Kejahatan Seksual Terjadi di Gereja, Pembina Putra Altar Pelakunya

Seorang pembina putra altar di Gereja Paroki Herkulanus, Depok, Jawa Barat, Syahril Parlidungan Marbun melakukan kekerasan seksual pada para putra altar. Kasus ini sudah terjadi selama 20 tahun dan korbannya mencapai 21 orang. Pelaku mendekati korban dengan memberinya mainan, buku dan barang yang disukai korban. Kelompok Perempuan Katolik Pegiat Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan meminta kasus kejahatan seksual yang terjadi di gereja ini diusut tuntas

Luviana- www.Konde.co

Kasus kekerasan seksual yang menimpa para putra altar gereja ini diketahui berawal dari laporan keluarga korban pada bulan Maret 2020 kepada Pastor Paroki mengenai anak laki-laki mereka yang mengalami tiga kali kejahatan seksual.

Hasil penelusuran tim hukum gereja sesudahnya menyebutkan bahwa pelaku melakukan kekerasan kurang lebih sejak tahun 2002 dan setidaknya ada 21 anak yang menjadi korban. Kemungkinan juga masih ada korban-korban lain yang belum bicara.

Majalah Tempo edisi edisi 22-28 Juni 2020 menulis bahwa awalnya Syahril tak mau mengakui perbuatannya, namun setelah tim investigasi gereja Paroki Santo Herkulanus melalui pastor kepala, Yosep Sirilus Nanet menyodorkan barang bukti dan menghadirkan korban, Syahril akhirnya mengakuinya

Selviana Yolanda, perwakilan dari 192 perempuan di Indonesia yang tergabung dalam Kelompok Perempuan Katolik Pegiat HAM dalam konferensi pers melalui daring pada 28 Juni 2020 mengatakan bahwa sebenarnya pada tahun 2014, sudah ada keluarga yang melaporkan kejahatan serupa menimpa anak mereka. Sayangnya pada saat itu kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan atau mediasi oleh pihak gereja.

“Kami sangat menyesalkan, pelaku tidak diberhentikan dari posisinya sebagai pembina putra altar, tetapi tetap dipertahankan dan ditunjuk sebagai ketua sub seksi misdinar yang membawahi pembinaan putra altar. Ini menyebabkan kejahatan serupa berulang kembali,” Kata Selviana Yolanda

Pada saat melakukan kejahatan, pelaku memanipulasi anak-anak korban dengan menggunakan kewenangan yang dimilikinya sebagai pembina/ pembimbing. Hal ini bertentangan dengan UU No.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan tentang ancaman hukuman pidana yang dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga pendidikan terhadap korban anak.

Dengan relasi kuasa yang dimilikinya, pelaku dengan mudah mendekati korban untuk menjalankan aksi, dengan cara-cara diantaranya menyasar kepada putra altar yang cenderung pendiam dengan cara mengajak korban bermain sesuai dengan kegemarannya.

“Korban diajak bermain game, kuliner atau membaca buku, membelikan barang kesukaan korban dan setelah akrab mengajak korban jalan-jalan dan atau menginap di rumah pelaku,” kata Selviana Yolanda

Aktivis perempuan, Theresia Iswarini yang membuka konferensi pers mengatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi di gereja ini sering terlihat kecil jumlahnya di atas, namun ternyata besar di bawah. Ini menunjukkan ada persoalan institusional, ada perasaan tabu untuk berbicara karena terjadi di lingkungan gereja, ada perasaan takut karena pelaku adalah orang yang berkuasa di gereja. Kasus ini seperti pemberi isyarat bahwa semua orang harus berani untuk berbicara, jika tidak semakin banyak orang yang akan menjadi korban

Pada 8 Juni 2020, tim kuasa hukum para korban yang telah berkoodinasi dengan gereja kemudian melaporkan kasus ini kepada Polres Depok. Syahril Parlidungan yang juga diketahui berprofesi sebagai pengacara, saat ini sudah ditahan oleh Polisi di Mapolres Depok dan dijerat dengan pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara serta denda paling banyak 5 Miliar rupiah.

“Tersangka adalah pengacara, sebagai seseorang yang melek hukum, tersangka malahan menjadi pelaku kejahatan serius terhadap anak-anak yang seharusnya dia bimbing dan lindungi. Lingkungan gereja yang merupakan tempat suci dan aman untuk semua umat terutama anak-anak, telah dimanfaatkan pelaku menjadi salah satu lokus dalam melakukan kejahatannya,” kata Selviana Yolanda

Upaya Pendampingan Korban dan Keluarga

Dalam diskusi yang digelar setelah konferensi pers, Suster Eustokhia dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F) bercerita bagaimana selama ini di Flores perjuangan untuk menuntaskan kekerasan termasuk yang terjadi di gereja membutuhkan kerja panjang, seperti bagaimana memperjuangkan agar gereja bisa langsung berpihak pada korban. Karena umumnya, ada yang mengatakan bahwa kekerasan seperti ini bisa diselesaikan secara tertutup dan korban bisa langsung didamaikan dengan pelaku karena ada tabu di gereja dan dianggap mencemarkan nama baik gereja ketika membicarakan kasus kekerasan seksual.

Suster Eustokhia mencontohkan, ada satu kasus trafficking di Flores dimana korban dan pendamping dicaci maki, diancam, dituduh tidak menghormati gereja karena pelaku sama-sama warga gereja. Pelaku dan sejumlah warga gereka kemudian meminta sebaiknya hal seperti ini diselesaikan dengan cara damai, jika tidak, maka akan dianggap mencemari gereja. Maka TRUK-F kemudian mendorong gereja harus mengedepankan suara korban.

“Jadi pekerjaan rumah yang besar yaitu bagaimana memasukkan aturan bahwa korban harus didengar, ini yang paling penting. Lalu apa yang bisa dilakukan gereja untuk mendukung korban, bagaimana penyelesaiannya untuk korban? Gereja harus mendukung ini,” kata Suster Eustokhia

Hal ini senada dengan sikap dan pernyataan Paus Fransiskus. Baru-baru ini Paus Fransiskus menyatakan bahwa peraturan rahasia kepausan tidak lagi berlaku bagi pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, ini dilakukan untuk memperbaiki keterbukaan dalam kasus seperti ini.

BBC menuliskan bahwa gereja sebelumnya menutupi kasus pelecehan seksual dalam kerahasiaan, sebagai usaha untuk melindungi ruang pribadi para korban dan reputasi orang yang diduga melakukannya.Tetapi dokuman baru Paus pada hari Selasa, 17 Desember 2019 mencabut pembatasan atas orang-orang yang melaporkan pelecehan atau menyatakan diri sebagai korban. Gereja harus mulai terbuka dan menyelesaikannya dengan hukum yang berlaku

Justina Rostiawati, Komisioner Komnas Perempuan tahun 2010-2015 menyatakan bahwa gereja Katolik mempunyai hukum tribunal gereja, maka kasus yang terjadi ini bisa diselesaikan melalui hukum tribunal gereja atau bisa juga dilakukan menurut hukum sipil yang berlaku. Gereja juga sudah menyusun protokol penanganan kekerasan seksual di gereja, yang dihasilkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Vatikan pada Februari 2019.

Di Indonesia, Justina Rostiawati juga pernah menyusun pedomannya bersama aktivis perempuan Ery Seda dan Rita Serena Kalibonso. Maka protokol ini harus disosialisasikan dan diterapkan di gereja-gereja Katolik di Indonesia

Guru besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto mengatakan, ia setuju kasus yang dilakukan Syahril ini tak boleh diselesaikan dengan cara damai, harus diselesaikan melalui pengadilan secara hukum pidana.

“Jika kasus diselesaikan dengan perdamaian, maka tidak akan ada keadilan untuk korban karena harus ada efek jera bagi pelaku, maka caranya adalah membawa kasus ini secara pidana ke pengadilan.”

Walaupun mungkin berat bagi korban yang masih anak-anak dan keluarga menghadapi ini seperti kepolisian dan peradilan di Indonesia yang belum berperspektif anak, anak-anak yang harus diinterogasi dengan cara-cara orang dewasa atau korban harus menyediakan barang bukti agar bisa menyelesaikan kasus.

Yayasan Pulih, yayasan konseling penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui Direkturnya, Yosephine Dian Indraswari mengatakan kekerasan yang terjadi pada anak di Indonesia, 60% biasanya dilakukan oleh keluarga, 30% dilakukan oleh orang terdekat dan 10 orang diluar itu. Walaupun bisa berdampak serius pada korban atas perlakukan pelaku ini, namun pendamping dan keluarga harus siap mendampingi dan mengusahakan agar korban selalu berada dalam posisi aman untuk menuntaskan kasus

Rani, adalah salah satu warga gereja yang mengikuti konferensi pers. Dalam konferensi pers tersebut, Rani mengatakan bahwa perlakuan Syahril Parlindungan Marbun ini banyak menjadi diskusi dan pertanyaan anak-anak di gereja. Selain ada pendampingan pada korban, Rani juga menginginkan anak-anak lain yang terpapar informasi melalui media diajak berdialog agar bisa mencerna kasus yang sedang terjadi

Keuskupan Bogor dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) saat ini sudah mengambil 2 langkah tegas dengan melaporkan kejahatan seksual yang terjadi kepada pihak Kepolisian untuk proses hukum dan meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK). Kelompok Perempuan Katolik Pegiat HAM dan Kemanusiaan meminta ada perhatian serius kepada kondisi korban dan keluarga yang mengalami kesakitan dan penderitaan yang mendalam.

“Kepedihan yang ditimbulkan ini dapat menjadikan beberapa korban dan keluarga menjadi tertutup dan tidak mau kasusnya diungkap karena rasa takut, cemas, malu, dan trauma. Ini masih ditambah lagi dengan masih adanya pandangan yang menyalahkan korban atas terjadinya kasus serta respon dari komunitas yang terbelah antara yang mendukung dan yang menyangkal pengungkapan kebenaran dan pencarian keadilan,” kata Selviana Yolanda

Kelompok Perempuan Katolik Pegiat HAM dan Kemanusiaan juga meminta ada pihak Kepolisian Kota Depok dan Kejaksaan untuk mengusut tuntas kejahatan yang dilakukan oleh Syahril Parlindungan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan perlindungan hukum yang aman bagi korban anak-anak, lalu meminta Kepada Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), untuk memberikan perlindungan dan bantuan bagi para korban, keluarga dan saksi, serta melakukan pemulihan fisik, psikologi, seksual dan sosial serta restitusi bagi korban.

Kepada Komnas HAM atau Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, untuk melakukan pemantauan dan penyelidikan, memastikan prinsip-prinsip HAM menjadi dasar dalam proses penyelidikan dan penyidikan oleh Polri serta semua pihak dalam proses peradilan selanjutnya.

Kepada KPAI Komisi Perlindungan Anak Indonesia untuk melakukan pemantauan terhadap proses pengungkapan kasus, peradilan, pemulihan korban dan komunitas terdampak, serta hadir dalam mendorong terciptanya mekanisme pencegahan dan penanggulanan kekerasan pada anak di insitusi agama terkait.

Sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam Kelompok Perempuan Katolik Pegiat HAM ini antaralain Nancy Sunarno, Anik Wusari, Veronica Siregar, Nunuk Murniati, Mike Verawaty, Olin Monteiro, dll

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay dan Syahril Parlindungan Marbun/ Tempo.co)

Luviana, setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar ilmu komunikasi di sejumlah universitas di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!