dana individu, swasta, dan lembaga non-pemerintah. Perusahaan swasta bisa juga mengumpulkan dana kesenian, seperti sistem mecenat yang berlaku di Jepang.

6. Terus menggulirkan wacana tentang dampak seni bagi masyarakat, yakni bagaimana praktik seni dapat menjaga kelangsungan lingkungan hidup, mendorong kohesi sosial, dan meningkatkan geliat ekonomi warga. Ini dapat dilakukan dengan perluasan dan pendalaman porsi pendidikan seni di sekolah formal.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

(Sumber: penelitian Ratri Ninditya, Koordinator Peneliti Kebijakan Seni dan Budaya, Koalisi Seni https://koalisiseni.or.id/empat-skenario-masa-depan-seni-indonesia-pascapandemi/)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!