Film Kerja, Prakerja, Dikerjai: Cerita Para Pekerja yang Dikerjai

Dokumenter ini mengemas kritik terhadap program pemerintah untuk mengatasi isu perburuhan. Dengan data dan contoh nyata film ini mampu menghadirkan kebijakan pemerintah yang semakin membuat tragis nasib para pekerja. Sayangnya, penempatan narasumber perempuan dalam dokumenter ini belum mampu mengangkat masalah-masalah khas perempuan

Tika Adriana – www.Konde.co

“Sebenarnya itu kita ambil dari slogan pemerintah sendiri, yakni kerja-kerja-kerja, tapi ternyata kita kerja, lalu ada program prakerja, dan ujung-ujungnya dikerjai. Semoga pesan itu sampai sih di masyarakat,” ujar Sindy Febriyani, Sutradara dari film ‘Kerja, Prakerja, Dikerjai’ dalam diskusi “Membedah Film ‘Kerja, Prakerja, Dikerjai’”, Selasa (16/6/2020).

Lewat dokumenter berdurasi 52 menit 59 detik ini, Sindy bersama Watchdoc dan Greenpeace Indonesia membeberkan masalah kartu prakerja, program yang dibangga-banggakan Jokowi sejak masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Jokowi menganggap program ini mampu menjadi solusi atas masalah ketenagakerjaan dan pengangguran di Indonesia.

Seperti kita ketahui, sejak pandemi Covid-19 masuk ke negara kita, problem ketenagakerjaan terus meningkat. Saat film ini diproduksi, mereka mencatat ada 375.165 pekerja formal yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), 1.032.999 pekerja formal dirumahkan, dan 314.833 pekerja informal terdampak. Jika dijumlah ada 1.722.958 pekerja terdampak yang terdata. Namun jumlah keseluruhan itu bertambah menjadi 3.066.567 pekerja dirumahkan atau terkena PHK per tanggal 27 Mei 2020.

Angka itu masih lebih sedikit dari jumlah yang dibeberkan oleh Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roeslani dalam rapat kerja dengan Badan Legislasi DPR RI. Selama pandemi Covid-19, Rosan menyebut pekerja yang terdampak mencapai 6,4 juta orang. Ia mendapatkan jumlah itu dari asosiasi per sektor usaha.

Film tersebut menyentil krisis yang dialami oleh para pekerja di Indonesia di masa pandemi ini. Mereka membongkar dari akar masalah seperti: Mengapa banyak pekerja yang mengalami krisis? Apakah pekerja kita punya tabungan? Bagaimana konsep pengupahan di Indonesia? Apa sih kebutuhan dasar manusia?

“Akhirnya kita lihat konsep UMP di Indonesia itu UMP hanya kebutuhan dasar, ketika ada pandemi, upah sebulan itu cuma buat sebulan, enggak bisa ngapa-ngapain lagi,” ungkap Sindy.

Krisis yang dialami para pekerja dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengebut Omnibus Law Cipta Kerja. Ini tentu menjadi petaka bagi para pekerja. Dalam dokumenter ini, jurnalis senior Farid Gaban menjelaskan ancaman Omnibus Law seperti upah minimum yang tak lagi diatur, syarat kerja untuk kontrak diperlonggar, tidak ada denda keterlambatan pembayaran gaji, hingga pesangon yang hilang.

Selain itu, di tengah pandemi, pemerintah juga sudah mengesahkan Undang-Undang Minerba yang baru. Undang-undang ini mempersempit ruang hidup masyarakat karena mereka tak lagi punya ruang partisipasi untuk mengatakan tidak, serta memperparah kerusakan lingkungan. Ketentuan baru itu juga tak menyelesaikan masalah pengangguran seperti yang dibilang Jokowi karena hanya memenuhi jumlah kebutuhan satu persen tenaga kerja di Indonesia.

Apakah mampu memenuhi kebutuhan manusia? Tidak.

Wiwid, seorang buruh garmen bagian pengawas produksi menjadi pekerja terdampak saat pandemi. Ia mengalami pemutusan hubungan kerja dan tak mendapatkan hak yang semestinya: kompensasi tak sesuai dengan undang-undang, dicicil sampai desember, tak ada THR, dan tidak bisa menuntut.

“Kita tanggal 1 April masuk, langsung kita dipanggil perusahaan, perwakilan dari karyawan bahwa mereka menyatakan pabrik tutup. Itu bikin kita kaget, tiba-tiba ada pengumuman pabrik tutup. Kita bertanya, ‘itu tutupnya dirumahkan karena covid?’, mereka bilang permanen karena perusahaan sudah merugi dari tahun 2017 sampai sekarang,” ujar Wiwid dalam dokumenter tersebut.

Pekerja lain yang terdampak yakni Fitria, 43 tahun, ibu tunggal dari empat orang anak yang bekerja di klinik kecantikan di daerah Jakarta Selatan. Tempat Fitria bekerja harus tutup selama pandemi Covid-19 karena pekerjaannya kerap bersentuhan langsung dengan wajah pasien.

Jika sebelum pandemi Fitria masih bisa menyisihkan penghasilannya untuk menyekolahkan anak pertamanya kuliah, kini upahnya hanya untuk hidup sehari-hari. “Biasanya saya juga dibantu sama anak saya nomor dua yang udah kerja, dia sekarang juga diPHK,” tutur Fitria.

“Kerja, Prakerja, Dikerjai” menegaskan kembali bahwa kebutuhan dasar manusia yakni memenuhi kebutuhan perut mereka alias pangan. Kartu prakerja, Omnibus Law Cipta Kerja, dan UU Minerba jelas bukan solusi utama. Softskill memang penting, tapi bagaimana mereka bisa belajar dengan baik kalau perutnya lapar?

Sindy kemudian menyodorkan Niki, pemuda Purbalingga yang memilih untuk hidup sebagai petani di saat orang seumurannya memilih bekerja kantoran. Keinginan Niki untuk mandiri secara pangan berdampak positif ketika pandemi: ia bisa makan meski negara mengalami krisis pangan.

Dokumenter ini juga membeberkan tentang pelatihan prakerja yang masih bias ekonomi perkotaan seperti promosi bisnis dengan instagram, cara beriklan di Youtube, hingga Bahasa Inggris dasar untuk sopir taksi. Film ini mempertanyakan pemerintah yang tak menyodorkan program ramah lingkungan dan menyenggol kemandirian pangan. Padahal jelas, di masa pandemi ini yang paling penting adalah pekerjaan yang sering dianggap sebelah mata oleh pemerintah seperti yang dilakukan Niki yakni menjadi petani.

Watchdoc dan Greenpeace mengemas kritik terhadap program pemerintah untuk mengatasi isu perburuhan dengan data dan contoh nyata yang baik. Sayangnya, penempatan narasumber perempuan dalam dokumenter ini belum mampu mengangkat masalah-masalah khas perempuan. Ketika saya menonton film ini hingga akhir, saya masih melihat bahwa isu perburuhan yang diangkat masih terlampau umum meski menggunakan narasumber perempuan.

Ada banyak masalah buruh perempuan yang belum disenggol dalam dokumenter ini, problem yang banyak disuarakan oleh buruh perempuan dalam masa pandemi seperti: bagaimana pemenuhan gizi buruh perempuan khususnya yang hamil dan menyusui selama masa pandemi? Bagaimana penerapan social distancing tanpa diskriminasi bagi mereka? Apakah ada diskriminasi upah bagi para pekerja perempuan di masa pandemi?

Selain itu, masalah Omnibus Law yang disentil juga tak berbicara soal kekhawatiran buruh perempuan. Padahal, jika Omnibus Law Cipta Kerja disahkan, maka akan menyudutkan posisi perempuan di perusahaan sebab hak perempuan dianggap mengganggu fleksibilitas. Perempuan membutuhkan cuti hamil, hak fasilitas khusus saat hamil, dan hak cuti haid.

Omnibus Law menjadikan buruh perempuan tak memiliki perlindungan. Ini tentu akan meningkatkan eksploitasi terhadap buruh perempuan. Ketika negara membikin fleksibel upah dan jam kerja, tentu akan terjadi diskriminasi upah bagi buruh perempuan.

(Foto: Youtube/ Watchdoc)

Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!