Inilah Cerita Para Korban Kekerasan Seksual di Lingkungan Gereja: Dengarkan

Luviana- Konde.co

Bukan hanya di tahun ini saja sejumlah perempuan menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan gereja Katolik. Rata-rata mereka menjadi korban kekerasan seksual di gereja yang dilakukan oleh imam gereja seperti klerus, bruder, frater, petugas pastoral atau orang-orang awam di lingkungan gereja. Cerita dalam tulisan ini merupakan kisah-kisah para korban yang dituturkan oleh para pendamping yang selama ini menemani dan mendengarkan kisah pilu mereka:

Cerita Kekerasan Yang Dialami Perempuan Korban

Sejumlah pendamping korban bercerita tentang kekerasan seksual yang dialami para perempuan korban:

“Belum lama ini ada perempuan yang harus melahirkan anaknya hasil hubungannya dengan seorang imam atau bruder gereja. Situasi seperti ini sangat sulit karena gereja Katolik tidak setuju penghentian kehamilan, maka ketika perempuan korban tersebut hamil dan ditinggalkan oleh bruder pasangannya, ini membuat hidupnya menjadi rumit.”

“Ada lagi perempuan yang jatuh cinta dengan frater dan sangat jelas sikapnya, frater itu juga jatuh cinta. Perempuan ini lalu bertanya bagaimana sikap kita dengan kondisi ini? Frater itu pergi, lalu datang lagi dan mengatakan saya membutuhkan kamu. Frater tersebut kemudian menginap di kost perempuan korban dan berhubungan. Perempuan ini menyangka bahwa frater ini mau berelasi lagi dengannya, namun frater tiba-tiba pergi begitu saja. Jadi ada proses manipulasi. Sampai sekarang, aspek psikologis korban sulit disembuhkan.”

“Ada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang di lingkungan gereja. Ia mau bekerja, tapi tidak jadi diterima karena dianggap punya anak tapi ia tidak punya suami, mereka juga sulit mendapatkan akte kelahiran anaknya, anaknya jadi tak punya pengakuan, ibunya sulit mendapatkan pekerjaan.”

“Karena jatuh cinta dengan orang yang dianggap tinggi posisinya, di gereja terlihat sangat pintar, punya otoritas, maka beberapa korban ada yang merasa kacau secara psikologi, marah, sedih, tidak bisa melupakan.”

“Ada korban yang diberi uang dan diminta tetap meneruskan kehamilannya karena di Katolik tidak boleh menggugurkan kandungan. Jadi semudah itu, padahal dia menghadapi situasi sulit. Apakah begini saja? Lalu anak yang akan dilahirkan tersebut siapa ayahnya? Mereka masih berharap gereja bisa menyelesaikan secara adil.”

“Saya pernah mendampingi anak perempuan belasan tahun yang pastornya tertarik dan sering mengajaknya pergi bersama. Anak perempuan tersebut jatuh cinta dan berhubungan. Kemudian orangtua anak perempuan ini ingin menyelesaikan kasus ini tapi rasanya sulit. Banyak perempuan seperti ini yang dianggap mengejar-ngejar klerus/ imam gereja dan gereja menyepelekan perempuan.”

“Pernah ada relasi antara perempuan dan klerus. Hubungan keduanya di tahun 2018 harus berakhir karena klerusnya yang meminta, Korban lalu bertanya, mengapa hubungan mereka harus berakhir? Klerus tersebut mengatakan tidak apa-apa. Namun korban curiga. Setelah diselidiki, ternyata di dalam mobil klerus, ada seorang perempuan dan seorang bayi, ternyata pelaku memiliki anak dari perempuan lain.”

Stigma dan Penghakiman yang Diterima Korban

Para perempuan korban juga mendapatkan stigma dan penghakiman dari gereja dan lingkungan masyarakat gereja. Hal ini sangat sering terjadi:

“Ada anggapan bahwa ini khan perbuatan mau sama mau dan perempuannya juga genit khan?, lalu dengan mudah menstigma perempuan sebagai orang yang suka menggoda dan genit terhadap klerus.”

“Ada pertanyaan: mengapa suster mendampingi perempuan hamil yang bukan perempuan baik-baik seperti itu? Khan banyak perempuan baik yang bisa didampingi.”

“Ada juga peristiwa, ketika mau dilakukan baptis anak, ada petugas yang menyuruh: anak yang punya bapak dan ibu didahulukan. Sedangkan yang tidak punya bapak nanti saja.”

“Ada juga anak yang menggambar di sekolah namun ia hanya menggambar ibunya, gambar ayahnya tidak ada karena ia tidak punya ayah, ibunya adalah korban yang dihamili di lingkungan gereja dan ayahnya pergi begitu saja. Gambarnya berbeda dengan anak-anak lain. Gurunya menganggap anak ini aneh. Ini menyakitkan sekali.”

“Korban biasanya terbebani merasa bersalah dan berdosa dan melabeli dirinya dengan stigma bahwa ia bukanlah perempuan baik-baik. “

Para Pendamping Korban: Apa yang Harus Dilakukan Gereja?

Dr. Kristi Poerwandari, dosen Psikolog Univeritas Indonesia dan Founder Yayasan Pulih bersama Suster Chatarina Supadmiyati, RGS dari Gembala Baik dan Ermelina Singereta, advokat publik adalah para pendamping korban yang menceritakan hal ini dalam diskusi melalui daring yang dilakukan media Katolikana.com bersama Kelompok perempuan Katolik pegiat HAM dan kemanusiaan pada 24 Juli 2020

Harusnya gereja sudah mempunyai mekanisme untuk persoalan kekerasan seksual ini, karena baru-baru ini Paus Fransiskus sudah menyatakan bahwa peraturan rahasia kepausan tidak lagi berlaku bagi pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, ini dilakukan untuk memperbaiki keterbukaan dalam kasus seperti ini. BBC menuliskan bahwa gereja sebelumnya menutupi kasus pelecehan seksual dalam kerahasiaan, sebagai usaha untuk melindungi ruang pribadi para korban dan reputasi orang yang diduga melakukannya.Tetapi dokuman baru Paus pada hari Selasa, 17 Desember 2019 mencabut pembatasan atas orang-orang yang melaporkan pelecehan atau menyatakan diri sebagai korban. Gereja harus mulai terbuka dan menyelesaikannya dengan hukum yang berlaku.

Mestinya, inilah saatnya gereja menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi disana.

“Buat saya kejadian ini tidak adil dan seperti memanipulasi umat, gereja seringkali masih normatif karena menganggap semuanya ideal, padahal banyak single mother yang menjadi korban ini sulit hidupnya karena hamil dan harus meneruskan hidupnya,” kata Kristi Poerwandari

“Selama ini pendampingan dilakukan pada para korban, kami menemani agar mereka menjadi percaya diri lagi, namun ini tidak cukup. ketika ada perempuan yang hamil, bagamana ia harus menjawab jika ada pertanyaan: siapa yang menghamili kamu? Kami melakukan yang bisa kami lakukan, namun ini tidak cukup.”

Kristi menawarkan agar gereja mulai membangun sistem untuk menyelesaikan masalah. Jadi mekanismenya harus segera dibangun.

“Ini memang seperti menembus tembok yang sulit rasanya,” kata Ermelina

Emelina mengatakan, sejauh ini untuk penyelesaian kasusnya seharusnya bisa diselesaikan secara hukum karena gereja adalah bagian dari negara dan tidak boleh diistimewakan walau ia pejabat gereja.

“Karena itu semuanya harus sama di mata hukum. Namun yang selama ini jadi persoalan, umat Katolik masih sedikit yang memahami bahwa kasus seperti ini harus diselesaikan secara hukum, mereka lebih cenderung menyelesaikannya secara internal gereja. Padahal jika diselesaikan internal, maka korban tidak akan mendapatkan keadilan karena diminta untuk berdamai.”

“Padahal seharusnya tidak begitu, harus diselesaikan secara hukum, karena gereja hanya bisa memberikan sanksi, bukan menyelesaikan persoalan hukum.”

Suster Chatarina mengatakan bahwa pelaku kekerasan ini bisa saja klerus, bruder, petugas pastoral atau orang awam di lingkungan gereja.

“Pengalaman kami, kami mendampingi korban mengembalikan harga dirinya dan merasa dicintai dengan tulus, diterima dengan ketulusan. Ini yang bisa membantu korban untuk merawat hati korban yang hancur.”

Suster Catharina berharap kasus kekerasan seksual ini bisa diselesaikan dengan mekanisme hukum negara dan gereja menerima para perempuan korban dan mendampinginya. karena Tuhan dan agama Katolik selalu mengajarkan tentang kasih sayang dan penerimaan.

“Makanya saya mengajak zero tolerance pada kekerasan, karena Paus mengajak hal ini sehingga perempuan yang rentan, miskin dan menjadi korban adalah bagian dari gereja, jadi gereja harus menjadi gereja yang ramah dan partisipatif dalam menyelesaikan persoalan korban.”

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Luviana, setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar ilmu komunikasi di sejumlah universitas di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!