Survei #NewAbnormal: Pelecehan Seksual di Dunia Kerja Masih Tinggi Meski Bekerja di Rumah

Tingginya angka kekerasan seksual di lingkungan kerja saat bekerja di rumah menunjukkan bahwa perusahaan harus segera membuat peraturan pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja. Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan harus segera meratifikasi Konvensi ILO Nomor 190 Tahun 2019 dan Rekomendasi Nomor 206 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja supaya setiap pekerja mendapat jaminan perlindungan dari praktik pelecehan seksual, khususnya bagi pekerja perempuan.

Aprelia Amanda- www.Konde.co

“Medium pelecehan seksual semacam berevolusi. Pelecehan seksual tidak hanya terjadi secara langsung. Sejak ada platform digital, pelecehan seksual juga terjadi lewat medium itu,” ujar Alvin Nicola, Koordinator Never Okay Project dalam peluncuran hasil survei “#NewAbnormal: Situasi Pelecehan Seksual di Dunia Kerja selama Work from Home (WFH) bersama dengan South East Asian Freedom of Expression (SAFEnet), Jumat (12/6/2020).

Survei yang dilakukan terhadap 403 pekerja dengan 315 di antaranya bekerja dari rumah selama pandemi Covid-19 ini membuktikan bahwa bekerja dari rumah tak lantas membuat para pekerja nyaman dan aman. Responden dari survei tersebut tersebar di seluruh Indonesia, meski 57 persen penjawabnya berasal dari Jakarta.

Dalam survei yang dilakukan pada tanggal 6 April sampai 19 April 2020 tersebut menunjukkan bahwa pelecehan seksual bisa terjadi pada siapa saja dan perempuan menjadi kelompok paling rentan (65 orang), diikuti dengan laki-laki (19 responden), transpuan (1 responden), dan tidak diketahui (1 responden). Semua kelompok usia juga bisa menjadi korban pelecehan seksual dan responden pada rentang usia 18 sampai 24 tahun serta 45 sampai 54 tahun menjadi kelompok usia terbanyak mengalami pelecehan seksual selama WFH.

Ada sembilan bentuk pelecehan seksual yang paling banyak dialami pekerja perempuan maupun laki-laki selama bekerja di rumah seperti lelucon seksual; pelaku mengirim foto, video, rekaman suara, pesan teks, dan stiker seksual tanpa persetujuan; dibicarakan pelaku seksualnya, padahal tak relevan dengan pekerjaan; diperlakukan oleh rekan kerja sebagai alat pemuas hasrat seksual; difoto atau direkam diam-diam saat sedang bekerja online; diintimidasi dan diancam agar mau terlibat dalam aktivitas seksual; foto dan video bernuansa seksual disebar tanpa persetujuan.

Meski begitu, tidak semua korban berani melaporkan atau menegur pelaku. Hasil survei memperlihatkan bahwa 55 persen perempuan memilih diam karena tidak tahu harus berbuat apa, sedangkan pada laki-laki, jumlah yang diam lebih tinggi yakni sebanyak 79 persen karena adanya stigma bahwa laki-laki tidak bisa dilecehkan secara seksual.

Hampir semua korban pelecehan seksual dalam survei ini, 94 persen responden, tidak berani melaporkan kasusnya ke HRD karena mereka tidak percaya HRD akan berpihak kepada korban. Bahkan para korban justru khawatir akan disalahkan, tidak dipercaya, berpengaruh pada karir, dan HRD tak bisa berbuat apapun.

Padahal dampak pelecehan seksual terhadap kesehatan mental para korban sangat besar: 60 persen dari responden survei mengatakan bahwa mereka marah dan merasa tidak aman; 33 persen merasa malu dan tidak percaya diri; 26 persen gelisah, stres, hingga depresi; dan 9 persen terpikir untuk bunuh diri.

Tidak Ada Platform yang Bebas Pelecehan Seksual

SAFEnet, salah satu mitra Komnas Perempuan yang kerap menangani kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) menyebut bahwa semua platform bisa menjadi medium pelecehan seksual.

“Tidak ada platform digital yang aman. Setiap platform yang memungkinkan interaksi, maka pelecehan seksual bisa saja terjadi,” kata Ellen Kusuma, Digital At-Risk dari SAFEnet.

Aplikasi pesan seperti WhatsApp, Line, Telegram, dan lainnya, merupakan tempat yang paling sering digunakan oleh pelaku pelecehan seksual melakukan aksinya. Persentase kejadian dalam survei ini mencapai 40 persen. Setelah itu aplikasi media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, Youtube, dan lainnya, sebanyak 19 persen.

Salah satu faktor penyebab pelecehan seksual terjadi yakni memudarnya sekat antara urusan privat dan profesional sehingga interaksi di dunia maya tak lagi dipandang sebagai interaksi profesional, tapi semakin personal. Akhirnya pelecehan seksual oleh rekan kerja hanya dianggap lelucon dan menjadi praktik yang dinormalisasi. Ini terlihat dari hasil survei yang mengatakan bahwa 23 persen korban dan 19 persen saksi masih menganggap wajar praktik pelecehan seksual.

“Makanya kita kasih judul survei ini #NewAbnormal karena saking banyaknya pelecehan seksual di sosial media (platform digital), pelecehan seksual jadi dilihat seperti hal yang wajar dan normal-normal saja. Pelecehan seksual enggak bisa dianggap wajar. Itu Abnormal,” ungkap Ellen.

Meskipun angka pelecehan seksual saat bekerja di rumah, sayangnya hanya 15 persen perusahaan yang punya kebijakan terkait pelecehan seksual selama bekerja di rumah.

Survei ini semakin menunjukkan bahwa semua perusahaan harus segera membuat peraturan pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja, karena pekerja yang berinteraksi lewat online saja masih bisa mendapatkan pelecehan seksual, apalagi jika berinteraksi secara langsung.

Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan harus segera meratifikasi Konvensi ILO Nomor 190 Tahun 2019 dan Rekomendasi Nomor 206 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja supaya setiap pekerja mendapat jaminan perlindungan dari praktik pelecehan seksual, khususnya bagi pekerja perempuan.

(Foto/Ilustrasi: Pixabay)

Aprelia Amanda, biasa dipanggil Manda. Menyelesaikan studi Ilmu Politik di IISIP Jakarta tahun 2019. Pernah aktif menjadi penulis di Majalah Anak (Malfora) dan kabarburuh.com. Suka membaca dan minum kopi, Manda kini menjadi penulis dan pengelola www.Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!