Apa Salahnya Jika Menjadi Lajang? Karena Lajang Adalah Pilihan

Pertanyaan kapan kamu menikah, sepertinya menjadi pertanyaan favorit banyak orang. Pertanyaan selanjutnya tentu seperti pertanyaan turunannya: teman-teman kamu khan sudah menikah, kenapa kamu belum? Kapan sih ngenalin calonnya?. Lingkungan sosial kita seperti tak pernah diam melihat perempuan yang masih lajang. Padahal menjadi lajang adalah pilihan

Tika Adriana- Konde.co

“Kamu bisa merasakan sesekali jadi selebriti, karena hanya selebriti sajalah yang status hubungannya jadi perhatian orang. Pertanyaan kapan nikah sepertinya adalah favorit sejumlah orang, padahal mereka yang bertanya sering bukan orang yang dekat denganmu, bukan orang yang benar-benar peduli padamu, dan tidak melakukan apapun untuk membantumu memiliki hubungan atau apapun juga,” tutur penulis, Feby Indirani ketika membacakan salah satu bagian buku yang ia tulis, 69 Things To Be Grateful About Being Single dalam diskusi Melajang di Siaran Instagram Indonesia Feminist,  20 September 2020.

Pernyataan Feby ini benar adanya. Lingkungan sosial kita terkadang tak bisa diam ketika melihat perempuan belum menikah di umur lebih dari 25. Pertanyaan tentang ini yang kemudian banyak ditanyakan:

“Kapan menikah?.”

“Dia sudah menikah, kenapa kamu belum?.”

“Wah, di antara kita tinggal kamu yang belum menikah ya.”

“Mana calonnya? Kenalin dong ke kita.”

Dan berbagai pertanyaan lain yang datang bertubi-tubi akan hadir pada perempuan yang melajang. Mereka menganggap bahwa perempuan yang tak kunjung menikah di umur lebih dari 25 itu salah. 

“Ini problem struktural, kita lahir dari struktur patriarki yang lebih tua dari agama. Seringkali orang meniru orang lain saja. Kemarin saya mengambil contoh dari teman yang diomongin di belakang karena ia belum menikah, dia dianggap salah: dianggap terlalu pintar, terlalu kritis, sekolahnya terlalu tinggi, gajinya terlalu besar. Dianggap ada yang salah dari dia,” ungkap Feby.

Seringkali, orang-orang di sekitar perempuan lajang juga meminta para lajang untuk berbenah agar mendapatkan pasangan, berbenah itu seperti idealisme bagi orang lain. Padahal nyatanya, tak ada yang salah dari diri perempuan yang melajang, tapi lingkungan sekitar perempuan itu lah yang menjadikannya masalah.

Salah satu stigma yang kerap melekat pada perempuan lajang adalah dianggap memusuhi pernikahan. Padahal mereka tidak memusuhi laki-laki, mereka hanya tak suka dengan pernikahan yang diskriminatif terhadap perempuan. 

Menikah atau tidak menikah, melajang atau tidak, bukan perkara kalah dan menang, ini adalah pilihan pribadi seseorang yang tak perlu dibully.

Diskriminasi terhadap lajang tak cuma hadir dalam lingkungan sosial, tapi juga hadir secara struktural. 

Misalnya dalam urusan ketenagakerjaan, subsidi keluarga seringkali hanya diberikan untuk mereka yang sudah menikah dan laki-laki. Sangat sedikit perusahaan yang mau memberikan subsidi bagi perempuan atau lajang, seolah-olah si lajang bebas dari segala tanggungan keluarga: ayah, ibu, dan saudara kandungnya.

Nyatanya, di negara kita hidup pun banyak sekali lajang yang jadi tulang punggung keluarga: membayar kebutuhan ini-itu di rumah orangtua, membayar asuransi atau biaya kesehatan orangtua yang sakit dan tak lagi ditanggung oleh kantornya karena sudah pensiun, membayar biaya sekolah saudara atau keponakan. Belum lagi, mereka harus menanggung biaya hidup mereka sendiri, terlebih bagi mereka yang merantau.

“Ketika ada jadwal lembur, seringkali mereka yang masih melajang disuruh lembur karena dianggap tidak punya tanggungan. Seolah-olah lajang tidak punya banyak urusan yang lain,” kata Feby.

Tak jarang, diskriminasi jam kerja ini membuat para lajang kesulitan untuk mengembangkan diri di luar lingkaran perusahaan. Pertemanan mereka menjadi terbatas pada pertemanan di pekerjaan. 

Banyak yang pernah menemui kenyataan ini. Ketika para lajang tak mau mengambil lembur, mereka akan dianggap sebagai karyawan yang tak punya komitmen.

Stereotip Keliru Bagi Para Lajang

Dalam jurnal “What Does It Mean to Be Single in Indonesia? Religiosity, Social Stigma, and Marital Status Among Never-Married Indonesian Adults”, Karel Karsten Himawan, dkk., menemukan bahwa masyarakat Indonesia masih menganggap penting agama dan status perkawinan, sehingga stigma buruk pun melekat pada mereka yang memilih untuk melajang, terutama perempuan.

Ada pandangan keliru yang menyebabkan perempuan lajang diberi stigma. Para perempuan dianggap akan kehilangan daya tariknya ketika sudah berusia 30, mereka dianggap tak menarik di mata laki-laki dan dianggap sudah tak bisa bereproduksi. 

Berbeda dengan pandangan orang kepada laki-laki yang melajang, mereka justru dianggap sebagai orang yang sukses secara ekonomi dan status sosial, laki-laki yang ideal dan terorganisir. Hal inilah yang membuat para perempuan lajang dihakimi oleh orang-orang di sekitarnya.

Himawan, dkk., juga menjelaskan alasan para perempuan memilih untuk melajang, salah satunya yakni kekhawatiran para perempuan atas diskriminasi peran di rumah tangga. Mereka memilih jadi lajang karena konstruksi patriarki sering menempatkan perempuan pada peran tradisional dari istri: mengurus rumah tangga dan memiliki anak.

Bella DePaulo, seorang pakar pada lajang mengatakan dalam Psychology Today tentang stereotip keliru yang melekat pada lajang. Kehidupan para lajang seringkali dianggap tak bahagia. 

Lalu bagaimana dengan kehidupan pernikahan yang toksik? Apakah ini membuat bahagia? Tentu tidak. 

Para lajang juga bisa bahagia dengan cara mereka sendiri. Mereka juga belum tentu orang yang kesepian, tak punya makna, dan egois. 

Jika Anda benar-benar membuka mata Anda, tak sedikit perempuan lajang yang aktif di komunitas dan peduli pada sesama. Tiap orang punya nilai kebahagiaan masing-masing.

Akibat dari stereotip ini, perempuan yang melajang dianggap sebagai individu yang tidak normal. 

Salah satu kata yang sering jadi bahan olokan untuk perempuan yang melajang, tapi tak kena pada laki-laki adalah kata “perawan tua”. 

Kita semua pasti pernah mendengar kata itu atau mungkin ikut kasak-kusuk orang dan membicarakan perempuan yang melajang menggunakan kata tersebut.

Kata itu seringkali membentuk stigma bahwa perempuan yang melajang adalah perempuan yang tidak menarik, perempuan yang menjijikan, atau perempuan yang menyebalkan. Padahal menjadi lajang adalah kebebasan memilih bagi setiap individu, tak terkecuali perempuan.

Dan jika ini merupakan alasan mereka memilih melajang, maka kita pun harus menghargai mereka. 

Jadi lajang juga bukan berarti tak laku, dan bila para lajang ini cukup pemilih, lalu apa salahnya?

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang memperjuangkan kesetaraan. Saat ini managing editor Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!