Dari Hari Tani nasional: Tak Miliki Lahan, Perempuan Petani Alami Kekerasan

Mama Ester harus berjalan ke Kecamatan Batu Putih sejauh 10 kilometer dari rumahnya untuk memperoleh air. Air ini lalu ia gunakan untuk mencuci dan mandi. Mama Ester adalah salah satu perempuan dari suku adat di Pubabu, Nusa Tenggara Timur/ NTT yang menjadi korban pembabatan hutan yang masih terus berlangsung hingga kini. 

Luviana- Konde.co

Cerita Mama Ester adalah satu dari cerita para perempuan petani di beberapa wilayah di Indonesia yang mewarnai peringatan Hari Tani Nasional atau Hari Agraria, 24 September 2020 yang diselenggarakan Komnas Perempuan dan Solidaritas Perempuan melalui daring

Perempuan petani di wilayah lain mengalami problem serupa: tak punya tanah, akhirnya bekerja sebagai buruh tani, diupah murah, kerap mendapat kekerasan dan pelecehan seksual karena konflik, dan nasibnya akan semakin tak menentu jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law disahkan 

Berikut adalah problem perempuan petani di beberapa wilayah di Indonesia:

Perempuan Petani di Nusa Tenggara Timur

Mama Ester bercerita tentang bagaimana beratnya menjaga hutan agar tidak dirusak, namun yang terjadi justru sebaliknya. 

Akibat pembabatan hutan seluas 1050 hektar oleh Dinas Kehutanan, kini mereka tak bisa mendapatkan air dan harus mencari air dengan jalan sepanjang 10 kilometer setiap harinya.  

“Setelah dibabat, kami mengalami kekeringan, hutan adat kami seluas 1050 hektar dibabat oleh Dinas Kehutanan, dibabat semua dan saat ini kondisi kami tandus dan mengalami kekeringan. Padahal kami biasa mengairi sawah untuk hidup, namun sejak itu kami kekeringan dan tidak ada sumber air.”

Di musim pandemi dan musim panas seperti sekarang, para perempuan adat Pubabu lebih menderita kondisinya, tak ada mata pencaharian untuk bertahan. 

Mama Ester mengatakan kekecewaannya pada pemerintah Nusa Tenggara Timur/ NTT dengan kondisi ini. Saat ini mereka hidup hanya dari bantuan atau dukungan gereja dan organisasi masyarakat 

Hingga sekarang  di peringatan hari Tani Nasional dan 60 tahun peringatan Undang-Undang Pembaruan Agraria pada 24 September 2020, para petani di Indonesia masih memiliki persoalan yang sama, tak punya kepemilikan dan akses tanah serta sumber daya. 

Para perempuan petani memiliki persoalan serupa, data Solidaritas Perempuan menyebutkan hanya 2,24% tanah yang dimiliki perempuan atau data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) hanya 15,8% tanah di Indonesia yang dimiliki perempuan

Perempuan Petani di Jogjakarta

Di Kulonprogo, Jogjakarta tepatnya di bukit Menoreh, perempuan petani mengalami persoalan ketika tanah di Kulonprogo digunakan untuk pembangunan Bandara Internasional Jogjakarta. 

Tanah di sekitar bandara sekarang dibangun berbagai macam bangunan bisnis dan usaha, akibatnya petani disana tak lagi memiliki lahan dan hanya menjadi buruh tani. 

Sana Ullaili, petani di Bukit Menoreh mengatakan selain problem itu, saat ini pendidikan untuk keluarga petani disana masih diprioritaskan untuk anak laki-laki

“Harusnya ada lahan garap untuk petani di sekitar bandara, tetapi tidak ada, semua jadi buruh tani. Pendapatan petani perempuan lebih rendah dibanding petani laki-laki. Dan hendaknya ada keadian untuk anak-anak perempuan.”

Perempuan Petani di Jawa Tengah

Ruth Murtiasih dari Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah di Salatiga, Jawa Tengah memetakan pengalaman perempuan petani yang hidup di sejumlah wilayah di Jawa Tengah. 

Di Gunung Merbabu misalnya, mereka masih menghadapi problem utama dimana tidak mempunyai akses mengelola lahan karena tanahnya dikuasai Perhutani dan untuk pembangunan Taman Nasional Merbabu dan Merapi. 

Demikian juga petani di Gunung Sindoro  yang aksesnya sulit karena taman nasional yang sangat ketat penjagaannya

“Dulu masih bisa mendapatkan rumput, namun sekarang rumput saja sudah sulit didapat.”

Pembangunan taman nasional ini sudah banyak dikritik, karena hanya membangun taman, tapi meniadakan keberadaan manusia yang ada di sekitar taman

Saat ini para petani disana mulai melakukan reclaiming, yaitu dengan melakukan jual beli tanaman karena hanya ini yang bisa dilakukan

“Petani akhirnya melakukan reclaiming yaitu menjual beli tanaman, menjual beli hasil tanam karena hanya ini yang bisa dilakukan.”

Ruth Subodro menyatakan bahwa saat ini mereka sedang melakukan advokasi atas kasus yang mereka hadapi ke Kantor Staf Presiden (KSP) dan berharap agar mendapatkan solusinya

Perempuan Pesisir di Makassar

Ibu Ati Takalar adalah nelayan yang hidup di wilayah pesisir di Makassar. Untuk di wilayah perairan, mereka mempunyai problem yang sama dengan yang dihadapi nelayan, yaitu laut yang sudah dikuasai oleh pembangunan yang merugikan nelayan. 

Di Makassar ada sejumlah proyek reklamasi yang menyebabkan kurangnya tangkapan ikan dan masyarakat tersingkir dari pembangunan ini

Perempuan dan Persoalan Agraria

Dinda Nuur Annisaa Yura, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan memetakan bahwa dari berbagai persoalan yang dipaparkan para perempuan petani dan nelayan, terlihat bagaimana masyarakat tidak bisa menaruh harapan pada pemerintah, karena terbukti pemerintah selalu mengecewakan.

“Seharusnya semua orang punya hak yang sama untuk mengelola tanah dan alam sekitar, ini menjadi sulit ketika ada kepemilikan untuk bisnis dan pemerintah membiarkan. Tanah, air, pesisir, udara itu dikuasai dan kebijakan tidak bisa melindungi masyarakat, justru  kemudian dirampas.”

Maka masyarakat kemudian mengusahakan sendiri untuk menyelesaikan persoalan ekonomi merekaa seperti mengadakan solidaritas pangan, menjual barang-barang hasil tani yang kemudian dibeli organisasi dan disalurkan ke masyarakat lain yang membutuhkan

Komisioner Komnas Perempuan, Dewi Kanti mengatakan hingga saat ini konflik agraria ini masih terus terjadi. 

Konflik agraria ini merupakan konflik terluas karena ada sumber kehidupan. UU Agraria harusnya dijadikan undang-undang untuk kepemilikan tanah masyarakat, namun karena tidak diselesaikan, maka akibatnya ada banyak sekali konflik yang mengorbankan perempuan

“Masyarakat selama ini memandang bahwa subyek alam selalu menjadi bagian dari dirinya. Namun mereka kemudian harus punya daya juang untuk menghadapi konflik, menghadapi kekuatan yang luar biasa. Negara harus segera hadir.”

Komnas Perempuan dari tahun 2019 banyak menemukan pola yang sama terkait konflik agraria ini, yaitu ada penggusuran, kriminalisasi yang kemudian mengorbankan perempuan.

“Ada upaya penaklukan gerakan perjuangan dan menyasar tubuh perempuan seperti perkosaan dan kekerasan seksual dari konflik-konflik agraria ini.”

Dalam konflik agraria ini juga terdapat kekerasan ekonomi, pelecehan dan kekerasan seksual. Maka Dewi Kanti meminta pemerintah untuk mendorong korporasi agar menjaga alam dan tanah dan masyarakat menjadi prioritas pembangunan.

“Masyarakat sudah ada sebelum negara hadir, maka masyarakat adalah subyek pembangunan.” 

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Luviana, setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar ilmu komunikasi paruh waktu. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!