Perjuangan Para Perempuan Merebut Panggung Seni Pertunjukan

Dalam seni pertunjukan, perempuan masih dianggap sebagai gender kedua. Karya mereka lebih sulit diakui oleh masyarakat ketimbang laki-laki. Menjadikan karya sebagai tempat menyuarakan kegelisahan bisa dilakukan untuk merebut panggung seni.

*Tika Adriana– www.Konde.co

“Seni pertunjukan tradisional maupun modern di Indonesia tidak pernah kekurangan perempuan, tetapi perempuan tidak serta merta kentara di sana jika posisinya tidak serta diupayakan setara,” ujar Naomi Srikandi ketika mengawali Diskusi Daring “Perempuan Menawar Panggung” yang diadakan Cipta Media Kreasi pada 24 Juli 2020 lalu.

Tak bisa dipungkiri, budaya patriarki yang begitu kental di masyarakat tutur memengaruhi dunia seni. Doktrin ini membuat perempuan seringkali hanya dianggap sebagai objek seni, bukan sebagai subjek. Mereka kerap dijadikan sebagai perhiasan dalam seni. Ketika para perempuan ditempatkan dalam posisi pencipta seni, mereka lebih sulit merebut panggung ketimbang laki-laki.

Dalang perempuan yang juga berprofesi sebagai pengajar, Kenik Asmorowati menceritakan pengalamannya yang dipandang sebelah mata ketika mulai menjajal pentas. Dominasi laki-laki dalam profesi ini membuat ia dipandang rendah.

Hal ini berpengaruh terhadap seni yang dilahirkan dalam pewayangan. Tokoh perempuan yang ditampilkan hanya diposisikan sebagai pelengkap atau pemeran pembantu yang tidak banyak bicara. Tokoh perempuan ini menjadi tokoh yang tak punya kebebasan berpendapat dan mereka dianggap sebagai tokoh yang siap melaksanakan tugas.

“Akhirnya saya mengangkat tokoh perempuan sebagai tokoh utama, sekaligus apa yang disampaikan oleh tokoh ini dari perspektif perempuan. Jadi perempuan tidak lagi direndahkan, sehingga sejajar dengan laki-laki,” ujar Kenik dalam diskusi tersebut.

Mendengar cerita Kenik, saya teringat esai Soe Tjen Marching berjudul “Kebisuan Komponis Perempuan” dalam buku Seks, Tuhan, dan Negara, tulisan ini juga pernah ia terbitkan di Kompas pada tahun 2010. Marching menulis bahwa kebanyakan perempuan yang memutuskan belajar musik, hanya berakhir sebagai pemain. Ketika menjadi pemain, mereka secara otomatis patuh kepada sang komponis yang didominasi oleh laki-laki. Komponis merupakan pemimpin, ia merupakan pengatur, pemberi arah, dan pengkritik para pemain dalam sebuah pagelaran.

“Inilah kesukaran komponis perempuan. Karena ia harus menghadapi beberapa manusia yang tidak dapat menerima dirinya sebagai pencipta,” tulis Marching dalam esainya.

Ia mencontohkan karier Fanny Mendelssohn, seorang komponis asal Jerman yang tenggelam dalam popularitas saudara laki-lakinya, Felix Mendelssohn. Fanny baru diakui kehebatannya sebagai komponis baru-baru ini. Semasa hidup, Fanny punya bakat yang sama seperti kakaknya, bahkan Felix mengakui dia sebagai pemain piano yang baik dan menjadi penasihat musik utamanya, tapi ayah mereka meminta Fanny tak mengejar karier di bidang musik karena ia hanya akan menjadi hiasan.

Membangun Nilai Tawar Bagi Perempuan dalam Seni

Agnes Serfozo, sinden asal Hungaria, menceritakan perjalanan panggungnya yang seperti kurva “U”. Awalnya ia semangat mempelajari seni sinden, tapi seiring berjalannya waktu, ia kecewa karena seni yang semestinya menjadi tempatnya berekspresi justru tak memenuhi harapan para penanggap dan bahkan teman sesama seniman sendiri. Semangatnya kembali muncul ketika Agnes berkompromi dengan keinginan orang lain.

“Karena budaya yang berubah, sekarang sinden dituntut untuk aktif di panggung. Selain itu, nyinden harus membangun dialog dan membangun suasana dengan dalang. Di situ karena dalang kebanyakan laki-laki, mereka mendikte ke arah yang tidak baik. Pengalaman pribadi dengan seorang dalang, sekarang sudah almarhum, saya sering kali kalau melihat pertunjukannya, dia melecehkan perempuan,” ujar Agnes.

Melihat situasi tersebut, Agnes berkali-kali menolak tawaran kerja dengan dalang itu, hingga Agnes menceritakan ketidaknyamanannya. Sejak itu, Agnes menjadi sangat dihormati oleh sang dalang dan sebagai sinden, Agnes merasa memiliki posisi tawar yang sangat baik.

“Ada dua pilihan bagi saya [untuk memunculkan kenyamanan di panggung], satu bagaimana saya bisa mendorong batas-batas kenyamanan saya sendiri, sehingga saya bisa terima apa saja yang terjadi di panggung dengan cuek hati. Kedua, bagaimana setting panggung supaya jadi nyaman bagi saya. Kalau saya diserang dengan satu lelucon yang tidak nyaman bagi saya, ya bagaimana saya melempar kembali lelucon tersebut dengan cara yang lucu,” kata Agnes.

Seni sebagai Tempat Mengungkapkan Kegelisahan

Membangun panggung yang nyaman bagi diri sendiri juga dilakukan oleh Nanik Indarto, seorang pemain teater. Ia membuat kelompok teater perempuan mini untuk menuangkan idealisme diri dan kegelisahan sebagai perempuan bertubuh mini.

Awalnya, Nanik tertarik dunia kesenian karena ingin menjadi artis bertubuh mini seperti selebritis tersohor lainnya. Namun ketika ia terjun langsung dalam dunia hiburan, tubuhnya yang mini justru menjadi sasaran diskriminasi dan eksploitasi.

“Di situ saya mengalami rasa enggak nyaman di dunia hiburan ini. Orang bertubuh mini seringkali ketika dikaitkan dengan panggung hiburan menjadi objek lucu-lucuan. Jarang sekali orang bertubuh mini mengupas persoalan dirinya. Ini yang tidak diketahui masyarakat, apa sih persoalan orang bertubuh mini?”

Kadek Sonia Piscayanti, seorang pemain teater asal Bali, juga menggunakan seni sebagai medium untuk mendobrak stereotip yang melekat pada perempuan melalui karyanya. Ia menjadikan teater tak lagi eksklusif, tapi menjadi sarana perjuangan para perempuan dari berbagai profesi untuk mengutarakan kegelisahannya. Bersama perempuan yang belatar belakang sebagai tukang batu, akademisi, pelukis, mantan dokter, dan penyandang disabilitas, mereka menyuguhkan realitas yang penting untuk didengar dalam bentuk fiksi.

“Perempuan selalu dituntut untuk mahasabar, sehingga tabu kalau outspoken. Padahal sebenarnya channeling emotion itu normal karena kita manusia. Itu realitas yang selama ini tidak digarap karena perempuan tidak nyaman, mereka menyensor dirinya sendiri secara rapat, dan takut oleh sensor dari masyarakat. Para perempuan ini punya daya sensor kuat. Dari teater, kita bisa memainkan itu. Teater yang menjembatani itu,” tutur Sonia dalam diskusi tersebut.

Merebut panggung harus terus dilakukan oleh perempuan. Jadikan seni pertunjukan sebagai tempat untuk menyuarakan kegelisahan diri tanpa terkungkung oleh sistem patriarki.

*Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!