Jangan Remehkan Gerbong Perempuan Kereta Commuter Line

Sejumlah laki-laki menggunakan mansplaining ketika berargumen, yaitu menjelaskan dengan cara meremehkan perempuan. Salah satunya ketika mereka menjelaskan tentang penggunaan gerbong khusus perempuan di KRL Commuter Line. Mereka mengatakan, dengan menyediakan gerbong khusus perempuan sama saja seperti memberikan perlakuan istimewa pada perempuan. Mereka tidak sadar bahwa affirmative action berbeda dengan perlakuan istimewa

Mirisa Hasfaria- Konde.co

Gerbong khusus perempuan di KRL Commuter Line difungsikan sejak 19 Agustus 2010 untuk merespons kebutuhan penumpang perempuan akan keamanan dari kekerasan seksual.

Komnas Perempuan sebelumnya mencatat, setiap hari, sedikitnya 4 perempuan menjadi korban kekerasan seksual di ruang publik. Jadi inisiatif gerbong khusus perempuan bukanlah hal yang unik yang terdapat di Indonesia saja, namun juga di Brasil, India, Iran, dan Jepang juga menerapkan inisiatif serupa.

Iran, Uni Emirat Arab, dan Meksiko menerapkan area khusus perempuan di bus commuter mereka.

Gerbong khusus perempuan merupakan upaya untuk meminimalisir kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan yang menggunakan moda transportasi publik, selain itu juga menghilangkan hambatan perempuan dalam mengakses layanan dasar serta berpartisipasi penuh di sekolah, tempat kerja dan kehidupan bermasyarakat.

Dalam catatan PT. Kereta Commuter Indonesia disebutkan bahwa sepanjang tahun 2018 terjadi pelecehan seksual di dalam kereta maupun stasiun di Jakarta- Bogor- Depok- Tangerang- Bekasi (Jabodetavek) sebanyak 34 kasus, 20 kasus diantaranya korban berani melanjutkan laporan ke aparat penegak hukum. Hal ini meningkat dibanding tahun 2017, dimana pada tahun tersebut dari 25 kasus pelecehan, tidak ada satu pun dilanjutkan dengan laporan ke aparat penegak hukum.

Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada 2018 menyebutkan bahwa sebanyak 46,80 persen dari 62.224 responden pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum. Dalam riset tersebut, rata-rata responden yang melapor adalah perempuan. Ini artinya 3 dari 5 perempuan dan 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik walau perempuan 13 kali lebih rentan mengalami pelecehan di ruang publik dibandingkan laki-laki.

Dari analisis data survei, sebanyak 46.80 persen responden mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum, menjadikan transportasi umum (15.77 persen) sebagai lokasi kedua tertinggi terjadinya pelecehan, setelah jalanan umum (28.22 persen). Moda transportasi umum yang dilaporkan terjadi pelecehan antara lain adalah bis (35.80 persen), angkot (29.49 persen), KRL (18.14 persen), ojek online (4.79 persen), dan ojek konvensional (4.27 persen).

Moda transportasi yang menjadi “favorit” para predator seksual pun beragam, seperti bus (35,80 persen), angkot (29,49 persen), KRL (18,14 persen), ojek daring (4,79 persen), dan ojek konvensional (4,27 persen).

Jenis pelecehan verbal yang diterima korban yakni berupa:

1. Siulan

2. Suara kecupan

3. Komentar atas tubuh

4. Komentar seksual yang gambling

5. Komentar seksis.

6. Komentar rasis

7. Main mata

8. Difoto secara diam-diam

9. Diintip

10. Diklakson secara menggoda

11. Menampakkan gestur vulgar

12. Dipertontonkan masturbasi di depan public

13. Dihadang

14. Diperlihatkan alat kelamin

15. Didekati secara agresif

16. Dikuntit

17. Disentuh

18. Diraba

19. Digesek dengan alat kelamin.

Di beberapa negara lain seperti Meksiko, Jepang, Malaysia, India gerbong khusus atau bus khusus perempuan juga diadakan untuk menghindarkan perempuan dari kekerasan seksual

Namun, dalam diskusi-diskusi publik mengenai pengalaman terkait fasilitas ini, para perempuan yang harus menyandarkan pilihan mobilitasnya pada KRL sering kali berhadapan dengan pendapat para laki-laki yang dengan cara mansplaining, mengkritisi dua hal relevansi kebijakan KRL dan kekhususan buat perempuan ini. Mansplaining adalah cara-cara yang dilakukan laki-laki untuk menjelaskan sesuatu tetapi sifatnya meremehkan perempuan.

Pertama, dalam sejumlah diskusi pendapat laki-laki mengatakan bahwwa kebijakan KRL tidak relevan buat era di mana perempuan mengelu-elukan terealisasinya kesetaraan gender.

Padahal buat saya, menerjemahkan affirmative action dan membenturkannya dengan argumen salah kaprah bahwa karena perempuan menuntut kesetaraan gender, maka perlakuan khusus tidak dibutuhkan, adalah sebuah cacat pikir. Ini tentu saja tidak relevan karena tidak seorang laki-laki pun yang mengkhotbahi perempuan mengenai tidak diperlukannya gerbong khusus perempuan pernah berada di ruang publik dalam tubuh perempuan.

Affirmative action yang menjelma dalam bentuk gerbong khusus perempuan bukan merupakan tindakan istimewa, namun merupakan tindakan khusus sementara yang perlu diambil untuk mempercepat persamaan kesempatan dan manfaat guna mencapai persamaan dan keadilan.

Hal ini dipertegas oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabinet Indonesia Bersatu II, Linda Amalia Sari, saat peresmian pengoperasian fasilitas tersebut, bahwa ini merupakan tindakan pemerintah (Kementerian Perhubungan dan PT. KCJ) dalam pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan, di mana pelecehan seksual merupakan salah satu bentuknya.

“Gerbong khusus perempuan merupakan bentuk kebijakan yang dibuat untuk melindungi perempuan dari perlakuan bernuansa kekerasan seksual di dalam kereta api. Harapannya kebijakan ini terus berlaku sampai ada perubahan pola pikir bahwa perempuan bukan obyek tindak kekerasan seksual, tetapi merupakan mitra yang setara dalam segala bidang kehidupan dengan kaum lelaki.”

Masih tersedianya fasilitas ini setelah satu dekade pengoperasiannya mengindikasikan bahwa perubahan pola pikir yang menempatkan perempuan sebagai mitra yang setara belum terjadi.

Kedua, para pembicara laki-laki tersebut berargumen bahwa jika ingin mengakses ruang publik, maka lupakan perlakuan khusus.

Pernyataan ini lucu. Justru status quo yang patriarkis inilah yang memberikan laki-laki perlakuan khusus, dan perempuan sebanyak mungkin harus berupaya melawan rintangan dan pembatasan. Ketidakpedulian bahwa kerentanan perempuan dalam mengakses transportasi publik yang berakar pada kultur patriarki ini membentuk infrastruktur yang tersedia jadi mengabaikan kebutuhan perempuan akan personal space.

Sejatinya, pembangunan infrastruktur harus mengacu pada prinsip-prinsip berikut: pemenuhan kebutuhan seluruh kelompok, perencanaan yang setara; dan nilai yang manusiawi. Thus, transportasi publik yang tersedia mengabaikan kebutuhan perempuan akan personal space yang luas. Kondisi ini adalah pengejawantahan dari kultur patriarki di mana kebijakan transportasi yang tidak ramah terhadap perempuan, anak, Lansia dan disabilitas serta kelompok rentan lainnya adalah bentuk ekstrim dari kontrol patriarki.

Sehingga, penting untuk memahami affirmative action ini dengan berbasiskan pada pengalaman perempuan!

Tatkala pemerintah belum mampu menghadirkan ruang publik yang bebas dari kekerasan seksual bagi perempuan, tidak sepatutnya wacana mencurigakan yang dimunculkan adalah penghapusan fasilitas. Namun seyogyanya kita kritis menggugat pemerintah untuk memperbaiki sistem transportasi publik yang ramah terhadap perempuan, karena nyatanya sistem transportasi publik saat ini paling tidak ramah terhadap perempuan.

Komnas Perempuan melaporkan bahwa sejak 1998 hingga 2011, tercatat sebanyak 22.284 kasus kekerasan seksual di ruang publik dan merupakan urutan kedua terbanyak dari semua kasus kekerasan seksual.

Di 2017 saja, tercatat 2.670 kasus kekerasan seksual di ranah publik. Sehingga, sangat tidak masuk akal jika menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek kekerasan seksual dengan menyerukan penghapusan gerbong khusus perempuan, namun di saat yang sama, jumlah laki-laki yang nyata berkontribusi dalam merubah pola pikir yang menantang maskulinitas rapuh tersebut belum cukup.

Come on men, you’ve got to do better rather than mansplaining us!

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Mirisa Hasfaria, lulusan S2 Ilmu Politik dari University of Arkansas, Fayetteville, Amerika Serikat. Dia memiliki ketertarikan yang mendalam terhadap kesetaraan gender

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!