Kasus Lingkungan yang Menimpa Perempuan: Hukum Tak Berpihak pada Perempuan

Foto/Ilustrasi: Eco Life (www.ecolife.zone)

Pencurian 3 buah sawit senilai Rp. 76.500, yang dilakukan oleh Ibu Rica yang dilaporkan pada tanggal 2 Juni 2020 lalu oleh PT Perkebunan Nusantara V (PTPN V) Sei Rokan di Desa Tandun Barat, Kecamatan Tandun, Kabupaten Rohul, Riau, tidak bisa dilihat sebagai kasus pencurian biasa

Kasus ini mencerminkan situasi ketimpangan dan kemiskinan yang dialami masyarakat terlebih perempuan, di mana kehadiran PT Perkebunan Nusantara tidak lantas memberikan kesejahteraan pada masyarakat sekitar.

Selain itu, atas laporan tersebut, ibu Rica divonis bersalah karena melakukan tindak pidana pencurian ringan.

Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dalam pernyataan sikap yang diterima Konde.co melihat bahwa dari kasus yang menimpa Ibu Rica ini, kita jadi menyaksikan betapa hukum di Indonesia tumpul ke atas, tajam ke bawah dan mengkhianati rasa keadilan bagi masyarakat. Hukum lebih cepat menindak masyarakat dibandingkan kejahatan korporasi termasuk BUMN milik negara.

“Kriminalisasi yang dialami oleh Ibu Rica hanyalah salah satu dari ribuan kasus yang ditimbulkan persoalan akibat karut-marut pegelolaan PTPN selama ini. Ketimbang memberikan keuntungan bagi negara dan kesejahteraan bagi rakyat, keberadaan PTPN Indonesia justru terus menerus melahirkan konflik agraria, perampasan tanah-tanah masyarakat,” ujar Nisa Anisa dari KNPA

Nisa Anisa menyatakan, sebagaimana Badan Usaha Milik Negara (BUMN), keberadaannya justru seringkali merugikan masyarakat, bahkan menimbulkan berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dialami oleh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan.

Permasalahan itu, diantaranya, PTPN seringkali menggunakan tanah yang selama ini dikelola dan menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat, sehingga terjadi penggusuran dan pengambilalihan tanah, yang disertai pendekatan militeristik, dan kekerasan.

Situasi ini diperparah dengan situasi Pandemi COVID 19 ini, yang membuat masyarakat semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup untuk keluarga, karena harga kebutuhan pokok semakin naik, akibat terbatasnya mobilisasi pengangkutan / pengiriman bahan-bahan pokok ke pelosok-pelosok dimana wilayah perkebunan PTPN ini berada.

Di sisi lain bantuan sosial pemerintah belum semua menjangkau masyarakat marginal yang terdampak COVID 19.

Dalam situasi ini, perempuan karena peran gendernya mengalami beban berlapis, karena dianggap bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan keluarga, salah satunya kebutuhan pangan keluarga.

Perempuan akan melakukan berbagai cara agar makanan dapat tersaji di meja makan, baik dengan berhutang ke warung, atau mengalah tidak makan, dan lebih mendahulukan pemenuhan pangan untuk anak dan suaminya.

Benny Wijaya dari Komite Pembaruan Agraria/ KPA melihat bahwa berbagai kejahatan yang dilakukan PTPN tidak pernah ditindak secara hukum.

“Respon negara terhadap pengaduan dan perjuangan masyarakat, terjebak pada halhal yang bersifat formil administratif, tanpa melihat fakta real dilapangan. Bahkan, negara kerap membiarkan PTPN melakuan tindak kekerasan menghadapi perlawanan masyarakat yang memperjuangkan tanahnya. Mereka melakukan intimidasi, kriminalisasi, menyebar teror, maupun tindak kekerasan fisik yang menyebabkan masyarakat mengalami luka-luka, trauma, bahkan menyebabkan kematian,” ujar Benny Wijaya

Wahyu Perdana dari Walhi menyatakan dengan kondisi ini maka pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap PTPN, dengan mereviw perijinan / alas hak PTPN, melakukan audit berkala, dan mencabut izin PTPN yang telah melakukan pelanggaran memberikan sanksi tegas kepada PTPN yang terbukti melakukan pelanggaran.

“Lalu juga mengawal dan memastikan bantuan sosial dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan, termasuk di kawasan wilayah PTPN, yang seringkali berada di bawah garis kemiskinan, sehingga tidak menyebabkan masyarakat melakukan tindak pidana demi memenuhi kebutuhan hidupny,” kata Wahyu Perdana

(Foto/Ilustrasi: Eco Life)

(Tim Konde.co)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!