Merlyn Sopjan, Aku Perempuan Tanpa Vagina

 

Di umur 4 tahun itulah saya pertamakali menyadari dan merasa seperti perempuan, yang feminin. Saya memang bukan perempuan, tapi saya merasa bahwa saya ini seorang perempuan. Ketika sekolah di SMP, saya mencoba untuk mencintai perempuan, tapi saya tidak bisa. Sejak itulah saya merasa, bahwa saya adalah seorang perempuan.

(Merlyn Sopjan, 47 tahun, dalam dokumenter berjudul “Perempuan Tanpa Vagina.”)

Tika Adriana- Konde.co

Bernama asli Ario Pamungkas, lalu mengubah namanya menjadi Merlyn Sopjan. 

Dalam Film ‘Perempuan Tanpa Vagina’ yang diproduksi oleh Cameo Project dengan Producer  Andry Ganda, Martin Anugrah, Oktora Irahadi dan penulis Story Randi Wisnu dan sutradara Rio Sumantri ini, Merlyn menceritakan tentang pilihan hidupnya menjadi transpuan

Untuk ‘memerankan’ diri sebagai seorang perempuan, tak pernah mudah bagi Merlyn. Penolakan ada disana-sini, dipanggil banci, dipanggil waria, sulit diterima di lingkungannya, semua pernah dirasakannya. 

Di dalam keluarga, Merlyn juga pernah ditolak oleh ayahnya. Memenangkan Kontes Putri Waria di tahun 1995 yang merupakan puncak tertinggi prestasi yang diraih Merlyn kala itu, tak serta merta membuat orangtuanya mendukung pilihannya menjadi transpuan. 

Merlyn kemudian rajin mengumpulkan kliping dari media yang menulis profil dan perjalanan hidupnya, termasuk ketika organisasi dimana Merlyn aktif saat itu menjadi organisasi pertama di Indonesia yang kampanye soal pemakaian kondom dan kesehatan reproduksi dan banyak dituliskan media. 

Hingga delapan tahun berselang, di tahun 2002, Merlyn mengirim kliping berisi pemberitaan tentang dirinya sebagai aktivis kesetaraan hak dari transpuan.

“Saya menitipkan kliping koran dan majalah yang memuat aktivitas saya dan saya titipin ke sopir keluarga kami. Saya titip kliping ini biar dibaca sama papi,” ujar Merlyn

Kliping media itulah yang mengubah pandangan ayahnya atas Merlyn. Ayahnya pernah menawarinya untuk melakukan operasi kelamin, tapi Merlyn menolak.Bagi Merlyn, ia sudah bahagia dengan dirinya saat ini dan ia menekankan pada orangtuanya bahwa esensi hidup bukan pada kelamin. Bukan pada kepemilikan vagina

“Menjadi transgender, menjadi sesuatu yang berbeda itu tidak berarti kehilangan hak untuk menjadi baik, menjadi orang yang baik. Orang yang terlihat sempurna secara kelamin dan identitas saja itu mereka yang nggak baik juga banyak kok. Artinya tidak membuktikan bahwa sesuai antara identitas gender dan kelamin itu kan tidak menentukan kebaikan seseorang ada di sana kan,” ujar Merlyn dalam film tersebut.

Menjadi Merlyn Sopjan yang ramah dan terbuka pada masyarakat. Ini esensi kebaikan yang selama ini ditebarkan Merlyn Sopjan di lingkungannya, begitu juga ketika stigma-stigma itu muncul begitu saja.

“Kita ini bukan membawa pengaruh yang buruk, karena menjadi waria itu bukan pengaruh, bukan pilihan, tapi menjadi diri sendiri,” tutur Merlyn.

Tak jarang, Merlyn dan kawan-kawan transpuan lainnya pun menerima pertanyaan tentang kehidupan seksual mereka.

“Banyak yang tanya bagaimana kehidupan seksual anda? rasanya itu menjadi bagian paling menarik yang orang lain ingin tahu. Tapi yang sering saya bilang, saya selalu menjaga untuk tidak pernah tanya ke teman-teman gimana kehidupan seksualmu, saya ingin mengajarkan ke mereka bahwa itu sangat pribadi dan saya nggak harus tahu. Itu cara mereka menghormati kamu,” kata Merlyn.

Anggun Pradesha, seorang transpuan dan teman baik Merlyn Sopjan dalam film ini menceritakan tentang dirinya yang kerap mendapatkan diskriminasi dari orang sekitar.

“Itu kan ngebully kita, saat lagi jalan dilihatin, diomongin, itu kan ngeganggu. Aku belajar untuk melihat hal seperti itu untuk tidak marah. Kadang ketika lagi jalan dengan teman yang kelihatan, dia teriak, ‘mama mama bencong’, biasanya saya dekati lalu bilang, ‘sayang nggak boleh gitu ya’,” tutur Anggun.

Sebagai sebuah film, perjalanan Merlyn Sopjan memberikan catatan penting bagaimana kehidupan kelompok minoritas di Indonesia, kita bisa merasakan kepedihan sekaligus keharuan yang sangat terasa dalam film 

“Biarlah saya meninggal nanti dengan nisan bernama Ario Pamungkas.”

Stigma Transpuan dan Kehidupan Sosial Mereka

Di Indonesia kehadiran transpuan seringkali dipermasalahkan. Kekerasan pada mereka hadir secara struktural dari aparat kepolisian hingga masyarakat umum terjadi. 

Kita ingat bagaimana pembunuhan keji para transpuan seperti Mira yang dibakar hidup-hidup di Cilincing, Jakarta Utara, konten seksis dari Youtuber Ferdian Paleka, hingga penangkapan tak menyenangkan dari transpuan oleh polisi seperti yang terjadi di Lampung, dan aturan syariah yang mengkriminalisasi transpuan di Aceh.

Zuly Qodir dalam buku Santri Waria: Kisah Kehidupan Pondok Pesantren Waria Al Fatah Yogyakarta yang disusun oleh Mashturiyan Sa’dan menjelaskan bahwa pandangan bias dari masyarakat ini dipengaruhi oleh konstruksi sosial bahwa menjadi transpuan merupakan kehendak manusia itu sendiri.

Irwan Martua Hidayana dalam The Conversation menjelaskan bahwa sebetulnya budaya di Indonesia mengakui keberagaman gender, sebagai contoh yakni budaya Bugis di Sulawesi Selatan yang mengakui lima gender: pria (oroane), perempuan (makkunrai), laki-laki yang menjadi perempuan (calabai), perempuan yang menjadi laki-laki (calalai), dan orang yang tidak memiliki gender (bissu). Ada juga budaya masyarakat Toraja yang mengenal gender ketiga yakni to burake tambolang yakni perempuan yang berbaju laki-laki dan to burake tattiu’ yakni laki-laki yang berpakaian perempuan.

Sayangnya, budaya ini memudar akibat kolonialisme yang mengubah pemahaman gender dan seksualitas seturut agama dan nilai modern yang menekankan pada heteroseksualitas dalam pernikahan.

“Seks dianggap sebagai masalah moral, sehingga seks yang terjadi di luar nikah atau antara pasangan non-heteroseksual adalah tidak bermoral,” tulis Hidayana.

Akibat stigma sosial ini, para transpuan akhirnya harus mengeluarkan tenaga lebih untuk mengakses pendidikan mereka. 

Dalam laporan berjudul “LGBT Exclusion in Indonesia and Its Economic Effects”, M.V. Kee Badgett, dkk memaparkan tentang sistem pendidikan kita yang menyulitkan kelompok minoritas gender. Padahal di Indonesia, pendidikan merupakan salah satu modal individu untuk meningkatkan tingkat ekonomi mereka.

Bagi transpuan yang memiliki latar belakang keluarga tak mampu, pendidikan merupakan barang mewah sebab intimidasi dan diskriminasi juga terjadi dalam sistem pendidikan.

Belum lagi ketika mereka mengakses pekerjaan. Diskriminasi pada kelompok LGBT memilih untuk merahasiakan orientasi seksual atau identitas gender mereka. Situasi ini sangat menyulitkan teman-teman transpuan dalam mengakses pekerjaan. Situasi kerja yang rentan ini akhirnya membuat mereka tak nyaman dalam bekerja dan rentan terhadap pelecehan sehingga mempengaruhi produktivitas.

Akibat dari diskriminasi ini, tak heran jika pekerjaan yang bisa diakses oleh teman-teman transpuan menjadi terbatas. Akibatnya, tak sedikit dari mereka yang hidup pada tingkat ekonomi lemah karena hidup dengan stigma dan diskriminasi 

(Foto: Youtube)

Tika Adriana,  jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!