Media Arus Utama Tak Kritis Menulis Kematian WNA Pelaku Kekerasan Seksual

Dalam memberitakan kasus kematian Francois Abelio Camille, media arus utama di Indonesia cenderung menjadi corong kepolisian. Tak ada tulisan kritis yang mengangkat penyebab kematian tersebut bisa terjadi seperti kelalaian polisi dalam menjaga tahanan. Padahal, jika Francois tak meninggal dunia, maka polisi bisa lebih cepat mencari 286 korban lain untuk diberi pemulihan trauma.

Tika Adriana- www.Konde.co

Sebelum membaca tulisan saya ini, saya hendak mengingatkan kepada anda untuk bijak. Konten ini bisa memunculkan perasaan tidak nyaman dan bila Anda merasa membutuhkan pertolongan, segera hubungi sahabat, keluarga, atau orang terdekat yang Anda percaya, dan bila diperlukan penanganan lebih lanjut, Anda bisa menghubungi layanan konseling psikologis terdekat.

Sekitar sepekan lalu, tepatnya tanggal 14 Juli 2020, seperti hari-hari biasanya, saya bangun tidur langsung membuka ponsel dan berselancar, menengok berita yang terlewat di hari sebelumnya dan mencari tahu informasi terbaru hari itu. Saya kaget bukan kepalang melihat media-media arus utama di Indonesia dengan kompak menulis berita kematian Francois Abelio Camille, seorang warga Perancis yang menjadi pelaku kekerasan seksual di Indonesia. Judulnya pun nyaris seragam, ia mati bunuh diri, bahkan tak sedikit media yang menulis metode bunuh diri di judul berita.

Saya lantas menyusur satu per satu media daring yang memberitakan kejadian tersebut dan semakin tak habis pikir ketika membaca berita-berita yang disajikan. Media seperti menjadi tadah liur kepolisian dalam pemberitaan ini, termasuk menulis dengan detail metode bunuh diri, piranti yang digunakan, serta proses bunuh diri seperti yang dipaparkan oleh polisi.

Padahal sejak Maret 2019 lalu, Dewan Pers telah mengeluarkan Pedoman Pemberitaan terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri (PDF). Pedoman itu dikeluarkan bukan tanpa alasan. Pemberitaan tindak bunuh diri yang ngawur bisa memicu terjadinya bunuh diri tiruan pada pembaca atau penonton berita.

Buruknya lagi, sampai saya menulis ini, tak ada tulisan kritis yang muncul dari kematian predator seksual asal Perancis itu.

Ada banyak pertanyaan yang muncul di kepala saya ketika membaca berita itu:

“Mengapa jurnalis-jurnalis ini menulis dugaan polisi soal proses kematian? Apakah polisi sempat menanyai Francois saat masih dirawat di rumah sakit sebelum akhirnya meninggal?”

“Bagaimana tahanan bisa bunuh diri di penjara?”

“Bagaimana prosedur pengamanan Francois Abelio Camille saat itu? Apakah tidak ada pengecekan atau penjagaan terhadap tahanan?”

“Apakah tidak ada perawatan di dalam tahanan? Kenapa ada barang rusak dibiarkan begitu saja?”

“Kenapa wartawan percaya saja saat polisi bilang Francois bisa bunuh diri karena postur tubuhnya yang tinggi? Padahal ada kelalaian polisi di situ.”

Saya ingat kejadian tahun lalu, pada Agustus 2019, ketika Jeffrey Epstein, seorang tersangka perdagangan seks dikabarkan bunuh diri di salah satu sel penjara Metropolitan Correctional Center Manhattan, Amerika Serikat. Kabar itu tersiar di berbagai media, tak terkecuali media di Indonesia. Namun ada yang berbeda dari cara penulisan kejadian tindak bunuh diri Francois di media arus utama Indonesia dan kejadian tindak bunuh diri Epstein di media asing.

Saya ambil contoh penulisan dari New York Times pada 10 Agustus 2019, mereka memang memaparkan metode bunuh diri Epstein kala itu, tapi tulisan yang mereka berikan bukan sekadar tulisan cepat untuk mengejar klik. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian mereka di tulisan tersebut yakni kronologi kematian termasuk kelalaian petugas tahanan federal, serta suara-suara korban dan pengacara korban si Epstein, serta pernyataan pengacara Epstein. Berita yang mereka tulis juga bukan sepotong-sepotong seperti media kita, tapi berita utuh.

“Kita harus hidup dengan trauma atas tindakannya seumur hidup kami, sementara dia tidak akan pernah menghadapi konsekuensi dari kejahatan yang ia lakukan — rasa sakit dan trauma yang ia lakukan pada begitu banyak orang,” ujar Jenifer Araoz, salah satu korban Epstein.

“Kami sangat menyesal mengetahui kabar ini. Tidak seharusnya ada tahanan mati di penjara,” ujar tim pengacara Epstein, Marc Fernich.

Dalam berita mereka, New York Times juga membeberkan kejadian yang terjadi di tahanan, bukan malah menulis dugaan proses terjadinya bunuh diri yang dilakukan oleh Epstein, seperti yang dilakukan oleh media arus utama di Indonesia atas kasus Francois.

Beberapa Hari Kemudian, Apa yang Dilakukan oleh Media Massa?

Rabu, 22 Juli 2020 malam, saya mencoba mencari informasi terbaru tentang kasus Francois. Media arus utama Indonesia hanya menuliskan bahwa kasus Francois dihentikan. Pertanyaan yang ada di kepala saya sejak membaca kabar kematian Francois belum terjawab.

Seminggu setelah kematian Epstein, BBC mengabarkan tentang dua orang penjaga sel dari Epstein diberhentikan dan sipir dipindahkan karena lalai sehingga Epstein bisa melakukan tindak bunuh diri di penjara.

Pada 18 November 2019, New York Times masih terus memberitakan kematian Epstein. Mereka memberitakan tentang hukuman yang bisa diperoleh dua petugas jaga pada malam Epstein bunuh diri. Para petugas itu bertanggung jawab terhadap keamanan tahanannya dan mereka diketahui tertidur ketika Epstein melakukan bunuh diri.

Dalam kasus Francois, semestinya media bisa berpikir bahwa Francois bisa melakukan bunuh diri bukan karena tubuhnya yang tinggi. Jika petugas tahanan tak lalai menjaga Francois dan memperhatikan perawatan di tahanan, maka peristiwa Kamis (9/7/2020) malam itu tak akan terjadi. Jika Francois tak meninggal dunia, maka kasus Francois masih berlanjut. Jika kasus berlanjut, maka polisi bisa mencari korban dan memberikan pemulihan trauma kepada 286 korban lainnya.

—-

Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda atau orang terdekat Anda memiliki tendensi untuk untuk melakukan tindakan tersebut, segera hubungi orang yang dipercaya atau layanan konseling psikologis terdekat.

(Ilustrasi: Pixabay)

*Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang memperjuangkan kesetaraan. Saat ini managing editor Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!