Rentan Kekerasan Seksual, Penuhi Hak Bahasa Isyarat Bagi Disable Tuli

Tahukah kamu jika tanggal 23-29 September seluruh dunia memperingati Hari Bahasa Isyarat Internasional dan Pekan Tuli? Komnas Perempuan dalam Perayaan Pekan Tuli dan Hari Bahasa Isyarat Internasional 2020  menyerukan dan mendorong semua pihak untuk memenuhi hak berbahasa isyarat bagi warga negara disable tuli dan pengguna bahasa isyarat sebagai bentuk pemenuhan hak konstitusional dan hak asasi manusia.

Tim Konde.co

Pekan Tuli Internasional dirayakan pada minggu terakhir September setiap tahunnya secara global untuk memperingati Kongres Federasi Tuli (World Deaf Federation) pertama pada 1958 di Roma

Tujuan peringatan ini adalah untuk mempromosikan hak-hak asasi penyandang tuli, penyediaan platform bagi penyandang tuli untuk memperdengarkan suara-suara mereka. Sejak 2018, 

Pekan Internasional Tuli dirayakan berbarengan dengan Hari Tuli Internasional oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk  mempromosikan identitas bahasa dan keragaman kultural komunitas tuli dan pengguna bahasa isyarat lainnya, dan bersama organisasi-organisasi penyandang tuli mempromosikan bahasa isyarat kepada para pemimpin lokal, nasional  dan global.

Pekan Tuli Internasional 2020 bertema “Bahasa Isyarat Bagi Semua” dan dirayakan bersama Federasi Tuli Sedunia. Seruan difokuskan pada hak berbahasa isyarat bagi penyandang tuli dan pengguna bahasa isyarat. 

Menurut Federasi Tuli, jumlah penyandang tuli di seluruh dunia mencapai 72 juta orang, 80 persen tinggal di negara berkembang dengan 300 bahasa isyarat  berbeda. 

Dalam pernyataan pers, Komnas Perempuan menulis, di Indonesia, jumlah penyandang tuli berjumlah 223.655 orang dan bisu tuli 73.560 orang dari data Susesnas tahun 2012. 

Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Maryke Hutabarat menyatakan bahwa Komnas Perempuan memberikan perhatian khusus terhadap pemenuhan hak bahasa isyarat ini mengingat bahasa penting bagi pemenuhan hak-hak asasi lainnya. 

Kajian dan pantauan Komnas Perempuan bersama organisasi-organisasi tuli di Indonesia mencatat,  perempuan dan anak perempuan tuli lebih rentan mengalami kekerasan termasuk kekerasan seksual dibanding dengan perempuan  umumnya. 

“Salah satu hambatan penghapusan kekerasan terhadap perempuan tuli adalah bahasa isyarat bagi perempuan dan anak perempuan tuli. Mayoritas perempuan tuli tidak dibekali pengetahuan bahasa isyarat bahkan juga Pendidikan,” kata Rainy Maryke Hutabarat

Hal ini secara tersirat diakui Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 yang menyatakan, “Sebagian besar penyandang disabilitas hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan atau miskin disebabkan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitan dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas.” 

Ketidaksiapan keluarga menyikapi anggotanya penyandang tuli merupakan salah satu hambatan  dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan tuli.  

“Di sisi lain, ketersediaan penerjemah bahasa isyarat di sekolah-sekolah juga masih terbatas. Tanpa kemampuan berbahasa isyarat, sulit bagi perempuan dan anak perempuan tuli korban kekerasan untuk mengakses layanan dan keadilan.  Akibatnya, hak-haknya  atas informasi dan pengetahuan khususnya kesehatan reproduksi tak terpenuhi. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi penting bagi pencegahan kekerasan seksual.”  

Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad juga menyatakan bahwa hambatan  berbahasa isyarat dihadapi perempuan dan anak perempuan tuli pada hampir semua tahapan dalam mengakses layanan dan keadilan. 

“Mulai dari keluarga yang merasa malu dan memandang perempuan dan anak perempuan tuli sebagai aseksual, penyedia layanan yang kapasitasnya terbatas untuk menyediakan petugas penerjemah,  minimnya ketersediaan layanan konseling, aparat penegak hukum yang tidak memahami kebutuhan khusus penyandang tuli hingga stigma negatif masyarakat yang memandang perempuan  dan anak perempuan tuli  sebagai  insan cacat yang tak memiliki hak-hak asasi manusia seutuhnya,” kata Bahrul Fuad

Hak berbahasa isyarat bagi perempuan dan anak perempuan  tuli merupakan hak-hak asasi yang dijamin oleh Konstitusi Republik Indonesia, perundang-undangan nasional dan konvensi-konvensi HAM internasional seperti dalam UU HAM, Konvensi anti Diskriminasi Perempuan CEDAW, UU tentang penyandang disabilitas, juga hak berbahasa isyarat dalam UU Penyiaran

Menyambut Pekan Tuli Internasional dan Pekan Bahasa Isyarat Tahun 2020, Komnas Perempuan selaku mekanisme hak-hak asasi dengan mandat khusus perempuan kemudian merekomendasikan agar DPR RI mengintegrasikan hak-hak penyandang tuli termasuk perempuan dan anak perempuan tuli yang dijamin Konsitusi RI dalam perundang-undangan nasional yang akan dibentuk.

Lalu pada Presiden agar mendorong sinergi lintas untuk pemenuhan hak berbahasa isyarat di lembaga-lembaga perintahan mulai dari pusat hingga daerah-daerah seturut mandate UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas

“Selanjutnya juga pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Perempuan RI agar memperkuat kapasitas penyedia layanan  dalam hal ini penerjemah bahasa isyarat dan menggiatkan literasi tuli bagi keluarga dengan anggota penyandang tuli masyarakat. Dan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI agar mendorong Pendidikan Inklusi dengan menyediakan penerjemah bahasa isyarat di lembaga-lembaga pendidikan di Tanah Air,” ujar Bahrul Fuad

Pada Komisi Penyiaran Indonesia agar mendorong stasiun-strasiun televisi non pemerintah menyediakan penerjemah bahasa isyarat untuk pemenuhan hak atas informasi bagi pemirsa penyandang tuli, pada Pemerintah Daerah agar melakukan harmonisasi kebijakan-kebijakan daerah selaras UU No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.Dan pada lembaga-lembaga agama, organisasi masyarakat dan organisasi masyarakat sipil agar turut-serta dalam pemenuhan hak berbahasa isyarat bagi umatnya yang tuli

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!