Problem Perempuan Adat: Belum Ada Aturan Khusus Yang Lindungi Hak Kolektifnya

Kamu tahu khan jika tanggal 9 Agustus kemarin, kita semua memperingati hari adat internasional? Tapi sebenarnya, para perempuan adat masih mendapatkan banyak problem dalam hidup sehari-hari. Kita lihat yuk, apa saja problem yang dialami perempuan adat di Indonesia 

PEREMPUAN AMAN, sebuah lembaga yang bekerja untuk perempuan adat di Indonesia menemukan fakta tentang belum adanya peraturan yang secara khusus melindungi hak-hak kolektif perempuan adat. Mengapa harus ada peraturan khusus bagi perempuan adat? Karena perempuan adat mempunyai  karakteristik yang khusus dan berbeda.

Salah satu contohnya adalah soal pengetahuan perempuan adat dalam mengelola danau di wilayah adatnya secara kolektif. Perempuan adat di Nusa Tenggara Timur misalnya selama ini memanfaatkan lumpur sebagai bahan pewarna kain tenun yang pengetahuannya dipraktikkan dan terus dikembangkan. Namun penguasaan kolektif perempuan adat yang membentuk keadaban dan peradaban masyarakat adat ini belum diakui dan dihormati sebagai hak yang secara eksplisit wajib dimuat dalam Rancangan Undang-Undang/ RUU Masyarakat Adat.

Arimbi Heroepoetri, Direktur debtWATCH Indonesia dalam seminar daring yang diadakan PEREMPUAN AMAN dengan tajuk “Hak-Hak Kolektif Perempuan Adat” 16 Juli 2020 menyatakan hal ini.

Sejauh ini, PEREMPUAN AMAN menilai bahwa kebijakan-kebijakan yang melindungi hak-hak perempuan adat tidak cukup hanya dengan undang-undang yang melindungi perempuan adat sebagai warga negara atau hak individu sebagai warga negara. Namun perlu perlindungan pada hak kolektif perempuan adat sebagai bagian dari komunitas adat.

Pemaknaan hak kolektif perempuan adat juga tidak disandarkan pada penguasaan atas ‘sesuatu’ baik berupa wilayah, barang atau produk budaya lain di dalam komunitasnya. Hak kolektif perempuan dapat diterjemahkan sebagai bentuk akses dalam pemanfaatan, pengelolaan, perawatan, pengembangan, pertukaran dan keberlanjutan antar generasi yang berujung pada pemaknaan kolektivitas. Ini juga dikatakan Devi Anggraini, Ketua Umum PEREMPUAN AMAN.

“Masyarakat adat mendiami Nusantara jauh sebelum konstituen lahir. Jumlahnya hingga kini mencapai puluhan juta hidup dalam ketidakpastian hak atas wilayah adatnya. Penyerobotan tanah, penggusuran, kriminalisasi saat memperjuangkan haknya, hilangnya sumber kehidupan sampai menyebabkan mereka pergi meninggalkan wilayah adat adalah contoh perlakuan tidak sopan negara kepada masyarakat adat”, ujar Nedine Helena Sulu, Dewan AMAN Nasional Region Sulawesi.

PEREMPUAN AMAN (Persekutuan Perempuan Adat Nusantara) merupakan organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang selalu aktif di dalam penyusunan naskah akademik rancangan undang-undang (RUU) Masyarakat Adat di dalam daftar Prolegnas (Program Legislasi Nasional).

“RUU Masyarakat Adat telah dua kali menjadi Prolegnas, namun hingga saat ini pengesahan dan masa depan RUU ini masih buram. Kehadiran Undang-Undang Masyarakat Adat tentu saja akan mendorong semangat pengakuan terhadap Masyarakat Adat serta menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan,” sambung Devi.

RUU Masyarakat Adat akan menjadi sebuah instrumen hukum yang memasukkan masyarakat adat ke dalam kehidupan bernegara yang juga mengikat masyarakat adat untuk terlibat aktif dalam mengeliminasi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan adat. RUU Masyarakat Adat memandatkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Artinya, disahkannya RUU tersebut tidak sekadar mempersoalkan hak, tetapi mempersoalkan pula tentang kewajiban dari masyarakat adat sebagai warga negara untuk mendistribusikan keadilan bagi seluruh masyarakat, termasuk perempuan adat.

“Perempuan adat sebagai bagian dari komunitas masyarakat adat memiliki hak yang bersifat melekat (inherent) pada identitas masyarakat adat. Sayangnya, perempuan adat sampai saat ini masih mengalami diskriminasi berlapis baik terhadap hak individu perempuan adat sebagai warga negara, juga hak-hak kolektif perempuan adat yang dilakukan oleh komunitas adat, korporasi dan negara sebagai bagian komunitasnya dan pelanggaran hak asasi perempuan baik yang dilakukan oleh negara dan korporasi maupun oleh komunitas adat dan anggota masyarakatnya,” tambah Devi Anggraini

Sedangkan KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) bekerja bersama dengan masyarakat bahari, yang di antaranya adalah kelompok perempuan nelayan sekaligus masyarakat adat pesisir. Project Officer KIARA, Nibras Fadhlillah menilai bahwa keberadaan perempuan nelayan, khususnya dalam komunitas masyarakat adat, merupakan sangat penting dan sentral.

“Selain memiliki kontribusi ekonomi, mereka juga memiliki kontribusi ekologi dan sosial. KIARA mencatat, para perempuan terbukti memberikan kontribusi ekonomi lebih dari 60 bagi perekonomian keluarga nelayan. Dari sisi ekologi, mereka telah berhasil merestorasi kawasan-kawasan bakau yang sangat penting bagi ekosistem pesisir dan perairan. Sayangnya, sampai hari ini keberadaan dan kontribusi mereka belum mendapatkan pengakuan politik dari negara. Inilah jalan panjang yang harus kita tempuh bersama,” kata Nibras Fadhillah.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!