Pengalaman Buruk Menstruasi: Darah Tembus ke Baju dan Diejek Teman

Sejumlah anak perempuan menyatakan pernah diejek oleh temannya saat menstruasi seperti saat darah menstruasinya tembus ke baju yang dipakai. Hal ini terpapar dalam survey yang dilakukan Plan Indonesia bersama SMERU Research Institute terhadap siswi-siswi perempuan SD dan SMP. Anak-anak perempuan juga rata-rata selama ini belum pernah mendapatkan informasi soal menstruasi

*Tika Adriana-www.Konde.co

Yayasan Plan Internasional Indonesia (Plan Indonesia) bersama SMERU Research Institute mengeluarkan sebuah riset mengenai menstruasi terhadap siswa-siswi di DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Dalam riset ini, mereka menemukan berbagai persoalan yang dihadapi oleh anak perempuan saat menstruasi.

Anak-anak yang mendapat ejekan saat mentsruasi ini kurang lebih jumlahnya 39% dalam survey Plan Indonesia. Lalu mereka juga ditertawakan, dibicarakan banyak orang dan disebut genit.

Selain itu juga menjadi pembicaraan saat tembus darah menstruasinya, dan sejumlah temannya juga menunjukkan sikap jijik.

Data selanjutnya juga menunjukkan 79% anak perempuan tidak pernah mengganti pembalut di sekolahnya karena sekolah tidak memiliki toilet terpisah yang membuat mereka tidak nyaman untuk mengganti pembalut

“Sebanyak 33% persen SD dan SMP tidak memiliki toilet terpisah untuk siswa laki-laki dan perempuan,” ujar juru bicara Plan Indonesia, Silvia Devina melalui rilis yang diterima konde.co

Sebanyak 63% orangtua juga tidak pernah menjelaskan tentang menstruasi kepada anaknya dan sebanyak 45% orangtua murid laki-laki menyatakan tidak perlu menjelaskan menstruasi kepada anaknya karena dianggap hal tersebut tidak pantas untuk diterangkan kepada anak.

Hasil survey ini juga menunjukkan sebanyak 88% siswi mengalami keluhan fisik seperti sakit perut, pusing, sakit pinggang dan lemas.

Dan sebanyak 37% tidak terkonsentrasi belajar seperti 12% tidak bisa ikut pelajaran olahraga, 7% harus istirahat dan 11% siswi harus pulang lebih awal. Sebanyak 5% siswi tidak masuk sekolah.

Data berikutnya juga menunjukkan sebanyak 56% siswi mengalami keluhan psikis, emosional, sensitif, merasa malas dan kurang nafsu makan.

Situasi ini kemudian membuat siswi yang menstruasi jadi mengurangi aktivitas misalnya mengerjakan di dalam dan di luar rumah, menghindar dengan teman laki-laki dan dalam aktivitas keagamaan dan sejumlah aktivitas lainnya.

Akibat buruknya pengetahuan tentang menstruasi, anak-anak perempuan menjadi tak menjaga kebersihan diri mereka, seperti jarang mengganti pembalut, tidak mencuci tangan dengan sabun saat membersihkan vagina, dan membuang pembalut dengan cara yang keliru.

Salah satu penyebabnya yakni kesalahan informasi tentang menstruasi di masa lalu yang menjadi turun-temurun dan menjadi bagian dari budaya, sehingga menimbulkan stigma bagi perempuan.

Kondisi ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di berbagai belahan dunia. Stigma ini menjadikan perempuan mendapatkan diskriminasi di masyarakat dan merusak kesejahteraan perempuan.

“Jika Anda seorang anak yang hanya dibesarkan oleh ayah Anda (orang tua tunggal), Anda mungkin akan malu untuk bertanya tentang menstruasi atau produk saniter,” ujar Claire Best, seorang relawan The Red Box Project NI, dalam sebuah wawancara di BBC.

Menstruasi di Kala Pandemi Covid-19

Masalah pertama yang menghantui anak perempuan di kala pandemi Covid-19 yakni akses informasi tentang menstruasi.

Jika sebelum Covid-19 merajalela di Indonesia, anak perempuan lebih banyak mendapatkan informasi perihal kesehatan dan kebersihan reproduksi di sekolah, maka ketika sekolah-sekolah ditutup untuk mematuhi physical distancing, akses pengetahuan pun menjadi terbatas.

“Sekolah masih menjadi satu-satunya penyedia informasi yang dapat diandalkan untuk mendapatkan informasi tentang Manajemen Kebersihan Menstruasi (MKM). Namun, tutupnya sekolah berarti hilangnya akses terhadap informasi terkait MKM,” ujar Juru Bicara Plan Indonesia, Silvia Devina, melalui rilis yang diterima Konde.co.

Harga produk menstruasi menjadi kendala sendiri bagi perempuan. Akibatnya, anak dari keluarga miskin pun tak berani bertanya perkara kebersihan organ reproduksi atau produk menstruasi yang baik.

Masalah tersebut membuat mereka lebih rentan terhadap kekerasan, infeksi menular seksual, dan konsekuensi kesehatan serius yang terjadi saat menstruasi. Ketika pandemi Covid-19, bukan tak mungkin mereka akan semakin rentan.

Covid-19 membuat ruang gerak kita menjadi terbatas. Hal ini membuat proses distribusi barang menjadi terhambat dan akses perempuan untuk membeli produk saniter menstruasi menjadi lebih rumit. Rantai pasokan yang tak normal ini membuat harga beberapa produk kebutuhan hidup jadi melambung, termasuk produk saniter menstruasi, sehingga pengeluaran bulanan menjadi lebih tinggi.

Masalah lain yakni angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tinggi di masa pandemi Covid-19 sehingga sangat mungkin akan lebih banyak anak perempuan yang kesulitan biaya untuk membeli produk menstruasi.

Akses Kebersihan Organ Reproduksi Semakin Jauh

Buruknya pendidikan kesehatan reproduksi di kalangan remaja membuat mereka abai terhadap kebersihan vagina.

Dalam studi yang dilakukan Plan Indonesia, mereka menemukan bahwa rata-rata anak perempuan yang sedang menstruasi hanya tiga kali mengganti pembalut dalam sehari. Padahal seharusnya kita segera mengganti pembalut ketika sudah penuh atau setidaknya tiga hingga empat jam sekali.

Tak sedikit pula anak remaja yang keliru dalam menjaga kebersihan vagina. Selama ini, mereka hanya mencuci tangan dengan sabun setelah selesai membersihkan area kewanitaan, seharusnya mereka juga mencuci tangan dengan sabun sebelum membersihkan area vagina.

Selama masa pandemi Covid-19, perempuan menjadi semakin rentan terhadap gangguan kesehatan organ reproduksi akibat sulitnya akses terhadap air bersih.

Krisis ini semakin nyata karena kerusakan lingkungan akibat pertambangan, manajemen pembuangan sampah yang buruk, limbah di wilayah industri, hingga maraknya betonisasi.

Maka rekomendasi yang harus dilakukan adalah meningkatkan pemahaman berbagai pihak yaitu kementerian, masyarakat dan siswa-siswi.

Yang kedua, memfokuskan intervensi soal pengetahuan menstruasi di SD dan SMP terutama yang menyiapkan siswi yang belum menstruasi. Selanjutnya menjadikan menstruasi bagian dari kurikulum pelajaran di SD dan SMP

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!