Dugaan Kekerasan Seksual Pejabat di Buton: Komnas Perempuan Minta Pembatalan Pelantikan

Kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan Wakil Bupati Buton Utara, Ramadio terhadap seorang anak perempuan terjadi di tahun 2019. Proses hukum sedang berlangsung, namun pada 25 September 2020, Gubernur Sulawesi Tenggara, H. Ali Mazi justru mengukuhkan Ramadio sebagai Pelaksana tugas (Plt) Bupati Buton Utara. Organisasi Perempuan Lambu Ina bersama Komnas Perempuan meminta Gubernur melakukan penundaan pelantikan Ramadio serta melakukan koreksi atas perilakunya sebagai pejabat 

Luviana- Konde.co

Selama ini Komnas Perempuan mendata terdapat 115 kasus yang dilakukan pejabat negara. Kasus yang diduga dilakukan Ramadio menjadi satu tambahan kasus berikutnya

Ramadio, Wakil Bupati Buton Utara diduga melakukan kekerasan seksual terhadap anak perempuan (14 tahun) melalui mucikari TB (32 tahun) yang merupakan tante korban. TB diberikan uang oleh pelaku untuk menjerat korban. 

Kasus ini berawal ketika Ramadio melakukan kekerasan seksual dengan cara membayar uang kepada TB yang dilakukan pada Juni tahun 2019 tanpa diketahui oleh orangtua korban 

Setelah mengetahui kasus ini, orangtua korban kemudian melaporkan kasus ke Organisasi Lambu Ina di Sulawesi Tenggara. 

Yustina Fendrita, Direktur Yayasan Lambu Ina dalam konferensi pers bersama Komnas Perempuan pada 29 September 2020 menyatakan bahwa sejak 10 Oktober 2019 orangtua korban  memberikan kuasa kepada Lambu Ina sebagai pendamping hukum korban. 

Yustina menyatakan kasus sudah berjalan 1 tahun, korban merasakan stress, dibully hingga harus keluar dari sekolah. Beberapa tetua adat disana juga malah meminta korban agar segera dikawinkan dengan pelaku, namun korban menolaknya

“Motivasi yang dilakukan pelaku sejauh ini karena pelaku adalah laki-laki dan ia merasa berkuasa disana. Korban merasakan stress yang luar biasa, dibully di sekolah sampai keluar dari sekolah. Beberapa tetua adat malah meminta korban untuk dikawinkan dengan pelaku,” kata Yustina

Kasus kekerasan seksual  yang menimpa korban ini sebenarnya masuk dalam ranah kasus perdagangan orang,  namun Polda Sulawesi Tenggara menetapkan kasus ini menjadi kasus eksploitase seksual dan pencabulan berdasar UU 35/2014

Sebelumnya kasus sudah dilaporkan di Kepolisian Sektor Bonegunu pada tanggal 26 September 2019 (LP/18/IX/2019/Sultra/Res Muna/SPkt Sek Bonegunu). 

TB telah divonis oleh Pengadilan Negeri Raha (28/Pid.Sus/2020/PN Rah) bersalah melakukan tindak pidana ekploitasi seksual terhadap anak dan dipidana 6 tahun 6 bulan dan denda Rp. 100 juta. 

Putusan terhadap TB kemudian diperberat oleh Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara (50/Pid.Sus/2020/PT KDI) menjadi 9 tahun penjara dan denda Rp. 100 juta karena terbukti melakukan tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak. 

Sementara Ramadio meski telah ditetapkan sebagai tersangka, namun hingga saat ini tidak ditahan dengan alasan belum adanya persetujuan tertulis dari Presiden RI melalui Kemendagri dalam rangka penyidikan dan penahanan, mengingat yang bersangkutan adalah wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang belum boleh ditahan jika belum ada surat dari Kementerian Dalam Negeri/ Kemendagri

“Kekerasan yang terjadi pada korban ini cukup berlapis karena proses hukumnya berlarut sudah hampir 1 tahun, pelaku tidak ditahan justru mendapatkan previlage sebagai pejabat negara, sedangkan korban mengalami dampak psikologis dan sanksi sosial seperti dianggap sebagai penebar aib, dibully di sekolahnya,” kata Yustina

Saat ini korban berada dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan dalam konferensi pers menyatakan bahwa kekerasan yang diduga dilakukan pejabat publik dalam data Komnas Perempuan terdapat 115 kasus yang dilakukan Aparatur Sipil Negara (ASN), polisi, guru dan aparat lain.  

Ini menjadi perhatian khusus Komnas Perempuan karena ada relasi kuasa yang besar yang dilakukan pejabat terhadap warga negara yang seharusnya dilindungi

“Maka ini harus menjadi perhatian lebih pada para pejabat publik karena ada kewajiban pejabat publik yang harusnya melindungi perempuan, tidak boleh mendiskriminasi dan melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak,” kata Siti Aminah Tardi

Korban juga berusia anak, Komnas Perempuan serius melindungi korban anak perempuan yang setiap tahun meningkat. Di tahun 2019 terdapat 2340 atau ada peningkatan sebanyak 65%, dan dua bentuk kekerasan tertinggi yaitu kekerasan seksual di ranah komunitas dan incest. Ini menunjukkan perempuan sejak usia anak sudah mengalami kerentanan 

Tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak diatur dalam Instruksi Presiden dan dalam Konvensi CEDAW atau konvensi anti diskriminasi terhadap perempuan, namun ternyata ini tidak bisa diberlakukan secara cepat karena pelaku merupakan pejabat publik.

“Melihat kasus ini teryata tidak dengan sendirinya bisa dijalankan ketika pelaku adalah pejabat publik. Ini berarti ada pengistimewaan untuk tersangka yang merupakan kepala daerah, diperlukan izin dan waktu yang berlebih untuk melakukan penahanan, dan sampai sekarang wakil bupati Buton Utara tidak ditahan.”

Yustina menyatakan bahwa berlarutnya kasus ini menyebabkan Yustina kemudian melaporkannya ke Kantor Staf Presiden (KSP), ke Komnas Perempuan, mengirim surat ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia juga ke Kompolnas. 

“Saya meyakini proses hukum semoga bisa berjalan, dan saat ini kami sedang menunggu hasil Raat Koordinasi atau Rakor di KSP, apakah pelaku akan dilantik sebagai pejabat pelaksana tugas disana ataukah tidak? Ini yang kami perjuangkan sekarang.”

Selain itu Lambu Ina juga meminta Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi untuk membatalkan pelantikan pelaku dan melakukan koreksi atas yang dilakukan pelaku.

Komnas Perempuan akan segera meminta pada Menteri Dalam Negeri untuk memberi perhatian pada kasus ini, lalu merekomendasikan pada DPR RI dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak untuk meminta persetujuan tertulis dari presiden agar Mendagri memberikan rekomendasi pembatalan pengangkatan Ramadio dan melakukan koreksi terhadap pejabat publik yang diduga melakukan kekerasan seksual namun masih duduk sebagai pejabat negara

Luviana, setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar ilmu komunikasi paruh waktu. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!