Apa Arti Merdeka Bagi Perempuan? Merdeka Itu Artinya Bebas dari Kekerasan

Apa arti merdeka bagi perempuan? Merdeka itu artinya perempuan bebas dari kekerasan

Tim Konde.co

Sebagai warga negara, perempuan memiliki hak konstitusi yang sama dengan warga negara lainnya. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam catatan 75 tahun Indonesia merdeka, menuliskan 40 hak konstitusional perempuan yang terdiri dari 14 rumpun yang harus mendapatkan perlindungan: 

1.Hak Bebas dari Ancaman, Diskriminasi dan Kekerasan (Pasal 28G)

2.Hak atas Rasa Aman dan Perlindungan dari Ancaman Ketakutan untuk Berbuat Atau Tidak Berbuat Sesuatu Yang Merupakan Hak Asasi (Pasal 28G (2)), 

3.Hak untuk Bebas Dari Penyiksaan Atau Perlakuan Yang Merendahkan Derajat Martabat Manusia (Pasal 28I (2)), 

4.Hak Untuk Bebas Dari Perlakuan Diskriminatif Atas Dasar Apa pun (Pasal 28H (2)).

Pada kenyataannya, meskipun sudah 75 tahun merdeka, kekerasan terhadap perempuan angkanya meningkat setiap tahun. Ini terjadi karena dilatarbelakang oleh budaya patriarki, kebijakan dan regulasi  yang tidak adil terhadap perempuan maupun politik, serta hukum yang tidak berperspektif perempuan.

Seperti dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2020, menunjukan bahwa sepanjang tahun 2019 jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sebesar 431.471, jumlah ini meningkat 6% dibandingkan jumlah kasus KtP pada tahun sebelumnya sebesar (406.178). 

Dari 3.602 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan komunitas, sekitar 58% adalah kekerasan seksual, yaitu pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus) dan pelecehan seksual (520 kasus). Sementara itu persetubuhan sebanyak 176 kasus, sisanya adalah percobaan perkosaan dan persetubuhan. 

Dari catatan ini, Komnas Perempuan dalam pernyataan sikapnya mencatat apa yang terjadi dengan perempuan dalam 75 tahun kemerdekaan Indonesia:

1.Rendahnya sistem perlindungan perempuan

Masih tingginya angka KtP di ranah publik menunjukan rendahnya sistem perlindungan kekerasan terhadap perempuan di masyarakat, penegakan hukum yang lemah dan tidak tersedianya payung hukum bagi ragam jenis kekerasan terhadap perempuan yang terjadi. Disamping itu seiring berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi juga meningkatkan kerentanan perempuan mengalami kekerasan  berbasis siber (KGBO).

2.Isu SARA yang berdampak pada kekerasan perempuan

Dalam pernyataan sikapnya, Komnas Perempuan juga mencatat penggunaan isu Suku, Antar Ras, dan Agama (SARA) dalam politik praktis perebutan kekuasaan di tingkat nasional maupun daerah dengan memobilisasi dukungan massa termasuk perempuan dan anak-anak secara langsung maupun tidak langsung telah berdampak pada kekerasan terhadap perempuan. 

Kerusuhan yang terjadi pada 21-23 Mei 2019 di sejumlah titik wilayah DKI Jakarta paska pengumuman hasil pemilihan Presiden RI periode 2020 – 2024, telah memakan korban di kalangan masyarakat. Peristiwa tersebut dapat dilihat sebagai akumulasi dari pembiaran politisasi identitas, pelaziman anarkisme dan kekerasan, serta tidak adanya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di mana sebagian besar korban adalah perempuan.

3.Kekerasan pada Perempuan dalam Konflik sumber daya alam yang mengorbankan perempuan

Kekerasan terhadap perempuan juga terjadi dalam konflik Sumber Daya Alam (SDA) dan tata ruang, antara lain disebabkan prioritas pembangunan dan politik infrastruktur yang masif, impunitas dan supremasi korporasi mengakibatkan pengabaian hak-hak masyarakat adat.  Padahal sejatinya, masyarakat adat merupakan elemen bangsa ini sebagai perawat dan pelestari lingkungan. Masih didapati fakta tersingkirnya perempuan adat dari tanah leluhurnya sendiri seperti yang baru-baru ini terjadi pada perempuan adat Pubabu di Timor Tengah Selatan NTT. Kebijakan yang tidak selaras dengan amanat konstitusi  pasal 18B “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Inkonsistensi hukum dan diskoneksi kebijakan pusat dan daerah berdampak pada tercerabutnya hak masyarakat adat dalam mempertahankan ruang hidup dan kebudayaannya. Termasuk didalamnya hak spiritualitas dalam meyakini agama leluhurnya.

Dalam hal Sumber Daya Alam, negara seharusnya mematuhi uji kelayakan pembangunan, seperti memenuhi hak informasi dan partisipasi publik bagi masyarakat terdampak. Perempuan yang lekat dengan lahan, rumah, kearifan lokal maupun sumber daya alam lainnya menjadi kelompok yang paling rentan dirugikan di ranah domestik maupun publik. Di sisi lain, pendekatan kepala keluarga menyebabkan perempuan tidak dilibatkan dalam perencanaan pembangunan maupun pemulihan konflik SDA dan tata ruang.

4.Kondisi perempuan pekerja yang mengalami diskrimininasi

CATAHU 2020 juga mencatat kondisi perempuan pekerja yang masih mengalami tindakan diskriminasi karena peran reproduksinya. Haid, hamil, melahirkan dan menyusui masih dipandang perusahaan sebagai hambatan produktivitas dan merugikan perusahaan. Pelanggaran hak reproduksi buruh perempuan yang masih terjadi menunjukkan bahwa UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum dilaksanakan dengan baik. Situasi pandemi COVID-19 di tahun 2020 saat ini yang berkepanjangan telah berdampak pada kebijakan sebagian perusahaan memutuskan hubungan kerja (PHK) dan merumahkan sebagian besar karyawan mereka dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Kondisi ini mengakibatkan berkurangnya kemandirian ekonomi perempuan dan juga berpotensi terjadinya KtP di ranah domestik.

5.Kekerasan seksual yang banyak terjadi pada perempuan penyandang disabilitas

Sementara itu CATAHU 2020 juga mencatat angka kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas cenderung turun (87 kasus pada 2019) dibandingkan tahun 2018 (89 kasus), namun jumlah kekerasan seksual naik menjadi 79% dari keseluruhan kasus dibandingkan 2018 (69%). Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas didominasi oleh perkosaan dan sebagian besar pelakunya tidak teridentifikasi oleh korban. Dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas, tergambar bahwa perempuan dengan disabilitas intelektual merupakan kelompok yang paling rentan dengan persentase 47%.

6.Perempuan belum bebas dari penyiksaan

Dari sejumlah kekerasan yang dialami perempuan, diantaranya mengalami penyiksaan. Komnas Perempuan berpandangan bahwa bebas dari penyiksaan adalah hak asasi setiap manusia. Pengakuan dan jaminan atas hak-hak ini secara tegas dinyatakan di dalam Konstitusi dan Instrumen hukum lainnya yakni, Pasal 28G Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan, atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPPJM) menggarisbawahi pemberdayaan perempuan yang artinya bebas dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan dan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG) adalah kesetaraan dan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan.  

Oleh karenanya, dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 75, Komnas Perempuan mendorong negara untuk memenuhi hak konstitusional perempuan dengan menerapkan kebijakan pencegahan, penanganan dan perlindungan perempuan Indonesia dari kekerasan.

Dalam rangka pemenuhan hak-hak  konstusional  perempuan untuk bebas dari kekerasan, Komnas Perempuan merekomendasikan beberapa langkah yang perlu diambil oleh berbagai pihak terkait, antara lain:

1. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

•Membangun kerjasama dengan lembaga terkait untuk meningkatkan kapasitas lembaga layanan di daerah secara khusus untuk pencatatan dan pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan serta memastikan alokasi anggaran di daerah terluar, terdalam dan tertinggal seperti Indonesia Timur dan daerah-daerah kepulauan.

2. Kementerian Komunikasi dan Informasi bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk;

•Menyusun sistem perlindungan dan pemulihan terhadap perempuan korban Kekerasan Berbasis Gender Siber.

•Menyusun media pendidikan masyarakat untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan berbasis daring.

3. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk:

•Mengintegrasikan kurikulum pendidikan berperspektif gender, diantaranya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi pada kurikulum pendidikan mulai dari taman kanak-kanak hingga Pendidikan Menengah Tingkat Atas

•Bekerja sama dengan KPPPA menyusun sistem pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di sekolah.

•Melindungi perempuan Masyarakat Adat dari tindakan intoleransi yang berakibat pada kekerasan.

4. Kementerian Agama

•Mengintegrasikan kurikulum yang berperspektif gender di madrasah mulai dari RA hingga Pendidikan Menengah Tingkat Atas (Madrasah Aliyah) serta di lembaga pendidikan agama lainnya.

•Bekerja sama dengan KPPPA dan pihak terkait menyusun sistem pencegahan dan penanganan perlindungan dan pelaporan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di lembaga pendidikan agama.

5. Kementerian Sosial

•Menyusun mekanisme pencegahan, perlindungan, dan pemulihan terhadap perempuan korban kekerasan yang terjadi di Pusat Rehabilitasi dan Rumah Penampungan Sementara Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.

•Menyusun mekanisme pencegahan, perlindungan, dan pemulihan yang ramah disabilitas terhadap perempuan dengan disabilitas korban kekerasan termasuk kekerasan seksual yang terjadi pusat rehabilitasi sosial disabilitas dan Rumah Sakit Jiwa.

6. Kementerian Kesehatan

•Menyusun panduan pendidikan kesehatan reproduksi yang aksesibel bagi semua kelompok masyarakat termasuk bagi para perempuan disabilitas dalam rangka meningkatkan pencegahan terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!