RUU Pekerja Rumah Tangga Gagal Dibahas Di Paripurna, DPR Mendiskriminasi PRT

Rasa optimisme sebenarnya sudah terlihat dalam beberapa minggu ini ketika Baleg DPR RI yang diwakili wakil ketuanya, Willy Aditya menyampaikan bahwa Baleg sudah menyetujui RUU PRT masuk menjadi agenda dalam rapat paripurna 16 Juli 2020. Namun ternyata Badan Musyawarah DPR tak mau memberikan dukungan pada RUU ini, akibatnya RUU PRT gagal dibahas dalam rapat paripurna.

Tim Konde.co

16 tahun perjuangan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (PRT) menjadi Undang-Undang, tak juga membuahkan hasil. Setelah disetujui Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk diusulkan agar disahkan menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna DPR RI pada 16 Juli 2020, Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI tidak menyetujui RUU PRT masuk dalam pembahasan rapat paripurna.

Tindakan Bamus ini menunjukkan sikap DPR RI yang tidak mempunyai keseriusan dalam memperjuangkan kelompok minoritas seperti PRT. Dalam Rapat Bamus DPR RI pada tanggal 13-14 Juli 2020, ada fraksi dari partai besar yang menolak usulan hasil rapat pleno DPR RI 1 Juli 2020 yang menetapkan usulan RUU PRT sebagai RUU Inisiatif DPR RI.

Koordinator JALA PRT, Lita Anggraini mengatakan bahwa penolakan dari fraksi yang berasal dari partai besar ini kemudian membuat RUU PRT gagal dibahas dalam rapat paripurna DPR RI 16 Juli 2020.

“Sikap fraksi-fraksi dari partai besar yang melakukan penolakan pada RUU PRT menggambarkan watak feodal, diskriminatif dan pengabaian terhadap PRT sebagai rakyat kecil. Padahal seharusnya sudah menjadi tugas konstitusi bahwa konstituen ada di hati, jiwa dan komitmen wakil rakyat di DPR,” kata Lita Anggraini

Sudah 16 tahun sejak diperjuangkan pertamakali di tahun 2004 RUU PRT mangkrak di DPR. Padahal sebenarnya yang diminta PRT Indonesia sebenarnya tak pernah muluk yaitu: ada perlindungan upah bagi PRT, ada jaminan sosial dimana majikan membayar Jamsostek sebesar Rp. 36.800 perbulan, ada waktu libur untuk PRT karena selama ini PRT bekerja tak mengenal waktu dan tak ada jam kerja, diberikan waktu untuk ibadah, PRT diberikan perjanjian kerja, pemerintah menyediakan Balai Pelatihan Kerja (BLK) untuk PRT karena selama ini PRT tidak pernah mendapatkan pelatihan kerja, ada pengawasan dari pengurus lingkungan di rumah seperti RT dan RW ketika ada kekerasan yang menimpa PRT dan harus ada aturan tidak boleh mempekerjakan PRT anak. Namun permintaan yang tak muluk inipun tak pernah disetujui hingga 16 tahun perjuangannya.

Hingga kini, 5 juta PRT bekerja tanpa status: tidak diakui sebagai buruh karena tidak masuk dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 dan bekerja tanpa perlindungan. Situasi rentan ini yang membuat banyak PRT mendapatkan kekerasan di tempat kerja, perendahan dan diskriminasi ketika bekerja.

Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja mencatat persoalan yang menimpa PRT antaralain: PRT mendpatkan beban kerja yang tidak terbatas, pemberlakuan jam kerja yang panjang (bisa melebihi 16 jam per hari), tidak ada waktu istirahat yang jelas, tidak ada libur mingguan dan cuti tahunan, tidak ada jaminan social, kekerasan psikis meliputi: intimidasi, isolasi, dan caci maki, kekerasan fisik meliputi: pemukulan, penganiayaan tanpa/dengan alat/benda, pelecehan dan atau kekerasan seksual, kekerasan karena perdagangan manusia, kekerasan ekonomi: upah rendah, THR tidak dibayar, PHK, dll

Sikap yang ditunjukkan Bamus DPR RI ini menunjukkan DPR yang tak punya keberpihakan pada rakyat kecil seperti PRT.

Maka dalam pernyataan sikap yang diterima Konde,co, Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja menuntut kepada DPR RI untuk menolak sikap Bamus DPR RI karena tidak mencerminkan wakil rakyat.

“Kami juga mendesak DPR RI agar membahas dalam rapat paripurna DPR RI 16 Juli 2020 dan mengajak masyarakat memprotes DPR yang gagal membahas RUU PRT dalam rapat paripurna DPRI RI 16 Juli 2020,” kata Lita Anggraini.

Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja: adalah aliansi yang terdiri dari kurang lebih 100 serikat buruh dan organisasi seperti Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Serikat SINDIKASI), Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Serikat Pekerja Nasional (SPN), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Komite Perempuan IndustriALL Indonesia Council, FSP TSK- KSPSI, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), dll

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!