Konferensi Perempuan Timur: Bagaimana Pemetaan Persoalan Perempuan Korban di Wilayah Timur Indonesia?

 

Banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan dan kondisi geografis kepulauan yang tak mudah dijangkau, adalah problem khas perempuan di wilayah Timur Indonesia. Apalagi jika pelaku kekerasan adalah pejabat, kerabat pejabat atau saudara. Seringkali korban harus menerima secara pasrah situasi yang terjadi, yaitu tak bisa melawan. Kadang korban malah harus mau dinikahkan dengan pelaku untuk menutup aib keluarga

Luviana- Konde.co

Pelaku yang pejabat ini umumnya adalah orang yang mempunyai kuasa. Atau pelaku yang saudara ini umumnya merupakan keluarga yang lebih tinggi kedudukannya yang membuat korban semakin terpojok posisinya

Aktivis perempuan, Maria Filiana Tahu dari Yabiku Nusa Tenggara Timur, memaparkan ini dalam acara Konferensi Perempuan Timur  yang diadakan pada 26-27 Agustus 2020 melalui daring. 

Konferensi Perempuan Timur tahun 2020 yang mengambil tema memetik buah dari sinergi mulitipihak untuk pembangunan berkeadilan di kawasan timur Indonesia ini merupakan konferensi keempat yang diadakan Forum Pengada Layanan (FPL), Komnas Perempuan, Yayasan BaKTI melalui Program Mampu yang dilakukan untuk melihat persoalan para perempuan di wilayah timur Indonesia yaitu Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi dan Papua

Maria memberikan gambaran bagaimana tantangan dalam mengadvokasi korban di wilayah timur Indonesia. Selain kondisi geografis yang sulit dijangkau, hal lain yaitu butuh perjuangan dalam meyakinkan korban untuk berani berbicara dan menyelesaikan.

“Ada korban yang berani untuk melapor, namun malah dicibir atau ditertawakan. Ada yang berani untuk melaporkan namun penyelesaiannya tidak berpihak pada korban, hanya dibayar denda. Ada juga korban malah dikawinkan dengan pelaku karena masih punya hubungan saudara. Kadang ini dilakukan untuk menutup aib keluarga,” kata Maria Filiana Tuhu

Persoalan lain di wilayah timur Indonesia yaitu belum adanya rumah aman dari pemerintah maupun swasta. Tantangan inilah yang mencoba dijawab dalam Konferensi Perempuan ini.

Perjuangan untuk Menyelesaikan Kekerasan 

Ada sejumlah cara yang sudah dilakukan perempuan di wilayah timur untuk menyelesaikan kekerasan perempuan dalam beberapa tahun ini. 

Debbi Mandik, ketua layanan berbasis komunitas  dari Posko Lestari Arakan di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara misalnya mencontohkan, budaya patriarki masih sangat kuat disana, perempuan ketika ada kegiatan hanya bisa berkiprah di bagian konsumsi, ini kondisi yang dulu membuat perempuan tak punya ruang untuk bicara dan beraktivitas lebih

Namun Debbi Mandik menyebutkan bahwa sekarang budaya ini telah bergeser di wilayahnya. Ini dibuktikan dengan Debbi yang kemudian diminta untuk menjadi pengurus Badan Takmirul Masjid yang anggotanya umumnya laki-laki. 

Permintaan warga pada Debbi ini karena kiprah Debbi Mandik dan sejumlah perempuan yang selama ini mendampingi korban dan membuat posko penanganan korban kekerasan seksual sudah dikenal meluas dan dianggap melakukan hal yang nyata bagi nasib perempuan dan anak disana

“Saya tidak menyangka jika saya diusulkan sebagai pengurus Badan Takmirul Masjid, mereka meminta saya untuk mencalonkan diri sebagai ketua, namun karena lembaga ini tak boleh dipimpin perempuan, maka saya kemudian menjadi sekretaris, ini menunjukkan perempuan bisa punya kiprah, seorang perempuan bisa menjadi pemimpin.”

Nurjanah, perempuan yang aktif di layanan berbasis korban di Soreang, Pare-Pare menceritakan bahwa sebelumnya banyak anak-anak yang tidak punya akte kelahiran, ibu yang ditolak rumah sakit di wilayahnya, namun mereka tidak bisa membantu menyelesaikan persoalan ini 

“Kami merasakan sedih dan hanya bisa melapor ke Ketua RT dan RW saja dan tidak ada perubahan. Sejak tahun 2015 terbentuklah dukungan dari Program Mampu yang kami dilibatkan untuk mengikuti pelatihan di komunitas setempat. Sejak saat itu kami bisa mendampingi anak-anak tidak punya akte dan ibu-ibu yang ditolak karena BPJS tidak aktif, ibu yang alami kekerasan dalam rumah tangga, kami bisa menguruskan ini,” kata Nurjanah

“Di tahun 2017 terbentuklah layanan berbasis komunitas, setelah itu ada 15 posko layanan korban kekerasan seksual yang terbentuk. Jadi ketika ada yang bermasalah, sakit, menyelesaikan persoalan kekerasan kami bisa menuntaskan ini sampai persidangan.” 

Di Pare-Pare di tahun 2017-2020 terdapat 881 kasus dengan 90 paralegal dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga, kasus kekerasan seksual, kekerasan anak, trafficking,dll dan Nurjanah bersama para perempuan disana berkontribusi besar dalam menyelesaikannya

Waode Zainab, Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa atau BPD Desa Korihi, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara yang juga merupakan pengurus Posko Lambu Kavetapaha dan merupakan bagian dari Organisasi Lambu Ina, juga menceritakan pengalamannya dalam konferensi tersebut. Ia mengatakan bahwa penduduk di Muna umumnya bertani dan perajin. Kebanyakan suami bekerja merantau dan budaya patriarki yang kuat dibebankan pada perempuan. 

Awalnya Organisasi Lambu Ina datang untuk sosialisasi kekerasan perempuan, lalu muncul inisiatif untuk mendirikan posko layanan korban kekerasan perempuan pada tahun 2015 dan pemerintah desa mengeluarkan legalitas posko berupa surat keputusan desa pelayanan perempuan berbasis gender   

Ada lagi pengalaman dari Pendeta I.Z. Sapulette dari Maluku Tengah. Pendeta mengatakan bahwa situasi ini membuat gereja terpanggil untuk memberikan layanan bagi korban, yaitu karena fakta adanya jumlah korban yang tinggi dan korban belum mendapatkan keadilan.

“Ada korban yang tak bisa menyelesaikan persoalannya dan butuh bantuan berupa biaya yang tak sedikit dan banyak yang memutuskan untuk tak melanjutkan. Jadi gereja kemudian mendukung membangun kapasitas masyarakat dan mendukung pusat pelayanan berbasis komunitas untuk membangun kemandirian, karena kami melihat kompleksitas kepulauan dan sulitnya korban untuk mengakses layanan.”

Berbagi Peran Antara Komunitas dan Pemerintah

Dalam konferensi ini para pembicara menegaskan bahwa beberapa contoh praktik baik ini merupakan hasil dari kerjasama multipihak di Indonesia Timur, yaitu antara masyarakat dan pemerintah yang kemudian melahirkan sejumlah kebijakan untuk stop kekerasan perempuan dan anak. 

Beberapa diantaranya lahirnya Peraturan Daerah (Perda) tentang perlindungan perempuan dan anak di beberapa kabupaten atau kota Sulawesi Selatan, seperti di  Maros, Parepare, Tana Toraja, Pangkep, Bantaeng, Takalar dan Kota Makassar.

Kemudian di Sulawesi Utara terdapat di Kota Manado dan Kabupaten Minahasa Selatan, di Sulawesi Tenggara di Kabupaten Muna dan Nusa Tenggara Timur di Kabupaten Timor Tengah Utara. Juga adanya beragam Peraturan Desa (Perdes) seperti Perdes Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan di Desa Korihi, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.

Di tingkat komunitas, juga terbentuknya paralegal komunitas di beberapa desa di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Muna untuk menjamin adanya pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan di tingkat desa. 

Di Maros misalnya, Idrus, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Maros melakukan inovasi melalui Klinik Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender/ PPRG bagi daerah. Ini dilakukannya untuk mendorong alokasi anggaran responsif gender dan Inklusi di daerah Maros untuk mendukung kerja perempuan di komunitas layanan korban. 

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati yang membuka konferensi ini juga mengatakan pentingnya konferensi perempuan di wilayah timur Indonesia ini. 

“Dengan adanya kolaborasi dari pemerintah, lembaga masyarakat, dunia usaha, maupun media saya yakin kita bisa memberdayakan perempuan dan mendorong pelaku usaha perempuan untuk terus berinovasi serta melindungi perempuan baik dari stigmasisasi maupun stereotip yang merugikan perempuan. Terlebih lagi saya berharap konferensi ini dapat menghasilkan gagasan, pemikiran dan solusi yang inovatif agar tercipta semangat dan optimisme sehingga semakin banyak pemimpin-pemimpin perempuan yang lahir dari kawasan Indonesia timur. Saya yakin potensi perempuan Indonesia timur adalah kekuatan bagi pembangunan bangsa, menuju perempuan berdaya, Indonesia maju.”

I Gusti Ayu Bintang berharap konferensi ini dapat menjadi wadah untuk saling belajar, menyerap serta mereplikasi praktik baik dari berbagai pihak, mulai dari komunitas, pemerintah, parlemen dan swasta untuk mendukung pemberdayaan perempuan dan mendorong pembangunan berkelanjutan.

Andy Yentriani, Ketua Komnas Perempuan juga menyatakan tentang langkah strategis yang sudah dilakukan secara bersama-sama untuk memutus rantai kekerasan terhadap perempuan ini.  Apalagi di masa pandemi, makin banyak kekerasan yang terjadi pada perempuan seperti rumah yang tidak aman, kekerasan berbasis online, eksploitase perempuan dan pekerja perempuan dan pelaporan serta penanganan yang lebih sulit dilakukan. 

“Maka yang harus dilakukan adalah menguatkan penanganan korban dengan cara melakukan afirmasi untuk mengurangi kerentanan, memantau pelaporan dan penanganan kekerasan, perlindungan terhadap korban dan pendamping, kebijakan terpadu untuk proses peradilan, peningkatan kapasitas layanan dan anggaran dan kerjasama yang terjalin dari multipihak,” kata Andy Yentriani 

Konferensi ini diharapkan bisa mengajak sinergi banyak pihak untuk menyelesaikan kekerasan perempuan dan membangun situasi berkeadilan di wilayah timur Indonesia

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Luviana, setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar ilmu komunikasi di sejumlah universitas di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!