Gugatan RCTI dan INews Bisa Membungkam Suara Perempuan di Media Sosial

 

RCTI dan INews melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Isi gugatan tersebut berbunyi: meminta perusahaan platform media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, dll harus diubah atau punya izin sebagai lembaga penyiaran. Jika gugatan ini dikabulkan MK, maka semua pengguna media sosial harus meminta izin kepada perusahaan platform media sosial tersebut untuk memposting pesan. Aktivis perempuan dan media melihat ini sebagai pembungkaman kebebasan berekspresi, juga pembatasan kampanye perempuan yang tak akan lagi bisa dilakukan di media sosial.  

Luviana- Konde.co

Beberapa hari ini, RCTI menjadi trending topik pembicaraan di twitter, menjadi diskusi di Instagram dan di sejumlah whats app group. Rata-rata isinya mengecam gugatan RCTI dan INews. 

Begitu juga dengan akun Jessica Tanoe, anak dari Hary Tanoe, pemilik RCTI, INews dan MNC Media yang diberondong dengan pesan dan kecaman bertubi-tubi di media sosial

Pasalnya seperti dilansir dalam katadata .co.id, perusahaan ini mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang berpotensi membuat Instagram hingga YouTube ditutup. RCTI dan iNews mendorong agar perusahaan penyedia layanan streaming film dan video on demand (VoD) seperti YouTube dan Netflix tunduk pada Undang-undang atau UU Penyiaran. Gugatan ini terungkap dalam permohonan judicial review  di situs MK pada Mei lalu (28/5).

Ini artinya jika ada yang mau posting ke media sosial misalnya, kita juga harus meminta izin dulu pada perusahaan tersebut. 

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad M. Ramli seperti dilansir dalam Tirto.id menyatakan bahwa ketika media sosial wajib menjadi lembaga penyiaran berizin, maka hal serupa harus diberlakukan kepada para penggunanya, termasuk content creator perorangan, badan usaha, atau badan hukum yang memanfaatkan layanan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, dan Youtube Live. Tanpa izin, maka “kegiatan yang dilakukan merupakan penyiaran ilegal dan harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum” sebab “penyiaran tanpa izin merupakan pelanggaran pidana.

Gugatan RCTI dan INews ini mendapat penolakan dari masyarakat dan para aktivis. Dalam laman Instagram @IndonesiaFeminis  pada 29 Agustus 2020 misalnya @suaraperanakan menuliskan penolakan ini:

“Intinya jelas bahwa orang sudah tidak memiliki kebebasan berpendapat sebebas yang semestinya mereka dapatkan, dan lebih parah lagi, Hary Tanoe ingin memonopoli ruang ekspresi dan ruang bersiar milik kita yang sudah sangat sempit ini. Terlebih ketika lagi ketika media konvensional (dan digital) dikuasai oleh oligarki kaya seperti Anda. MNC Media sendiri sudah mendominasi ranah media sosial seperti YouTube. Di sana, channel RCTI, MNC TV, dan banyak channel YouTube lainnya telah memperoleh total lebih dari 41 juta subscriber dan 22 miliar views. Bahkan RCTI sendiri merupakan channel YouTube yang paling banyak ditonton di Indonesia menurut SocialBlade. MNC Media sudah menjadi pemenang pasar, jadi kenapa mereka mencoba mematikan kompetisi dan memonopolinya?.”

Dihubungi Konde.co pada 30 Agustus 2020, aktivis perempuan dan pengelola akun Indonesia Feminis, Dea Safira mengatakan bahwa gugatan ini merupakan upaya pembungkaman berekspresi. 

Dea menyadari bahwa selama ini banyak orang yang sudah meninggalkan televisi dan beralih ke media sosial karena platform media sosial bisa digunakan oleh masyarakat luas seperti untuk kampanye isu perempuan. Di luar itu banyak pekerja kreatif yang selama ini memanfaatkan media sosial untuk bekerja  

“Jika ini diatur maka akan mematikan penghasilan para konten kreator, para pekerja kreatif. Jika ini dianggap untuk perjuangan nasionalisme karena perusahaan platform media sosial ini merupakan perusahaan asing, maka  televisi seharusnya yang memperjuangkan soal nasionalisme, seperti apakah selama ini televisi sudah menyajikan konten yang bagus untuk ditonton. Lihat saja sinetron dan variety show di televisi yang tidak enak untuk ditonton.”

Platform media sosial adalah ruang yang selama ini banyak digunakan untuk berkampanye isu perempuan. Kita bisa melihat tumbuhnya kampanye para feminis muda melalui media sosial yang sangat signifikan pengaruhnya. Kampanye ini merupakan sebuah kemajuan yang dilakukan para feminis muda. 

Akun Indonesia Feminis adalah salah satu akun feminis muda yang selama ini berkampanye soal kekerasan seksual dan mendorong agar perempuan bisa speak up. Selain itu ada akun lain seperti Jakarta Feminist, Arek Feminis, Feminist Jogja, feminis event dll yang juga menjadi ruang untuk kampanye perempuan

Kampanye anti kekerasan terhadap perempuan di media sosial ini kemudian memberikan ruang bagi perempuan untuk berani bersuara. 

Di Change.org, Dara Nasution juga membuat petisi penolakan yang sudah diedarkan. Ia menuliskan bahwa yang dilakukan RCTI dan INews ini adalah sebuah sesat pikir:

“Orang-orang biasa kayak kita nih gak bisa live lagi di medsos!…Tapi sesat banget nih pola pikir mereka. Kan beda banget media penyiaran yang pakai frekuensi publik sama media sosial…..Kalau banyak orang beralih ke medsos dan nggak lagi nonton TV, jangan salahin medsosnya dong. Harusnya mereka lebih instrospeksi diri apakah tayangan mereka udah bagus dan mendidik publik? Orang lari ke medsos karena bosen siaran TV yang nggak ada peningkatan kualitas selama bertahun-tahun.”

Lestari Nurhajati, pengamat media dan Dosen London School of Public Relations (LSPR) yang dihubungi Konde.co melihat bahwa jika mengacu UU Penyiaran, frekuensi penyiaran adalah milik publik. Yang digugat oleh RCTI dan INews ini merupakan gugatan dengan suara yang berbeda, yaitu menjadikan lembaga siaran bukan menjadi suara publik namun terkesan lebih menyuarakan kepentingan bisnis 

Padahal media sosial justru sangat efektif untuk menyuarakan konten feminis, ini yang kemudian bertentangan dengan konsep media untuk menyuarakan suara publik

“Ini akan menjadi bahaya dan sangat merugikan jika dikabulkan Mahkamah Konstitusi, saya melihat yang dilakukan RCTI dan INews ini lebih untuk persaingan bisnis, jadi mestinya mengacunya pada undang-undang yang berbeda.”

Mengapa media sosial lebih disukai daripada televisi? Sejumlah pengamat media lain menyatakan, karena media sosial selama ini bisa digunakan oleh pengguna sebagai bagian dari masyarakat yang aktif, misalnya mereka bisa melakukan sejumlah hal seperti berkampanye, bekerja, dll. 

Sedangkan jika di televisi, masyarakat hanya bisa jadi penonton saja, sifatnya pasif dan tak bisa protes jika melihat tayangan yang buruk. Pengabaian pada penonton televisi atas tayangan yang buruk ini juga sudah lama terjadi   

Sejumlah pengamat juga menyatakan bahwa gugatan ini dilakukan ketika bisnis pemilik media seperti Hary Tanoesoedibjo terganggu dengan masyarakat yang tak lagi nonton televisi dan beralih ke media sosial. 

Seharusnya televisi yang berbenah dan memperbaiki kontennya agar mendidik dan lebih disukai masyarakat 

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Luviana, setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen komunikasi paruh waktu. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!