TIPF Hargai Anonimitas Korban dan Buka Kanal Pengaduan Kasus Kekerasan Seksual SINDIKASI

Tim Independen Pencari Fakta dugaan kasus kekerasan seksual di Serikat SINDIKASI berjanji akan mengedepankan rasa keadilan korban dan menghargai anonimitas korban. Mereka juga membuka kanal pengaduan bagi korban yang hendak melaporkan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh Nadi Tirta Pradesha.

Tika Adriana- www.Konde.co

“Kami bekerja dengan mengedepankan rasa keadilan korban, menghargai anonimitas, korban tidak harus menyampaikan identitas yang sebenarnya jika tidak terlalu nyaman, dan informasi itu akan menjadi dasar untuk kami melakukan investigasi lebih lanjut,” ungkap Azriana Manalu, Koordinator Tim Independen Pencari Fakta (TIPF) kasus kekerasan seksual di Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Serikat SINDIKASI) dalam konferensi pers, Sabtu (15/08/2020).

Hampir sebulan sejak akun @DianRatti mengungkap kasus kekerasan seksual yang ia alami, SINDIKASI menunjuk Tim Independen Pencari Fakta (TIPF) untuk mengungkap kekerasan yang dilakukan Nadi Tirta Pradesha atau Esha, salah satu anggota dari SINDIKASI. 

Ada empat orang yang ditunjuk sebagai anggota TIPF yakni Azriana Manalu (Ketua Komnas Perempuan Periode 2015-2019), Uli Pangaribuan (LBH APIK Jakarta), Nenden S. Arum (SAFEnet), dan Asfinawati (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia).

TIPF ini, kata Azriana, bekerja menginvestigasi hal-hal yang tak tergali dari Tim Pencari Fakta (TPF) Internal SINDIKASI yang telah bekerja pada tahun 2018 lalu. Mereka juga membentuk lingkar dukungan bersama gerakan perempuan untuk korban. 

Azriana sadar bahwa tak mudah bagi korban kekerasan seksual untuk mengungkap kasus yang ia alami. Apalagi di tengah lingkungan sosial dan hukum yang masih berpihak pada pelaku.

“Kami ingin menyampaikan pada korban, di mana pun dia berada, dia diukung, apa yang dia sampaikan sejauh ini dihargai sebagai sebuah kebenaran, tidak perlu merasa khawatir untuk disalahkan,” tutur Azriana.

Anggota TIPF, Nenden S. Arum, mengatakan bahwa payung hukum yang lemah bagi korban lah yang membuat mereka akhirnya memilih bersuara lewat media sosial, bahkan tanpa menyebut identitas diri. Media sosial menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi mereka untuk mengungkap kasus yang ia alami.

Ketua Umum YLBHI yang menjadi anggota TIPF SINDIKASI, Asfinawati, mengamini bahwa hukum di Indonesia masih ada ketimpangan sehingga belum memberikan ruang yang aman bagi korban untuk bisa melaporkan kasusnya. Asfin melanjutkan, pembuktian kasus kekerasan seksual di Indonesia masih dibebankan kepada korban. Asfin pun tak mempermasalahkan korban yang memilih melaporkan kasusnya menggunakan anonim. Ia sangat menghargai privasi dari korban.

“Korban tidak harus datang secara fisik, tapi ceritanya sampai. Dalam hukum kita ada ketimpangan, kalau untuk kasus korupsi, karena undang-undang LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi Korban) sudah berubah dari hanya mengakui saksi kemudian mengakui pelapor, pelapor tidak harus saksi sendiri. Harusnya di kasus kekerasan seksual, pelapor diakui, pendamping cukup dengan keterangan lain. […] Kekerasan seksual adalah kekerasan yang menyerang integritas tubuh dengan persoalan stigma masyarakat, makanya penting untuk menjaga privasi korban,” ujar Asfin.

Untuk menjaga kerahasiaan tersebut, TIPF mengajak siapa saja yang memiliki informasi terkait dugaan kasus kekerasan seksual yang melibatkan Nadi Tirta Pradesha atau Esha untuk melapor ke Hotline LBH Apik (+62-813-8882-2669) dan SAFEnet (+62-811-922-3375) atau e-mail laporankasussindikasi@protonmail.com, atau menghubungi anggota TIPF secara personal.

@DianRatti Berharap TIPF Bisa Mengungkap Kejadian Sesungguhnya

Pada Selasa, 18 Agustus 2020, @DianRatti kembali bersuara tentang kasusnya di akun Twitter. Ia mengungkapkan bahwa kasus perkosaan tersebut terjadi pada akhir Juli 2018, satu bulan sebelum kasus kekerasan gender yang dilakukan oleh Ellena, ketua SINDIKASI.

“Kasus gue kejadian akhir Juli, sebulanan sebelum kasus ‘kekerasan gender’. Bedanya, kasus gue enggak banyak orang yang bisa diminta keterangan. Yang mengalami langsung hanya gue sebagai korban, Esha sebagai pelaku, dan Ellena sebagai orang yang gue coba ajak ngobrol,” ungkap @DianRatti.

Kasus kekerasan gender yang dimaksud oleh @DianRatti yakni kasus penyerangan kamar kos seorang anggota SINDIKASI yang dilakukan oleh Ellena. Kasus tersebut berbeda dengan kasus yang dialami oleh @DianRatti dan telah ditelusuri oleh internal mereka. Meski begitu @DianRatti tak bermaksud membandingkan kasusnya dengan korban lain.

“Gue cuma mau bilang: dua tahun lalu Sindikasi menggunakan satu kasus, yang bisa dengan mudah dianggap salah paham personal untuk menutupi banyak pelanggaran lain di lingkaran mereka, termasuk pemerkosaan yang Esha lakukan,” ujar @DianRatti.

Melalui Twitternya, @DianRatti berharap bahwa Tim Independen Pencari Fakta (TIPF) bisa mengungkap kisah yang sesungguhnya dari Esha dan Ellena.

SINDIKASI Meminta Maaf Pada Korban dan Berjanji Berbenah

Koordinator Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) SINDIKASI, Luviana, dalam konferensi pers bersama TIPF sempat menjelaskan tentang proses investigasi internal yang dilakukan Tim Pencari Fakta (TPF) internal dan MPO SINDIKASI di tahun 2018. 

Ia memaparkan SINDIKASI di tahun 2018 melakukan penelusuran dengan menemui pihak-pihak yang dekat dengan tertuduh dan membuka kanal pengaduan, namun belum berhasil menemukan korban di tahun 2018. Tapi dari penelusuran itu, mereka menemukan kasus kekerasan dalam pacaran terhadap anggota SINDIKASI dan penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran etik organisasi yang dilakukan oleh kedua tertuduh yakni Esha dan Ellena. Dalam kasus ini, SINDIKASI pun telah memberikan sanksi kepada keduanya.

“Petimbangan-pertimbangannya kami memberikan sanksi kepada keduanya, salah satunya sanksi pada tertuduh pertama yakni Esha dengan tidak menjadikan ia pengurus lagi dan saksi kepada Ellena adalah teguran keras dan keduanya tidak boleh berkampanye soal gender selama beberapa bulan,” tutur Luviana.

Ketika ada yang bertanya mengapa Ellena tidak diturunkan dari SINDIKASI sebagai ketua, Luviana menjelaskan bahwa saat itu SINDIKASI tidak menurunkan Ellena dari jabatannya sebagai ketua serikat karena organisasi tersebut baru berumur satu tahun, Ellena juga bekerja dengan baik sebagai ketua dan masih membutuhkan banyak pihak untuk berkontribusi pada SINDIKASI.

Perihal kasus kekerasan seksual yang menimpa @DianRatti, Luviana menyatakan, baik Esha maupun Ellena di tahun 2018 pernah ditanyakan soal kasus dugaan perkosaan ini, namun keduanya menyatakan tidak mengetahui kasus tersebut. Melalui konferensi pers itu, Luviana juga meminta maaf kepada korban karena tak berhasil menjangkau atau menemukan korban di tahun 2018 lalu.

Namun Luvi menjelaskan bahwa saat ini mereka memang tak memecat Esha dari keanggotaan karena sedang dalam masa pengusutan. Hal ini dilakukan agar Esha lebih mudah dihubungi dalam penyelesaian kasus ini.

Sekretaris Jenderal SINDIKASI, Ikhsan Raharjo menyampaikan, kasus ini menjadi pelajaran bagi SINDIKASI untuk membenahi organisasi. Kata Ikhsan, sebetulnya SINDIKASI sudah memiliki Standar Operasional Penanganan (SOP) Kekerasan Seksual yang dibuat di tahun 2019, hanya saja aturan itu belum ideal.

“Kami merencanakan membuat SOP, kurikulum pendidikan internal terkait Kekerasan Seksual, kemudian merancang kode etik soal kekerasan seksual dalam AD/ ART. Hasilnya akan kami bawa ke kongres dan disahkan. Ini menjadi momentum SINDIKASI untuk melakukan perbaikan,” tandasnya.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!