Aktivis: Penangkapan Komunitas Homoseksual di Jakarta Sensasional dan Melakukan Stigmatisasi

 

Penangkapan komunitas homoseksual oleh polisi dinilai para aktivis yang tergabung dalam Jaringan Kerja Gotong-Royong sangat diskriminatif dan melanggar hak individu. Media juga melakukan sensasionalisme yaitu memperlihatkan wajah dan identitas individu 

Tim Konde.co 

Pada Tanggal 29 Agustus 2020 publik dikejutkan dengan penangkapan 59 orang anggota komunitas homoseksual di sebuah apartemen di Kuningan, Jakarta. 

Kepolisian Polda Metro Jaya setelah itu melakukan konferensi pers bertajuk “Penangkapan Pesta Seks Gay” pada tanggal 2 September 2020. 

Dalam konferensi pers tersebut pihak kepolisian menyatakan bahwa 1 dari 56 orang yang ditangkap tersebut terkena HIV. Kepolisian kemudian menetapkan alat kontrasepsi seperti kondom sebagai salah satu alat bukti.

Konferensi pers ini kemudian memicu munculnya pemberitaan di berbagai media dengan judul “Pesta Seks Gay di Kuningan Jakarta Selatan.” Pemberitaan ini mengakibatkan beredarnya wajah tersangka secara luas, termasuk tersebar di media sosial seperti Youtube. 

Berbagai portal berita juga memunculkan video penangkapan dengan memperlihatkan anggota komunitas dalam kondisi telanjang dan berhimpitan tanpa mematuhi protokol kesehatan yang semestinya dilakukan.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Kerja Gotong-Royong dalam pernyataan pers yang diterima Konde.co menyatakan bahwa pernyataan polisi tentang status HIV anggota komunitas yang ditangkap ini sangat rentan menimbulkan diskriminasi berlapis terhadap komunitas dan keluarganya. Hal ini terjadi karena beberapa wajah sudah banyak tersebar di media. 

Status HIV merupakan hak individu yang wajib mendapatkan persetujuan dari orang yang bersangkutan tanpa adanya tekanan. Seperti dijelaskan pada pasal Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Kesehatan : _“Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan”._

Beredarnya video penelanjangan saat penangkapan juga menunjukan bahwa tidak ada perlindungan terhadap komunitas untuk diperlakukan secara manusiawi ketika berhadapan dengan permasalahan hukum. Hal ini bertentangan dengan pasal 5 Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Jaringan Kerja Gotong- Royong melhat bahwa seharusnya setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.

Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya._

Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 5 Perkap No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia: “Instrumen perlindungan HAM yang perlu diperhatikan oleh setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas berdasarkan Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meliputi: hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang yang merendahkan martabat manusia dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif”_

Penangkapan juga tidak mengindahkan asas praduga tidak bersalah dimana seseorang harus dinyatakan bersalah hanya melalui putusan pengadilan terlebih dahulu. Konferensi pers yang dilakukan sebelum adanya putusan pengadilan lantas memberikan informasi kepada publik yang sifatnya mempertebal stigma terhadap komunitas rentan khususnya homoseksual.

Dengan kondisi ini maka Jaringan Kerja Gotong Royong mengutuk tindakan diskriminasi dan merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh kepolisian, menuntut kepada kepolisian untuk melakukan pemulihan dan pemenuhan hak-hak komunitas yang berhadapan dengan hukum.

Selanjutnya menuntut kepada media untuk tidak menyiarkan berita yang bersifat diskriminatif, mempertebal stigma terhadap komunitas, serta merendahkan martabat manusia.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!