Stigma Hitam dan Keriting: Diskriminasi dan Pengabaian pada Perempuan Papua

Secara fisik, perempuan Papua yang terlihat hitam dan keriting membuat mereka kemudian banyak mendapatkan diskriminasi dan pengabaian. Padahal sikap pengabaian ini adalah sikap menyakitkan, para perempuan Papua tidak dihargai sama seperti yang lainnya

Luviana- Konde.co

Yuliana Langowuyo merasakan sebagai perempuan Papua, mereka sering dianggap tidak penting, dianggap bodoh dan tidak mampu. Anggapan lain dianggap primitif dan terbelakang. Stigma ini semakin membuat perempuan Papua merasakan pembedaan dan ditinggalkan

Hal ini terungkap dalam diskusi kekerasan yang menimpa perempuan Papua yang diadakan Jakarta Feminist Discussion Group, pada 24 Juli 2020 melalui daring

Padahal Yuliana memaparkan, orang papua sudah berjuang dan sudah mengusahakan sendiri hidupnya sejak zaman dulu, namun selalu dianggap bodoh dan tak mampu.

Yuliana lalu mencontohkan tentang program transmigrasi yang pernah dilakukan pemerintah di masa orde baru dimana ada banyak orang didatangkan ke Papua untuk mengajari orang Papua bercocok tanam. Padahal orang Papua sudah melakukan praktik cocok tanam puluhan tahun sebelum program transmigrasi ini ada.

“Ini menunjukkan bahwa orang Papua dianggap terbelakang dan bodoh. Ini juga menunjukkan orang Papua yang ditekan,” kata Yuliana.

Dalam diskusi ini juga terungkap bahwa mengangkat persoalan Papua tak cukup hanya dari terminologi konflik, namun harus dilihat dari sisi sejarahnya dimana masyarakat Papua yang terus ditekan dan mendapat stigma buruk. Persoalan di Papua tidak bisa disederhanakan hanya dari soal separatisme dan NKRI harga mati, karena ada banyak sekali dimensi kekerasan disana. Kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Papua selama ini sangat banyak dan belum terlesaikan secara hukum. Banyak masyarakat Papua yang menjadi korban atas kekerasan, namun justru kekerasan ini lalu menambah stigma pada masyarakat Papua sebagai orang yang senang berkonflik. Ini menunjukkan bahasa yang digunakan selama ini selalu berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada

Padahal jika dilihat dari sejarah politik membuktikan tidakadanya keadilan bagi papua. Selama ini banyak yang menjadi korban dan belum mendapatkan keadilan secara hukum.

Selain itu di Papua juga ada persoalan kebebasan ekspresi dan akses media yang dibatasi, ini semakin menambah diskriminasi yang terjadi.

Aktivis perempuan Papua lainnya, Ethe Nelly memaparkan selama ini ada 3 kekerasan yang menimpa perempuan Papua. Pertama adalah kekerasan struktural seperti kebijakan keamanan untuk warga dan untuk perempuan yang bermasalah. Persoalan kedua adalah persoalan kultur yang tak berpihak pada perempuan, dan ketiga adalah persoalan interpretasi agama yang bias gender

“Banyak korban HAM di Papua dan belum banyak penyelesaian di Papua dan meninggalkan kekerasan dan trauma panjang dan sangat membekas, dan menurut saya belum ada upaya untuk memenuhi rasa keadilan di Papua,” kata Ethe Nelly

Ethe Nelly mencontohkan, misalnya sekarang ada dana otonomi tapi

bentuknya seperti apa, para perempuan tidak pernah tahu, maka perempuan Papua harus berusaha sendiri tanpa didampingi pemerintah.

“Jadi ada beberapa produk hukum yang harusnya bisa melindungi perempuan, namun tidak ada yang mengawal, maka kebijakan ini jadi tak berpihak pada perempuan papua.”

Hari ini tingkat kematian ibu dan bayi juga tinggi di Papua, lalu ada masalah adat, seperti misalnya tanah adat yang selama ini dikelola perempuan. Tetapi ketika diambil alih fungsi tanahnya, pemerintah hanya melibatkan suku adat tertentu saja dan tidak mengajak perempuan.

Yang ketiga, adanya kekerasan karena interpretasi agama yang bias gender yang kemudian diyakini banyak orang, ini menambah buruk kondisi perempuan

“Ini menunjukkan bahwa perempuan Papua tidak bisa mengakses tanah, menjadikan perempuan rentan kekerasan, stress dan berimbas pada kekerasan domestik.”

Narasi Kekerasan Dan Dukungan yang Mulai Berubah

Elvira Rumkabu, seorang akademisi Papua menyatakan bahwa salah satu yang menjadi penyebab kondisi ini, karena selama ini narasi perempuan Papua yang jarang didengarkan.

Walaupun tahun ini mulai ada perbedaan yang bisa dilihat, misalnya bagaimana isu rasisme ini mulai digerakkan oleh teman-teman di luar Papua yang bersolidaritas dan berkampanye, seperti yang dilakukan Jakarta Feminist Discussion Group yang membuka diskusi tentang Papua, juga sejumlah inisiatif lain yang digerakkan organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) di beberapa kota di Indonesia.

“Tahun ini rasanya lebih luas advokasinya. Untuk pertamakalinya mereka, teman-teman di luar Papua banyak yang bertanya pada kami: apakah kami rasis terhadap kamu? Seperti apa seharusnya kami bersikap? Bagaimana kami bisa membantu untuk menstop rasisme ini di Papua?,” papar Elvira Rumkabu

Dina Danomira adalah salah satu anak muda yang dihadirkan dalam diskusi ini. Sebagai anak muda, Dina bercerita bahwa di kalangan anak muda di Papua, soal kekerasan yang terjadi di Papua ini seringkali menjadi bahan diskusi serius. Mereka sering bertanya apakah anak-anak muda ini juga akan mengalami kekerasan yang sama sebagaimana orangtua mereka?

“Kami sering bertanya soal ini, apakah kami anak-anak muda ini akan mengalami hal yang sama yang dialami orangtua kami, mendapatkan kekerasan dan penindasan yang sama? Ini khan tidak baik, maka kami harus belajar untuk menyelesaikan bagaimana dengan kondisi ini?,” tanya Dina Donomira

Dari sini, Dina kemudian berdiskusi bersama anak-anak muda lainnya, mereka kemudian memutuskan untuk belajar sejarah, belajar dari fakta-fakta dan kejadian yang selama ini menimpa masyarakat Papua.

“Dari situ, kami menjadi tahu dan kami selalu diskusikan apa saja yang harus dilakukan sekarang.”

Inisiatif-inisiatif seperti diskusi dan solidaritas dari luar Papua akan sangat membantu bagaimana suara masyarakat di Papua disuarakan oleh berbagai pihak. Selain itu, ini juga bisa mengikis stigma yang selama ini diterima masyarakat Papua

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Luviana, setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar ilmu komunikasi di sejumlah universitas di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!