Tubuh Menjadi Sasaran Baru Pelecehan di Internet

Tubuh menjadi sasaran baru pelecehan di internet, kalimat seperti wajahmu jelek atau aku nafsu melihat kamu, sering saya baca di media sosial. Bagi saya, cyber Harassment atau pelecehan melalui internet merupakan serangan langsung yang merendahkan

Vioranda Felani- Konde.co

Artis Fauzi Baadilla buka suara terkait pesan-pesan yang terkesan melecehkan dari penggemarnya di Instagram. Popmama.com menuliskan, Fauzi merasa geram dan terganggu karena terus mendapatkan sejumlah pesan yang melecehkan hampir setiap hari.

“Setiap hari merasa dilecehkan kayak mainan orang-orang gatel,” tulis Fauzi Baadilla di salah satu komentar Instagram pribadinya. Bahkan Fauzi sempat mendapatkan pesan tak senonoh yang mengaku nafsu melihat tubuhnya bahkan sampai ada ajakan untuk bercinta.

“Gue nafsu liat lu, bang. Pengen bercinta sama lu, bang.”

“Bang, aku follow nggak pernah di follow back. Suka banget sama badannya.”

“Bang Ozi, sumpah udah bertahun-tahun nahan, rasanya pengin foto sambil meluk. Harus ke mana biar bisa ketemu abang?”

Pelecehan melalui media sosial sudah sering terjadi seiring meningkatnya penggunaan teknologi saat ini. Pelecehan ini rata-rata menyasar tubuh, seperti pelecehan yang terjadi pada perempuan, banyak yang menyasar bentuk tubuh: tidak cantik tapi gaya, bentuk tubuh gendut dan jelek.

Perempuan lebih banyak menjadi korban dari aksi ini, tetapi tidak jarang pula laki-laki menjadi korban pelecehan atas bentuk tubuhnya melalui media sosial. Kalimat-kalimat pelecehan di media sosial ini kadang juga sangat membenci Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Pelakunya juga tak ketahuan karena kita tidak pernah tahu apakah mereka menggunakan akun asli atau akun palsu

Banyak laki-laki heteroseksual yang beranggapan bahwa sah-sah saja untuk mengganggu dan menggoda perempuan karena hal itu sudah biasa. Tetapi reaksi ini berbeda ketika para laki-laki heteroseksual ini diganggu dan digoda, mereka akan cenderung marah dan mulai mengeluarkan kata-kata diskriminatifnya. Inilah yang disebut dengan standar ganda. Hal ini yang perlu diubah karena siapa saja bisa menjadi korban dan siapa saja bisa menjadi pelaku terlepas dari identitasnya.

Saya juga pernah beberapa kali mendapatkan pesan yang tidak sepantasnya untuk diterima melalui akun media sosial saya. Saya menganggap hal tersebut sebagai pelecehan bahkan sudah mengarah kepada pelecehan seksual. Tetapi saya tidak pernah menganggap bahwa orientasi seksual seseorang ataupun status pernikahan seseorang berpengaruh pada apa yang mereka lakukan. Itu murni karena perilaku individu tersebut.

Sejauh ini, saya melihat bahwa perempuan dan laki-laki yang menjadi korban belum berani speak up. Bukannya tidak berani, namun jika mereka speak up dan kemudian dilecehkan lagi, kadang-kadang mereka tak siap menghadapi pelecehan ini secara terus-menerus. Ketika ingin melaporkan, kadang korban tidak tahu harus melaporkan ini kemana dan bagaimana penyelesaiannya nanti.

Beberapa pengalaman teman laki-laki saya yang berani speak up mengatakan bahwa tidak jarang mereka kemudian mendapatkan cemoohan dari orang-orang di sekitarnya. Contohnya ada seseorang laki-laki yang merasa risih digoda melalui media sosial oleh beberapa pihak yang kebetulan sama-sama berjenis kelamin laki-laki. Laki-laki ini lantas menceritakan kepada teman-temannya, bukannya mendapatkan dukungan, malah cemoohan yang didapat. Contoh cemoohan yang diterima laki-laki tersebut misalnya seperti kalimat:

“Ciee jadi pusat perhatian homo-homo nih.”

Sudah nggak suportif, homofobia pula. Inilah yang membuat para laki-laki jarang untuk speak up. Karena akan percuma, sama-sama merasa tidak aman.

Jadi, jika ada temanmu yang bercerita tentang pengalamannya dilecehkan khususnya lewat sosial media, dengarkan dan support dia. Jika tidak bisa memberikan solusi, cukup dengarkan cerita mereka saja. Lalu dorong mereka untuk melaporkannya, karena jika tidak melaporkan kekerasan dan pelecehan tersebut akan terjadi secara terus menerus.

Aktivis Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati pernah menuliskan di Konde.co bahwa cyber Harassment atau pelecehan melalui internet bagi perempuan merupakan serangan langsung yang merendahkan. Biasanya ini berujud pelecehan terhadap tubuh perempuan

Hasil riset Perempuan Mahardhika yang dilakukan pada 733 buruh perempuan di Kantor Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta pada Agustus- Oktober 2018 menyebutkan, bahwa buruh perempuan yang mengaku mengalami pelecehan melalui media sosial sebanyak 43,2 %.

Pelecehan tersebut dilakukan dengan cara para laki-laki mengirimkan gambar porno, hal ini paling banyak terjadi (28%). Laki-laki yang melakukannya adalah laki-laki dari orang yang dikenal maupun yang tidak dikenal korban.

SMS seksual dan telepon seksual termasuk banyak yang dialami perempuan, yaitu masing-masing 26,4% dan 17,6% dari yang pernah mengalami cyber harassment.

Karena cyber harrrasment yang banyak terjadi inilah yang membuat buruh perempuan korban pelecehan belum banyak bersuara. Karena seharusnya jika diberikan ruang keberanian, maka akan semakin banyak perempuan yang bersuara dan lantang melawan pelecehan seksual yang mereka alami.

Secara kultur perempuan yang melawan apalagi melawan pelecehan di internet yang ia alami memang seringkali dianggap tidak sepantasnya. Perempuan lebih pantas jika tunduk, tidak melawan, Jadi perempuan yang berani bersuara kadang dianggap sebagai perempuan yang tidak lumrah atau melawan kultur, karena kultur menyebutkan bahwa perempuan tak boleh melawan laki-laki. Padahal ini adalah mitos-mitos yang kemudian menjerat perempuan. Ini tak hanya dialami di dunia maya tetapi juga di dunia nyata

Sebelumnya, Lembaga ICT Watch juga pernah menyebutkan adanya cyber crime dan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di internet. Di internet, para perempuan sering terkena kasus illegal content, yakni kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang sesuatu hal yang tidak benar dan tidak etis. Sebagai contohnya adalah morphing, online defamation, cyber grooming, cyber harassment, cyber stalking, cyber pornography, online prostitution, cyber prostitution.

Catatan pengaduan yang diterima Komnas Perempuan di tahun 2014 menyebutkan adanya kasus cyber grooming, cyber stalking, cyber harassment, illegal content, cyber bullying dan mix dari beragam bentuk cyber crime. Kasus lain yang masuk dalam kategori kekerasan terhadap perempuan di dunia maya online defamation. Inilah yang kemudian menyebabkan posisi perempuan menjadi rawan di internet.

Dalam feminisme, pelecehan tubuh adalah penindasan yang menganggap tubuh adalah sesuatu yang tak penting dan bisa diobyektifikasi. Maka melawan penindasan adalah upaya agar semua orang menghormati tubuh

Semoga melalui tulisan ini, membuat kita bisa mengedukasi diri kita tentang pelecehan seksual di internet, berani bersuara dan melaporkan jika mendapatkan pelecehan di internet.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Vioranda Felani, aktivis keberagaman, suka menulis tentang gender equality

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!