11 Aktivis Perempuan Raih Penghargaan Perempuan Pembela HAM 2020

11 aktivis perempuan raih penghargaan perempuan pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM) 2020. Penghargaan ini diberikan oleh Komnas Perempuan dalam ulangtahun Komnas Perempuan ke- 22 pada 28 Oktober 2020. Para aktivis perempuan ini adalah mereka yang selama hidupnya banyak berjuang untuk perempuan, menjadi survivor, pendamping korban dan para aktivis yang memperjuangkan perdamaian dan keberagaman

11 perempuan tersebut antaralain Estu Fanani (wafat, 2020), dr. Ratih Purwarini (Wafat, 2020), Rosniati (Wafat, 2020), Nurhidayah Arsyad (wafat, 2019), Ibu Den Upe Rambelayuk (Wafat di Toraja, Maret 2019), Lily Dorianty Purba (Wafat, 9 Februari 2019), Mama yusan yeblo (Wafat, 2019), Tapiomas Ihromi Simatupang (wafat, 2018), Sri Sulistyawaty (Wafat, 2018), Cut Risma Aini (Wafat, 2018), Christina Sumarmiaty (Wafat, 2019) 

Tribute ini adalah tribute untuk perempuan pembela HAM atau Women Human Right defenders/ WHRD yang sudah berpulang karena selama hidupnya sudah berjuang bagi perempuan untuk lepas dari kekerasan dan diskriminasi. Siapa sajakah mereka?

Estu Fanani

Estu Fanani adalah salah satu founder Konde.co. Ia banyak dikenal sebagai aktivis pembela hak perempuan sejak bergabung dengan LBH APIK  sejak tahun 2002-2010 hingga sebagai Direktur LBH APIK Jakarta. Setelah di LBH APIK, Estu kemudian bekerja sebagai Koordinator Cedaw Working Group Indonesia (CWGI) sejak tahun 2012-2016, menjadi peneliti di Semerlak Cerlang Nusa, di Kalyanamitra, dan juga di Pantau serta di Lembaga yang memperjuangkan hak para disable, YAPESDI. Terakhir, Estu juga menjadi ketua Koperasi untuk perempuan, Komunitas Tanah Baru. Estu Fanani berada di balik panjangnya advokasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, 2 hal berat yang lama diperjuangkannya.

Ratih Purwani

Ratih Purwarini adalah salah satu dokter yang gugur di garis terdepan saat melawan Covid-19. Tidak hanya kiprahnya sebagai dokter yang berani menghadapi wabah global, namun juga dedikasinya bagi perempuan korban kekerasan. Ratih menjadi relawan di Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sejak 2014 sampai 2017. Kemudian ia mendirikan Akara Perempuan, sebuah lembaga layanan bagi para perempuan korban kekerasan. Diakhir hayatnya, Dokter Ratih masih menjabat sebagai Direktur RS Duta Indah Jakarta Utara dan sebagai anggota IDI Cabang Jakarta Timur.

Lily Dorianti Purba

Lily Dorianty Purba menjabat sebagai Perwakilan Indonesia di ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC). Lily juga konsultan gender yang banyak bekerja di badan pembangunan internasional di Indonesia untuk memberikan nasihat teknis tentang kesetaraan gender untuk Program dan Proyek Pembangunan Negara untuk berbagai isu. Dia telah bekerja selama lebih dari 25 tahun di lapangan di Indonesia. Latar belakang pekerjaannya meliputi kesetaraan gender, perempuan dan hak asasi manusia, pemberdayaan masyarakat dan advokasi. Lily lulusan Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Indonesia pada tahun 1985 dan gelar master dalam Pembangunan dan Gender di University of East Anglia, di Inggris (1999), yang membawanya bekerja sebagai konsultan gender organisasi donor internasional dan LSM nasional yang berbeda. Dia membantu banyak orang organisasi internasional dan nasional untuk menilai, memantau dan mengevaluasi mereka proyek pengembangan.

Yusan Yeblo

Yusan Yeblo adalah aktivis perempuan yang berjuang untuk hak para perempuan di Papua.  Ia juga dikenal sebagai aktivis perdamaian. Sebelumnya Yusan Yeblo  pernah menjadi anggota MRP Papua Barat, Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), 2004-2007, Presidium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia, 1998-2004, Anggota Forum Kerja Sama (Foker) LSM Irian Jaya, Anggota Pendiri Forum Kerja Sama Masyarakat Irian Jaya (Foreri), Wakil Ketua Solidaritas Perempuan Papua 2007-2018, Badan Penasihat YAHAMAK, Mantan Direktur Yayasan Kelompok Kerja Wanita (KKW) Irian Jaya, mantan Anggota Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa, khususnya mendampingi kaum perempuan yang bermasalah sejak 1994 dan mantan Koordinator Jaringan Kerja Sama Kesehatan Perempuan dan Anak Kawasan Indonesia Timur (JKPIT).

Yusan Yeblo meraih penghargaan sebagai perempuan pegiat perdamaian pada tahun 2017. Penghargaan tersebut diberikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 

Sri Sulistyawati

Sri Sulistyawati adalah aktivis dan korban HAM yang pernah menjadi jurnalis. Ia banyak menuliskan kondisi ekonomi dan sosial politik di Indonesia. Sri bekerja sebagai jurnalis sambil kuliah dan menjadi aktivis. Karir pertamanya dimulainya ketika ia bekerja di Harian Ekonomi Nasional dan Suluh Indonesia milik Partai Nasional Indonesia (PNI). Disanalah ia kemudian menjadi dekat dan banyak berbincang, melakukan wawancara dengan Presiden Sukarno.

Saat-saat berikutnya adalah merupakan saat yang buruk bagi Sri, karena ia kemudian dicari dan dipenjara tanpa alasan. Sri dipenjara di Bukit Duri selama 11,5 tahun hingga 25 April 1979 baru dilepaskan. Hari-hari setelah dalam penjara itulah hari-hari penuh dengan kekerasan, intimidasi dan diskriminasi yang tak pernah lepas dari hidupnya. Hingga akhir hidupnya Sri berjuang untuk kelompok minoritas korban HAM di Indonesia

Tapi Omas Ihromi

Tapi Omas adalah sosok perempuan antropolog Indonesia asal Pemantangsiantar yang lahir pada tanggal 02 April 1930. Dikutip dari Merdeka.com, walau dari latar belakang keluarga sederhana, Omas tetap bisa menuntut ilmu. Kesempatan mulai terbuka lebar ketika melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 1958. Pada saat itu, sebelumnya Omas juga berkesempatan mengajar di Taman Kanak Kanak, Sekolah Dasar serta Sekolah Menengah Pertama. Setelah kelulusan Omas dari Universitas Indonesia, Omas juga mendapat kesempatan belajar di Universitas Cornell dengan gelar M.A. Setelah kelulusan dari Universitas Cornell, Omas mengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia serta mendapat gelar Doktor di bidang antropologi pada tahun 1978. Omas menjadi pakar hukum adat yang membela adat istiadat Indonesia. Disamping itu Omas juga aktif dalam membela kedudukan perempuan dalam masyarakat Indonesia dengan ikut berpartisipasi mendirikan pusat kajian perempuan di Universitas Indonesia pada tahun 1979.

Banyak pula karya karya tulis Omas yang menulis tentang adat istiadat dan peranan perempuan Indonesia, diantaranya Antropologi sosial dan budaya pada tahun 1963, peranan dan kedudukan perempuan Indonesia pada tahun 1983, dan lain lain

Rosniati 

(Wafat 2020) Rosniati yang kerap disapa Nia ini, merupakan Perempuan Pembela HAM yang berasal dari Palu, Sulawesi Tengah. Semasa kuliah Nia aktif di dalam berbagai kegiatan sosial. Nia memilih jalan perjuangan untuk hak-hak perempuan dengan bergabung sebagai anggota Solidaritas Perempuan (SP) Palu pada 2007. Nia menjabat sebagai Bendahara SP Palu selama dua periode, hingga hingga akhirnya Nia memutuskan pindah ke Jakarta dan menjabat sebagai Bendahara Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan tahun 2015 hingga 2019. Selain itu, Nia juga merupakan anggota Dewan Pengawas Nasional SP sejak tahun 2019. Sepanjang hidupnya, Nia dikenal sebagai pribadi yang gigih dan keberpihakannya terhadap perempuan, terutama mereka yang tertindas. Bersama Solidaritas Perempuan, Nia aktif menyuarakan hak-hak perempuan, seperti perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan buruh migran, perempuan adat, perempuan miskin kota, isu lingkungan, serta isu keberagaman. Nia juga dikenal sebagai orang yang supel dan luwes berteman dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Dan diakhir 2019, Nia mulai berjuang melawan kanker payudara yang dideritanya, hingga akhirnya Tuhan memanggil Nia pada September 2020, meninggalkan keluarga,  rekan-rekan, dan kawan-kawan seperjuangan yang Ia cintai dan sangat mencintainya

Nurhidayah Arsyad 

(Wafat, 2019), Nurhidayah Arsyad, lahir di Sumbawa tahun 1975. Sejak mahasiswa Nur dikenal sebagai aktivis dan aktif di Unit Penerbitan dan Penulisan Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia dan Kohati di Makassar dan bergabung bersama Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP) Sulawesi Selatan. Nur hijrah ke Jakarta pada tahun 2002 dan memulai aktivitasnya sebagai jurnalis dan melajutkan perjuangannya di dunia gerakan perempuan. Nur merupakan anggota dan Pengurus Solidaritas Perempuan Jabotabek selama 10 tahun. Kemudian bekerja untuk isu air dan perempuan di Kruha sebuah Koalisi Warga yang melakukan citizen lawsuite atas swastanisasi air bersih tahun 2015 kepada pemerintah dan perusahaan swasta, PALYJA dan gugatan dimenangkan oleh warga tahun 2017 dengan keputusan Mahkamah Agung bahwa privatisasi air di Jakarta merupakan bentuk perbuatan melawan hukum. Nurhidayah kemudian bekerja di Sajogyo Institut untuk isu perempuan dan agraria dan sebagai Ketua Pendidikan dan Pengorganisasian Nelayan Perempuan DPP  Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) saat meninggal dunia di tahun 2019. KNTI merupakan mitra kerja Komnas Perempuan khususnya isu sumber daya alam. Berkat kiprah bersama rekan-rekannya di KNTI, menghantar UNDP Indonesia memperoleh penghargaan Gold Gender Equality Seal. Dimana Indonesia sebagai negara pertama di kawasan Asia Pasifik yang menerima Gold Seal.

Den Upe Rambelayuk 

(Wafat, Maret 2019) Den Upa Rombelayuk, wafat pada Maret 2019 secara tiba-tiba di Toraja, Sulawesi Selatan dalam usia 74 setelah merasa sesak dan kemudian drop. Ibu Den merupakan Koordinator Dewan AMAN periode 1999-2003, Anggota DAMANNAS 2003-2012 dan komunitas adatnya tergabung di BPH AMAN Toraja. Perjuangan Ibu Den Upa membentuk organisasi Masyarakat Adat telah dilakoni sejak tahun 80an. Ibu Den turut mengawal lahirnya organisasi masyarakat adat terbesar di Indonesia, AMAN, di tahun 1999. Beliau juga  aktif di dunia gerakan perempuan Sulawesi Selatan. Pernah menjabat sebagai koordinator penelitian wilayah Toraja tentang kekerasan terhadap perempuan di ruang publik, kerjasama dengan PSKK UGM dan FPMP Sulawesi Selatan dan sebagai koordinator lapangan pendampingan kesehatan reproduksi perempuan di Toraja bersama YLK (Yayasan Lembaga Konsumen) Sulawesi Selatan atas dukungan dana Ford Foundation.

Cut Risma Aini 

(Wafat, 2018) “Di Aceh, isu kepemimpinan perempuan adalah isu yang sangat penting, karena ada banyak aturan atau kebijakan yang membatasi perempuan untuk mengembangkan diri dan dapat memimpin dirinya, kelompok atau komunitas. (Cut Risma Aini, sumber: perempuanmemimpin.com)” Cut Risma Aini, lahir pada 20 September 1972. Selama hidupnya, Cut Risma aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam berbagai konteks. Bersama Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh, dia aktif mengadvokasi hak perempuan dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, hingga memperjuangkan hak perempuan dalam ruang publik dan demokrasi. Cut Risma pernah menjadi Kepala Divisi Penguatan Organisasi Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan sejak 2004 – 2006 dan kembali ke Aceh untuk memperkuat perempuan korban gempa dan tsunami. Cut Risma Aini salah satu anggota SP Aceh yang aktif dan  menjadi Ketua Badan Eksekutif SP Aceh pada 2011-2014. Cut Risma Aini terakhir menjadi anggota Dewan Pengawas Komunitas SP Aceh sejak Desember 2017 hingga akhir hidupnya.

Christina Sumarmiyati 

(Wafat, 2019) Christina Sumarmiyati wafat 2019 dalam usia 73 tahun. Beliau merupakan perempuan pembela HAM yang menjadi salah satu korban kekerasan seksual dan penganiayaan oleh Polisi Militer tahun 1967. Mbah mamik ditangkap dan disiksa dalam tahanan agar mengakui diri sebagai anggota Partai Komunis. Padahal kiprahnya di dunia gerakan perempuan sangatlah mulia. Beliau menjadi pelakon dalam pertunjukan ketoprak agar dapat menyampaikan pesan emansipasi perempuan. Sejak usia remaja, beliau telah aktif berorganisasi, salah satunya organisasi Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), dan menjadi koordinator tingkat kabupaten. Salah satu kerja mulia organisasi ini adalah pemberantasan buta huruf dan merelakan rumahnya menjadi tempat bersekolah. Ibu Christina Sumarmiyati atau disapa Mbah Mamik menjalani hidup dalam ketakutan di penjara Wirogunan. Berbagai upaya yang dilakukan oleh tentara untuk melakukan kekerasan seksual pada Mba Mamik atau tahanan lainnya. Barulah lega setelah dipindahkan ke penjara perempuan Bulu di sdemarang tahun 1976. “Disini lebih tentram karena petugas penjara semuanya perempuan, tidak ada kekhawatiran diperkosa”, uangkapnya. Beliau mendapat kebebasan dari perjuangan tim Amnesty Internasional tanggal 27 September 1978. Meski berada di dunia bebas, namun stigma dan pembatasan hak di zaman orde baru dirasakannya beserta keluarganya. Setelah menikah, Mbah Mamik berjualan, dan saat usahanya sudah berkembang, beliau mencari kawan-kawan mantan tahanan politik untuk saling menguatkan. Beliau aktif di berbagai kegiatan setelah runtuhnya rezim orde baru, dan tahun 2015 beliau menghadiri International People’s Tribunal 65 di Belanda. Beliau memberi kesaksian pilu yang hingga saat ini diabaikan oleh pemerintah.

Dengan segala semangat dan keterbatasan mereka berjuang untuk perempuan agar lepas dari kekerasan dan diskriminasi di Indonesia

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!