Kerap Mendapat Pelecehan, Perempuan Pekerja Seni Harus Punya Taktik Ketika di Panggung


Pelecehan yang kerap dialami sejumlah perempuan pekerja seni ketika bekerja, membuat mereka kemudian punya taktik dan strategi dalam melakukan perlawanan. Apa saja strategi dan taktik yang mereka lakukan ketika di panggung atau ketika bekerja? 

Tim Konde.co

Naomi Srikandi, salah satu perempuan pekerja seni memaparkan bahwa kesenian di Indonesia tak pernah kekurangan jumlah perempuan. Namun para perempuan pekerja seni ini harus punya taktik dan strategi di panggung kesenian. Karena jika tidak, maka tidak akan ada posisi yang setara yang mereka dapatkan. Lalu apa yang ditawarkan perempuan pekerja seni dalam kondisi ini? 

Naomi menyatakan ini dalam diskusi berjudul Perempuan Menawar Panggung dalam acara Festival Cipta Media Ekspresi 2020 pada 24 Juli 2020 melalui daring.

Diskusi ini mendengarkan pengalaman para perempuan pekerja seni seperti pemain teater dan penulis Kadek Sonia Piscayanti, dalang perempuan Sri Harti atau Kenik Asmorowati. Lalu Nanik Indarti, seorang aktor dan sutradara teater dan Agnes Serfozo, seorang peneliti dan pesinden asal Hongaria yang bekerja di Indonesia. Keempat pekerja seni ini sebelumnya adalah penerima Hibah Cipta Media Ekspresi dari Ford Foundation dan Wikimedia di tahun 2018. 

Kadek Sonia bercerita, pertamakali berada di dunia panggung sejak ia masih sekolah SD, ketika itu ia membaca puisi dan menulis puisi di majalah dinding dan kemudian mulai aktif di teater ketika mulai kuliah dan kemudian mengajar teater hingga sekarang. 

Teater dipilihnya karena menurut Kadek Sonia sangat luas dan intim menyentuh penontonnya. Namun ketika dewasa, ia melihat ada realitas yang tidak bisa ditampilkan di panggung dan hanya bisa ia ketahui di luar panggung. 

Kenik Asmorowati mengawali pementasan di panggung ketika orangtuanya kala itu mengharuskannya untuk belajar menjadi dalang. Namun dalam perjalanan waktu, job-job mulai berdatangan dan ia ternyata menjadikan dalang perempuan sebagai pekerjaannya hingga saat ini

“Maka orientasi saya akhirnya mencari uang sesudah itu, selain menjadi dalang saya kemudian menjadi  dosen di program studi pedalangan Institut Seni Indonesia atau ISI Surakarta, disinilah saya kemudian bisa memberikan ide cerita hidup saya melalui pekerjaan saya sebagai dalang wayang.”

Pekerja seni lainnya adalah Nanik Indarti. Sejak SMA Nanik sudah bermain teater dan kemudian kuliah di ISI Yogyakarta. Cita-citanya dari dulu ingin menjadi artis, Namun tubuhnya yang mini  karena ia penyandang achondroplasia kemudian menjadikan ia banyak mendapat pelecehan ketika bekerja. 

“Saya merasakan dieksploitase dan diskriminasi ketika mencoba menjadi artis dengan tubuh saya yang mini,” kata Nanik Indarti

.Pengalaman lain dialami Agnes Serfozo. Ia belajar pedalangan di Solo dan kemudian belajar menjadi sinden. Ketika kecil di Hongaria ia belajar menyanyi lagu-lagu tradisional disana, maka di Indonesia ia kemudian belajar untuk menyanyi dan menjadi sinden. 

“Saya sangat bersemangat di awalnya karena kata teman-teman seniman, ada sinden dari luar negeri ini menarik, namun di perjalanan saya agak tidak semangat ketika  saya merasa kecewa tidak seperti yang saya bayangkan karena ada permintaan banyak diantara seniman dan penonton yang agak berbeda dengan jalan pikiran saya. Saya butuh waktu dan sekarang saya bisa menyesuaikan dengan saya, ini perjalanan panjang selama 11-12 tahun.”

Persoalan terbesar yang dihadapi

Nanik Indarti merasakan bahwa perempuan bertubuh mini  seperti dirinya selalu dijadikan obyek hiburan dan untuk lucu-lucuan. Jadi mereka tidak menghargai jika perempuan bertubuh mini juga punya bakat dan pengalaman di panggung yang sama dengan orang lain. 

“Setelah itu saya ajak perempuan bertubuh mini untuk bersuara, pengalaman lewat teater dan berkolaborasi, jadi tubuh mini tidak untuk obyek lucu-lucuan dan tidak melanggengkan stereotype, tubuh mini ini punya cerita dan perjalanan hidup,” kata Nanik Indarti

Nanik pernah menuliskan pengalamannya di Konde.co pada 1 November 2019 lalu. Dulu, menjadi seorang artis terkenal adalah cita-cita Nanik. Nanik sangat menyukai dunia akting di televisi. Nanik pun pernah membayangkan masuk televisi dan ditonton oleh banyak orang. 

“Semua yang kubayangkan terlihat indah waktu itu. Namun setelah aku mendapatkan pengalaman yang kurang baik di dunia hiburan yaitu sering dilecehkan dan dieksploitase, bagiku sudah cukup membuktikan bahwa eksploitasi terhadap orang-orang bertubuh mini ini memang tak akan pernah berhenti,” tulis Nanik Indarti

Tahun demi tahun Nanik Indarti kemudian bekerja keras bagaimana orang tidak memandang sebelah mata pada tubuh mungilnya, Nanik berusaha keras ingin membuat orang lain menghargai karya-karyanya.

Di tahun 2018 Nanik lalu memfokuskan diri untuk melakukan pemberdayaan terhadap penyandang achondroplasia dari berbagai daerah di Indonesia. Salah satu karya tulis berjudul “Aku Perempuan Unik” merupakan catatan inspiratif para perempuan penyandang achondroplasia yang berhasil mengolah keterbatasan diri secara positif. 

“Bagi saya pemberdayaan melalui seni teater menjadi cara yang pas untuk membicarakan persoalan-persoalan diri maupun hambatan-hambatan yang banyak dialami seperti stigma, bullying, diskriminasi, eksploitasi dll.

“Aku Perempuan Unik”, merupakan buku karya perdana yang digagas oleh Nanik dan dikerjakan bersama teman-teman lain yang bertubuh mini. Buku ini merupakan catatan inspiratif para perempuan bertubuh mini penyandang achondroplasia yang memiliki berbagai profesi seperti dosen, guru, penari, ibu rumah tangga dan pekerja seni. Buku ini diharapkan mampu memberikan motivasi bagi para tubuh mini di seluruh Indonesia yang masih minder, tidak percaya diri, untuk bangkit melawan diskriminasi. Selain itu buku ini diharapkan mampu mengubah persepsi masyarakat terhadap penyandang achondroplasia bahwa mereka punya kesempatan hidup yang sama di masyarakat

Tantangan lain juga dialami Kadek Sonia. Ia melihat bahwa panggung kesenian itu sangat kaku dan eksklusif dan seolah panggung lahir hanya untuk seniman, aktor dan orang pintar saja, namun panggung kurang ramah terhadap orang awam. 

Kadek kemudian membuat panggung ibu yang isinya semua ibu-ibu yang tidak pernah tampil di panggung. 

“Di sekitar kita ada banyak perempuan yang ingin berbagi dan saya ingin menghadirkan panggung yang ramah untuk perempuan dan membuat teater ini nyaman karena itu mereka bisa pentas di rumahnya sendiri. Realitas inilah yang perlu didengar.”

Jika Kadek merasakan panggung yang kurang ramah, Agnes merasakan ia melihat pelecehan yang kadang dilakukan oleh dalang laki-laki. Dalang laki-laki ini dalam pertunjukannya kadang menggunakan joke-joke yang melecehkan perempuan dan kadang perempuan sinden juga dilecehkan. 

Kenik punya pengalaman yang tak kalah beratnya. Awalnya ia dipandang sebelah mata sebagai dalang perempuan, masyarakat bertanya apa menariknya dalang perempuan itu? Intinya masyarakat masih memandang rendah dalang perempuan karena biasanya dalang identik dengan laki-laki. 

“Ketika itu saya melihat bahwa ada beberapa dalang perempuan yang belum begitu menggerakkan panggung dan soal kebiasaan masyarakat yang hanya terbiasa melihat dalang laki-laki saja. Pertunjukan wayang itu adalah pertunjukan lakon atau tutur dan jarang menampilkan tokoh perempuan, jika ada dalang perempuan maka mereka hanya jadi pelengkap, tokoh perempuan di wayang juga akan diberikan peran kecil bahkan mereka hanya diminta untuk bilang: iya atau setuju dalam naskah.”

Maka Kenik kemudian menawarkan cerita-cerita tentang perempuan melalui panggung pertunjukannya, melalui tokoh wayang perempuan agar  tak dipandang sebelah mata   

Dalam diskusi ini juga diceritakan bahwa dalam seni tari di sejumlah daerah di Indonesia misalnya, ada penari perempuan yang jika menari syaratnya harus perawan, ada penari yang syaratnya harus sudah menopause dan ada penari perempuan yang syaratnya harus belum menstruasi.  Ini menjadi salah satu prasyarat untuk perempuan penari yang menarikan sejumlah tarian tertentu.

“Ini merupakan hal yang patriarkal yang menimpa perempuan karena ada kepercayaan bahwa jika tidak perawan maka akan ada gangguan atau hal gaib yang terjadi dalam ritual tersebut,” kata Agnes Zerfozo

Diskusi ini menggambarkan banyaknya tantangan yang harus dihadapi para perempun pekerja seni, yaitu dari harus membuktikan sesuatu hingga melawan pelecehan. Juga harus punya taktik dan strategi baru untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi perempuan ketika di panggung

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!