Dunia Kembali Memperingati Hari Anti Perbudakan, Namun Nasib PRT Tak Juga Berubah

 

Setiap tanggal 23 Agustus, dunia memperingati hari penghapusan perbudakan, namun nasib Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang bekerja di 5 juta rumah tangga di Indonesia, tak juga berubah. Jaringan nasional advokasi PRT, JALA PRT bersama organisasi perempuan, organisasi keberagaman dan Komnas Perempuan menyampaikan rasa keprihatinannya atas kondisi ini

Luviana- Konde.co

Badan Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa UNESCO pada tahun 1997 menetapkan tanggal 23 Agustus sebagai hari internasional untuk mengenang perdagangan budak dan penghapusannya, yang pernah menjadi sejarah kelam kemanusiaan dan memberi penghormatan kepada mereka yang berjuang untuk kemerdekaan menghapus perbudakan. 

Meski secara legal perbudakan telah dihapuskan di seluruh dunia, namun pada praktiknya tindakan-tindakan perbudakan modern atau serupa perbudakan masih sering kita jumpai. Bentuk-bentuk perbudakan modern tersebut antara lain: perdagangan orang, kerja paksa, kerja dalam jeratan hutang (bondage labour), perbudakan berdasarkan keturunan, perbudakan anak-anak, kawin paksa dan kawin dini.

Komnas Perempuan mencatat, menurut Indeks Perbudakan Global (The Global Slavery Index-GSI) pada 2018 diperkirakan ada 40,3 juta orang di seluruh dunia hidup dalam situasi perbudakan. Dari angka tersebut 71% adalah perempuan dan 24,9 juta orang berada dalam situasi kerja paksa serta 15,4 juta mengalami perkawinan paksa.

Pelapor khusus PBB, Urmila Bhoola, dalam laporannya di tahun 2018 menyatakan bahwa salah satu bentuk praktik perbudakan adalah perhambaan/ perbudakan dalam rumah tangga (domestic servitude) yang masih terjadi di seluruh dunia, baik di negara maju, berkembang dan miskin. 

Komnas Perempuan melihat bahwa PRT merupakan salah satu kelompok yang paling rentan bersinggungan dengan praktik perbudakan modern, lantaran kondisi kerja yang tidak layak dan manusiawi seperti jam kerja panjang, upah rendah atau tidak dibayar, isolasi, penahanan dokumen pribadi, rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi. Wilayah kerjanya pun banyak di ruang privat dan tertutup, serta dikecualikan dari pengakuan dan perlindungan ketenagakerjaan

Dalam konferensi pers yang dilakukan secara daring pada 23 Agustus 2020, Komnas Perempuan secara khusus memberi perhatian pada praktik perbudakan yang masih dialami oleh pekerja rumah tangga, baik yang terjadi di dalam negeri maupun PRT migran Indonesia. 

Perhatian ini penting mengingat kondisi buruk yang dialami PRT cenderung tidak mengalami perbaikan. Pada 2019, tercatat ada 317 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga berdasarkan pengaduan yang dihimpun oleh JALA PRT Indonesia. Sedangkan pada 2018, angka kekerasan terhadap PRT tercatat 427 kasus, lebih tinggi jika dibandingkan pada 2017 yaitu sebanyak 342 kasus. Perkiraan jumlah PRT di Indonesia sendiri menurut ILO (2015) sekitar 4,2 juta orang dengan 84%-nya adalah perempuan atau sekitar 5 juta PRT di tahun 2020 ini.

Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi mengatakan bahwa PRT di Indonesia hingga saat ini masih mengalami kondisi kerja yang tak layak, upah rendah, isolasi, diskriminasi dan eksploitase. Tak ada cara lain, Komnas Perempuan mendorong DPR RI untuk tidak menunda lagi penetapan RUU Perlindungan PRT sebagai RUU Inisiatif DPR dan mengesahkannya sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan hukum terhadap PRT.

“Kami juga mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Kementerian Tenaga Kerja untuk memberikan perhatian khusus kepada PRT, termasuk untuk mencegah PRT anak mengingat kerentanan berlapisnya, meminta masyarakat luas dan media untuk mendukung pengesahan RUU Perlindungan PRT dan mengawasi pembahasan RUU Perlindungan PRT di DPR RI,” kata Satyawanti Mashudi

Kondisi Ironi PRT di Indonesia

Lita Anggraini, Koordinator JALA PRT dalam konferensi pers tersebut menyatakan tentang kondisi ironi yang dialami para PRT di Indonesia, ini bisa dilihat dari Indonesia yang diumurnya yang ke 75 tahun namun belum juga mengakui PRT sebagai pekerja. 

Padahal Mantan Presiden Soekarno pernah menuliskan soal Sarinah yang adalah PRT Soekarno dalam salah satu buku yang berjudul Sarinah. 

Soekarno menuliskan secara khusus tentang Sarinah, perempuan yang mengasuhnya di masa kecil dan Soekarno sangat menghargai peran Sarinah hingga menuliskan buku sebagai bagian perjuangannya pada kelompok perempuan miskin di Indonesia. Pesan inilah yang ingin disampaikan bahwa Soekarno sudah memperjuangkan nasib PRT sejak 70 tahunan lalu untuk diperjuangkan haknya.

“Kita baru saja memperingati Indonesia merdeka yang ke 75 tahun, dulu Soekarno memperjuangkan, menuliskan jasa-jasa Sarinah, namun sudah 75 tahun Indonesia merdeka, nasib PRT belum juga berubah,” kata Lita Anggraini

Saat ini yang terjadi, setelah diperjuangkan selama 16 tahun agar disyahkan menjadi undang-undang, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan PRT hingga sekarang masih terkatung-katung nasibnya. 

Terakhir, RUU ini gagal dibahas dalam rapat paripurna DPR pada Juli 2020 lalu karena setelah diusung menjadi RUU inisiatif DPR oleh Baleg DPR, namun agenda pembahasannya di rapat paripurna tidak disetujui oleh Badan Musyawarah DPR (Bamus DPR), Walaupun ada informasi yang mengatakan bahwa Bamus tak mengagendakan RUU dalam rapat paripurna karena masih ada 2 partai besar yang belum memberikan dukungan pada RUU ini

Lalu bagaimana nasibnya kini? Lita Anggraini mengatakan bahwa pada masa sidang 14 Agustus 2020 lalu,  Baleg sudah menyurati ke Bamus dan menyatakan bahwa putusan Baleg dalam rapat pleno Juli 2020 yang mengusung RUU PRT sebagai RUU inisiatif DPR  harus dibahas dalam rapat paripurna DPR dan sifatnya mengikat.

“Ini juga berarti bahwa Bamus tidak bisa membatalkan RUU PRT untuk tidak dibahas dalam paripurna DPR yang harus diagendakan hingga Oktober 2020,” kata Lita Anggraini. 

Lita mengatakan bahwa Menteri Tenaga Kerjapun sebagai perwakilan pemerintah, saat ini sudah menyambut baik pembahasan RUU PRT dalam rapat paripurna DPR. 

Batalnya pembahasan RUU PRT dalam rapat paripurna DPR pada Juli 2020 lalu telah membuat banyak organisasi yang mendukung perbaikan nasib PRT menjadi UU merasakan kecewa. Mike Verawaty, Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia/ KPI menyatakan bahwa fakta perbudakan di Indonesia adalah ketika PRT belum mendapatkan pengakuan dan perlindungan dan hak dasar.

“Maka penting sekali bagi DPR untuk segera mengesahkan RUU PRT karena PRT di Indonesia selama ini tidak memiliki jam kerja pasti dan hari libur dan belum terlindungi dari perlindungan sosial,” kata Mike Verawaty

Musdah Mulia, aktivis keberagaman sekaligus Ketua Indonesian Conference On Religion and Peace/ ICRP menyatakan bahwa kelompok keberagaman merupakan kelompok yang mendukung RUU PRT untuk segera diundangkan. 

“Perbudakan ini juga tak selesai sejak zaman nabi, saya menggugah wakil rakyat untuk menjadikan ramadhan ini untuk hijrah dari perbudakan sesama dan mengeksploitase sesama dan harus menghormati sesama karena semua pesan agama itu adalah pesan kemanusiaan soal harkat dan martabat manusia. Karena itu tidak boleh ada bentuk ekspkoitase dan perbudakan. PRT adalah warga negara yang harus mendapatkan haknya atas perlindungan dengan aturan perundang-undangan sebagai manusia dan pekerja,” kata Musdah Mulia dalam konferensi pers tersebut 

Maka untuk yang akan datang, Musdah Mulia pada 26 Agustus 2020 mendatang berencana menyelenggarakan agenda bersama para ulama dari semua agama dan aktivis keberagaman untuk memberikan dukungan pada RUU PRT agar segera disahkan menjadi undang-undang.

Karena mengundangkannya berarti memperjuangkan nasib manusia yang selama ini masih dieksploitase dan didiskriminasi hidupnya

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Luviana, setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar ilmu komunikasi di sejumlah universitas di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!