Dulu Untuk Mandi dan Memasak, Kini Sungai Kami Rusak Kena Limbah

“Polusi air kami rasakan. Air sungai kami atau Batang Ombilin yang dahulunya bisa dipakai untuk mandi bagi anak-anak, bisa dipakai untuk mencuci dengan kegiatan lain bagi kami, tetapi sekarang ini dipakai untuk pembuangan limbah oleh Pembangkit Listrik tenaga Uap PLTU. Sudah 20 tahun kami rakyat Sijantang Koto menderita dengan adanya PLTU ini.”

Meera Malik- Konde.co

Begitulah curahan hati GN, bukan nama sebenarnya, warga Sijantang Koto, Kota Sawahlunto, dalam acara diskusi dan konferensi pers Sidang Rakyat secara daring pada Minggu, 31 Mei 2020

Sidang rakyat ini diselenggarakan gabungan koalisi masyarakat sipil di berbagai wilayah Indonesia dalam gerakan #BersihkanIndonesia, untuk menandingi sidang pembahasan perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) oleh DPR RI.

Sejak awal pengajuan pembahasan revisi UU Minerba ditolak keras oleh publik karena munculnya berbagai pasal tambahan yang dinilai sangat berpihak pada korporasi tambang. Proses pembahasannya kerap tertutup dan tak melibatkan kelompok masyarakat sipil. Kritik lewat bermacam medium telah dilontarkan, tetapi DPR tetap bersikeras membahas dan kemudian mengesahkannya dalam rapat paripurna pada Selasa (12/5/2020), dalam situasi pandemik saat masyarakat sedang mengalami kesulitan luar biasa.

Suara GN merepresentasikan gambaran pengalaman hidup perempuan yang terdampak dari aktivitas yang merusak lingkungan wilayah tempatnya tinggal. Faktanya, kerusakan lingkungan berdampak besar pada kehidupan perempuan dan anak-anak. Terlebih perempuan, subjek yang paling terdampak, karena peran gender menempatkan mereka sebagai penanggung jawab keberlangsungan rumah tangga. Penderitaan yang dialami GN selama puluhan tahun adalah fakta empirik daya rusak praktik eksploitasi alam terhadap kehidupan seorang perempuan.

Ironisnya, penderitaan itu tampaknya akan bertambah panjang dengan sahnya UU Minerba. Seperti kata Dinda Nur Annisa Yura, Badan Eksekutif Nasional dari Solidaritas Perempuan, dalam pernyataan sikap yang terbit di Konde.co, pengesahan UU Minerba adalah kabar duka cita bagi perempuan karena perempuan akan semakin jauh dari sumber-sumber kehidupannya.

“Investasi tambang hari ini secara nyata telah telah merusak lingkungan dan merampas kehidupan masyarakat terlebih perempuan. Di Lhoknga Aceh, pertambangan perusahaan semen, mengakibatkan rusaknya kawasan karst, sehingga debit air yang semakin sedikit. Sementara proses blasting yang dilakukan di awal masuknya perusahaan ini tidak hanya berdampak pada kesehatan warga, tetapi juga menyebabkan hilangnya sumber-sumber penghasilan dari perkebunan karena sayuran dan cengkeh yang ditanam tidak bisa hidup atau mati akibat kekeringan dan tebalnya abu tambang,” ucap Dinda Nur Annisa Yura dalam pernyataan sikap Solidaritas Perempuan, seperti dikutip dari artikel tersebut.

Daya rusak tambang tidak hanya berpengaruh pada hasil perkebunan warga. Laporan Statistik Lingkungan Hidup 2017 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan, pembukaan areal pertambangan dan infrastruktur pendukungnya merupakan dampak yang paling parah bagi hilangnya jutaan hektar luasan hutan di Indonesia setiap tahunnya. Kerusakan parah ini sulit dikembalikan ke kondisi semula. Degradasi lahan terjadi di wilayah sekitar tambang, polusi air, kontaminasi logam, dan peningkatan sedimen sungai, waduk, laut, dan lainnya.

“Tambang ini sifatnya sangat patriarkal, sangat eksploitatif terhadap sumber kehidupan, fungsi alam dan ekosistem. Dari awal tambang masuk juga, perempuan dianggap tidak perlu dlibatkan, hak-haknya dipinggirkan,” ucap Anissa Nurul dalam konferensi pers yang sama.

Parahnya, dalam UU Minerba yang baru tidak ada satu pasal pun yang memberikan ruang bagi partisipasi warga, termasuk tidak adanya pasal yang mengatur konsultasi pada masyarakat adat dan hak veto bagi warga yang tak ingin wilayahnya dimasuki tambang. Pasal yang ada, justru pasal yang berpotensi mengkriminalisasi warga yang berupaya menghalangi aktivitas tambang.

Hal ini tentu saja membahayakan bagi masyarakat, terkhusus perempuan. Jika ditelisik, perjuangan perempuan menolak eksploitasi tambang punya rekam jejak cukup panjang di Indonesia. Ingat saja gerakan perempuan Mollo di bawah pimpinan Mama Aleta Baun di Nusa Tenggara Timur yang menolak tambang marmer. Perjuangan Mama Aleta mempertahankan lingkungan tempat tinggalnya tak dirusak korporasi tambang telah dimulai sejak 1990-an.

Bayangkan, dengan UU MInerba yang berlaku sekarang, berapa banyak perempuan yang rentan dikriminalisasi aparat dan pihak perusahaan karena menolak wilayahnya dimasuki tambang?

Belum lagi korporasi tambang kerap meninggalkan lubang tambang menganga yang menghilangkan nyawa manusia. Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional tahun 2020 mencatat, terdapat 3.092 lubang tambang menganga yang berisi air beracun dan mengandung logam berat berbahaya. Lubang ini menyebabkan jatuhnya korban jiwa mencapai 143 nyawa, mayoritas korbannya berusia anak-anak.

Dalam konferensi pers yang sama, Rahmawati, warga Sempaja Utara, Provinsi Kalimantan Timur, salah satu orangtua korban meninggal akibat lubang tambang tersebut menyesalkan keputusan pemerintah dan DPR yang meloloskan UU Minerba.

“Anak saya itu korban ke-9, sekarang sudah memakan korban sampai 30-an, itu bukan musibah lagi. Saya jengkel UU MInerba disahkan. Pemerintah gak merespon rakyat kecil. Mereka hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri,” tukas Rahma.

Dalam diskursus ekofeminisme, gerakan perempuan menolak tambang melihat negara lebih dekat kepada korporasi dan kekuatan yang menghancurkan sumber daya alam. Pengesahan UU Minerba yang cacat prosedural hukum jelas menunjukkan di mana keberpihakan pemerintah berada.

Di atas itu semua, hal paling buruk adalah bahwa UU MInerba akan menambah daftar tindakan eksploitatif terhadap perempuan dan juga lingkungan. Karena itu, Rahmawati mengajak masyarakat untuk berani bersuara dan jangan kehilangan harapan.

“Saya akan terus berjuang bersama teman-teman untuk menuntut keadilan,” tutupnya.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Meera Malik, jurnalis televisi yang murtad dan kini mualaf di Konde.co sebagai managing editor. Pengagum paradoks semesta, gemar membeli buku tapi lupa membaca

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!