Sesama Korban Catcalling, Kita Harus Berani Speak Up!

Sebagai sesama korban catcalling, saya selalu mengajak teman-teman saya untuk berani speak up. Tak usah malu untuk bicara karena ini salah satu cara untuk menghentikan pelecehan seksual yang banyak terjadi di ruang-ruang publik

Vioranda Felani- Konde.co

Tak mudah menjadi korban catcalling, ada yang marah, takut bahkan ada yang stress karena ini.

Saya dan kawan-kawan perempuan saya pernah jadi korban catcalling. Waktu itu saya berjalan dengan teman perempuan dan kakak perempuan saya di sebuah pusat perbelanjaan atau jalan misalnya, tidak jarang ada orang yang berusaha menggoda dengan kata-kata yang membuat perasaan tidak nyaman.

Seperti contohnya, “ssttt.. cewek, mau kemana?”

Atau,”cantik, namanya siapa?.”

Bayangkan saja, bagaimana perasaan kamu ketika menemukan hal tersebut di ruang publik dan kamu menjadi obyek pelecehan yang dilakukan oleh orang yang tidak anda kenal sama sekali. Apakah hal tersebut tidak mengganggu kamu? Saya yang ketika bukan menjadi obyek dan mendengar saja sudah tidak nyaman, lalu bagaimana teman dan kakak perempuan saya yang jadi obyek?

Ada sejumlah perempuan yang dipanggil- panggil seperti itu sambil diikuti di jalanan malam-malam. Apakah ini bukan sesuatu yang seram? Ini menakutkan, ada yang tak berani pergi karena diikuti sambil digoda seperti itu

Dan ternyata meskipun memang sebagian besar yang menjadi korban adalah perempuan, tetapi tetap saja ada kemungkinan bagi laki-laki untuk menjadi korban atas perilaku catcalling ini.

Setelah itu ternyata saya pun mengalaminya sendiri. Ketika itu, seperti biasa saya dan teman saya berolahraga di satu lapangan di Kota Surabaya. Karena saya berniat untuk melakukan jogging dan memang lapangan ini memiliki jogging track yang baik, maka banyak juga orang-orang yang datang untuk melakukan hal yang sama dengan saya. Untuk lebih rincinya, track pada lapangan tersebut berbentuk lingkaran, jadi mau tidak mau harus melewati jalur track yang sama.

Seperti biasa, saya melakukan aktivitas jogging ini mengelilingi beberapa putaran di lapangan tersebut.

Ketika putaran pertama, saya merasa memang sedang diawasi oleh beberapa orang dipinggir lapangan. Tetapi saya tetap cuek dan tetap fokus pada apa yang saya lakukan. Setelah putaran kelima, saya memutuskan untuk berjalan dengan tetap mengelilingi lapangan.

Ketika melintasi titik dimana orang-orang itu berkumpul, ada salah satu dari mereka kemudian berteriak “Haus, ya…ini lho minum.”

Meskipun terdengar seakan-akan ingin membantu, tapi tetap saja saya merasa tidak nyaman karena saya tidak mengenal orang-orang tersebut ditambah lagi dengan nada yang seakan-akan ingin menggoda.

Tetapi saya tetap dengan tujuan awal saya untuk berolahraga di tempat itu maka saya masih mengelilingi lapangan tersebut.

Lalu ketika putaran-putaran terakhir dan saya sedang berjalan sambil berbincang dengan teman saya dan melewati orang-orang itu untuk kesekian kalinya, salah satu dari orang tersebut berkata dengan jelasnya “Cieeeee…..”

Kemudian saya memastikan bahwa teman saya juga mendengar hal itu. Seketika itu saya menjadi tidak nyaman untuk melewati gerombolan itu lagi. Memang saya sengaja untuk tidak menegur mereka karena saya sendiri sangat malas untuk berurusan dengan orang-orang seperti itu dan hal itu akan membuang energi saya, karena yang lebih penting untuk dihabiskan adalah olahraga.

Ternyata laki-laki juga bisa jadi obyek catcalling dan saya mengalaminya.

Catcalling merupakan bentuk dari pelecehan verbal atau biasa disebut juga street harassment dan biasanya dianggap biasa saja atau sebagai bentuk candaan oleh sebagian korbannya.

Perilaku ini akan berdampak pada perasaan tidak aman bagi korban yang mengalami catcalling dan juga bisa berakibat fatal hingga memicu keinginan seseorang untuk bunuh diri.

Tidak hanya itu saja, tidak jarang pula korban disalahkan karena mengundang pelaku untuk menggoda korban, misalnya saja perempuan yang digoda karena pakaian yang mereka kenakan.

Tentu saja ini tidak berpengaruh jika memang sudah ada niat dari pelaku untuk menggoda. Kebanyakan korban pelecehan secara verbal ini adalah perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan laki-laki juga bisa menjadi korban.

Saya memutuskan untuk membuat tulisan ini dengan harapan bahwa orang-orang yang membaca tulisan ini mengerti akan catcalling dan juga paham bahwa tidak hanya perempuan saja yang menjadi korban dari street harassment, laki-laki juga bisa menjadi obyek dari catcalling. Entah apa pun tujuannya, catcalling tetaplah sebuah perilaku pelecehan yang harus dihindari. Siapa pun korbannya, mau laki-laki atau perempuan kalian tetaplah tidak bersalah karena catcalling memang murni dari keinginan pelakunya.

Saya berusaha speak up melalui tulisan ini. Kemudian mengajak untuk siapa saja yang membaca agar tidak melakukan hal serupa karena catcalling adalah hal yang bodoh dan membuat obyeknya tidak aman dan nyaman untuk berada di lingkungan sekitar.

Dan untuk para laki-laki, saya sarankan jangan malu jika kalian ingin bercerita kepada orang terdekat anda tentang apa yang telah terjadi terkait dengan catcalling ini.

Mengapa saya menulis pernyataan demikian? Karena saya yakin, masih banyak laki-laki di luar sana yang menjadi obyek dari catcalling dan masih menganggap bahwa hal ini adalah sebuah lelucon. Dan jika mereka merasa risih mungkin masih banyak juga yang hanya merahasiakannya karena merasa malu untuk bercerita sebab akan dianggap sebagai “kurang macho” karena menganggap catcalling itu sebagai hal serius.

Hal ini berkebalikan, dengan kalian berani bercerita maka kalian akan berkontribusi pada perubahan yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang aman dan mengurangi terjadinya pelecehan berbasis gender.

Sekecil apa pun usaha kalian, hal itu sudah membantu terbentuknya masyarakat yang aman dari pelecehan seksual seperti catcalling.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Vioranda Felani, aktvis dan penulis, peneliti isu seksualitas

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!