Terima Kasus Melalui Video Call: Pengalaman Pendamping Korban Kekerasan Seksual

Bagi Gisella Tani Pratiwi, psikolog yang biasa menerima konsultasi dari korban kekerasan seksual, perubahan besar yang terjadi di masa pandemic Covid-19 adalah cara konsultasi yang biasa tatap muka, mendadak beralih secara daring, baik melalui video call, voice call, ataupun pesan teks

Fadiyah- Konde.co

Pandemi menjadi mengubah banyak cara manusia berinteraksi. Salah satunya adalah ketika penanganan kasus kekerasan seksual. Penanganan ini tentu tak berhenti, bahkan selama berlangsungnya pandemic.

“Kendalanya, perlu banyak adaptasi dalam menjalin hubungan empati yang biasanya dengan tatap muka,” kisah Gisella pada saya 23 Mei 2020 lalu.

“Misalnya, belajar bagaimana menetapkan cara yang lebih meningkatkan rasa percaya klien dan hubungan empatik via online.”

Gisella, yang juga merupakan mitra kerja dari Yayasan Pulih, menilai bahwa kondisi ini membuat semua pihak turut belajar dan beradaptasi untuk cara-cara baru ini, baik pemberi layanan seperti psikolog, maupun klien atau penyintas kekerasan seksual.

“Di satu sisi, saya melihat ini kesempatan yang baik untuk meluaskan layanan konseling psikologis kepada banyak kalangan dan ke area yang luas karena menggunakan online, yang mungkin sebelumnya sulit meraih bantuan,” ungkap Gisella.

“Namun memang menjadi tantangan bagi pemberi layanan untuk mengelola proses layanan agar optimal kualitasnya.”

Terkait aksesibilitas, Gisella pun menilai bahwa dalam kondisi ini, perlu adanya peningkatan sosialisasi layanan dan kualitas layanan di sejumlah daerah. Salah satu tujuannya adalah agar dapat diketahui lebih banyak orang

“Karena sepertinya masih ada layanan di beberapa area yang mungkin masih perlu meningkatkan aksesibilitas kepada masyarakat yang memerlukan,” ujarnya.

Pasalnya, jelas Gisella, ia justru menemukan bahwa kondisi pandemi yang membuat masyarakat mengkarantina diri di rumah bisa memperburuk keadaan penyintas kekerasan seksual.

“Korban kekerasan seksual, khususnya ketika berada di rumah masa karantina, tentu akan beragam kondisi psikologisnya. Namun pada umumnya sangat rentan mengalami kondisi yang semakin terpuruk,” ujar Gisella.

Dalam pengalaman Gisella menerima konseling hingga terapi, sejumlah kasus pun menunjukan bahwa justru ada kondisi yang penuh stress akibat pandemi bagi penyintas kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual.

Terlebih, kondisi ini membuat penyintas harus bekerja di rumah sehingga kurang mendapatkan dukungan secara sosial, atau harus bertemu dengan keluarga yang punya relasi toksik, hingga menurunnya pendapatan nafkah, yang turut memperkuat dampak psikologis akibat kekerasan seksual yang mereka alami.

“Sehingga merasa semakin terganggu akan dampak-dampak yang mereka alami. Bahkan, beberapa sudah memperlihatkan indikasi kuat gangguan psikologis seperti depresi,” ungkap Gisella.

Sementara dari segi hukum, pandemi pun mengubah beberapa hal dalam proses pendampingan kasus. Hal tersebut turut disampaikan oleh Ketua Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK Jakarta) Siti Mazuma.

Pandemi mengalihkan proses pendampingan menjadi lebih banyak dilakukan secara daring, kecuali benar-benar dalam keadaan terdesak, atau untuk keperluan sidang. Namun, selain perubahan cara pendampingan, hal lain yang mengkhawatirkan Siti Mazuma adalah melonjaknya laporan kasus yang masuk ke lembaganya.

Pada umumnya, rata-rata laporan yang masuk ke LBH APIK adalah 60 kasus perbulan. Sementara selama pandemi, terhitung sejak 19 Maret sampai 20 Mei 2020, terdapat 194 kasus. Jadi angkanya naik 3 kali lipat lebih banyak

Kasus terbanyak berupa kekerasan berbasis gender online sebanyak 64 kasus. Kemudian, diikuti dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berjumlah 58.

Tingginya angka Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), serta banyaknya korban yang terjebak dengan pelaku selama masa karantina, membuat situasi menjadi semakin mengkhawatirkan.

“Saat dia tinggal sama pelaku, ini kan memperburuk kondisinya,” ujar Zuma saat dihubungi pada Sabtu, 23 Mei 2020

Dengan itu, Zuma pun meminta agar pada korban bisa menyimpan kontak hotline atau darurat, serta menghubungi kontak tersebut apabila dalam keadaan darurat, atau terjebak dalam situasi kekerasan.

“Jangan abaikan nomor-nomor itu. Jadi kalau ada situasi darurat, segera hubungi nomor-nomor itu. Kalau memang harus keluar dari rumah, tentu keluar dengan protokol kesehatan,” ujar Zuma.

Rumah aman untuk para korban berlindung pun, menurut Zuma, menjadi ruang yang amat dibutuhkan dalam situasi semacam ini.

Selain KDRT, tingginya laporan kasus kekerasan berbasis gender online atau KBGO juga disoroti oleh Zuma. Bentuk kekerasan ini, ujar zuma, umumnya berupa eksploitasi seksual atau meminta korban melakukan sejumlah kegiatan seksual disertai ancaman penyebaran foto atau video seksual korban.

“Nah, biasanya yang mereka [korban] lakukan meminta kami untuk mengirim surat ke somasi pelakunya bahwa korban sudah lapor ke kami, dan kami berikan somasi,” jelas Zuma.

Langkah somasi tersebut kerap kali diambil karena dalam sejumlah kasus korban enggan untuk melaporkan kasus tersebut ke polisi. Salah satu pertimbangannya, laporan perlu didukung dengan bukti yang artinya foto atau video korban akan turut dilihat oleh aparat.

“Kami juga menyadari pilihan tak bisa lapor polisi, saat korban memang gak mau,” ujarnya.

Zuma pun menyampaikan bahwa sekalipun dalam situasi seperti ini, ia berharap saat memang ada yang merasa mendapatkan kekerasan, tetap bisa untuk segera melaporkannya.

“Jangan membiarkan diri lama-lama dalam relasi tak sehat. Jangan dipendam sendiri. Cari bantuan ke nomor-nomor darurat,” kata Zuma.

“Kami pasti berusaha semaksimal mungkin. Jangan sampai situasinya dipersempit jadi mati di rumah atau karena covid,”pungkasnya

Sejumlah kontak hotline yang dapat dihubungi:

LBH APIK: 081388822668

Yayasan Pulih: +628118436633

P2TP2A DKI: +62 813-1761-7622

Komnas Perempuan: (021) 3903963

Kontak UPTD PPA di beberapa daerah

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Fadiyah, Jurnalis lepas di Jakarta. Kini aktif sebagai pengurus divisi gender Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. Di waktu kosong, kerap kali mengubah khayalannya jadi fiksi

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!