3 Jurnalis Perempuan Pers Mahasiswa Menjadi Korban Pelecehan Aksi UU Cipta Kerja

Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mencatat, bahwa aparat kepolisian adalah institusi pelaku kekerasan jurnalis pada aksi menolak Undang-Undang UU Omnibus Law Cipta Kerja. Dari 39 jurnalis yang menjadi korban kekerasan polisi ini, 3 diantaranya adalah perempuan jurnalis yang aktif di pers mahasiswa.

Tim Konde.co

Mona Ervita dari LBH Pers mencatat penangkapan terhadap jurnalis pers mahasiswa yang terjadi di Bandung, Tasikmalaya dan Jogjakarta.

Dari puluhan pers mahasiswa yang ditangkap ini, 3 diantaranya adalah perempuan jurnalis pers mahasiswa. Ada yang menyatakan trauma karena penangkapan ini, ada yang menyatakan mendapatkan cat calling dari polisi. 

Mona Ervita menyatakan kebanyakan jurnalis pers mahasiswa ini ditangkap ketika melakukan peliputan di Jakarta pada 8 Oktober 2020, tiba-tiba saja didekati polisi dan dibawa ke Monas dan kemudian dibawa ke Polda Metro Jaya dan ditahan disana

Dalam kasus ini, pers mahasiswa minim akses untuk pendampingan hukum, Mona Ervita melihat ini ketika dalam proses pemeriksaan BAP di kepolisian

“Kami takut jika ada intimidasi, kriminalisasi dan penyiksaan pada mereka. Walaupun sudah kami dampingi, namun kami tidak dapat akses untuk mendampingi ketika mereka menuliskan Berita Acara Pemeriksaan/ BAP. Ada kriminalisasi yang mengarah pada UU ITE.”

Sekjend Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Revolusi Reza mencatat setidaknya ada 38 jurnalis yang menjadi korban kekerasan dalam aksi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja yang dilakukan sejak tanggal 7-14 Oktober 2020. 38 jurnalis tersebut adalah jurnalis di media mainstream dan pers mahasiswa. 

Kekerasan tersebut antaralain perampasan hasil liputan, intimidasi, perlakukan kekerasan, sedangkan yang ditahan dan ditangkap sebanyak 7 orang. Hal ini disampaikan KKJ dalam konferensi pers 14 Oktober 2020 melalui daring

“Ini terjadi di banyak kota, di Jakarta ada 8 kasus dan merupakan kasus paling banyak, yang lainnya Surabaya, Lampung, dan beberapa kota lain.  Seluruh kekerasan ini dilakukan oleh aparat kepolisian, mengapa polisi melakukan kekerasan terhadap jurnalis? Kami mengutuk keras kasus ini dan ini harus tetap diusut dengan undang-undang yang berlaku. Walaupun kami skeptis karena aksi kekerasan yang dilakukan polisi tak pernah diusut tuntas.”

Ikatan Jurnalis Televisi/ IJTI juga mempertanyakan mengapa jurnalis yang melakukan tugas ke lapangan mendapatkan kekerasan? Karena menurut IJTI, penyampaian unjuk rasa adalah hak asasi warga negara dan jurnalis setiap melakukan peliputan atau bekerja di bawah undang-undang. 

Usman Hamid, Direktur Amnesty Internasional Indonesia menyatakan, kekerasan dari polisi ini merupakan situasi yang mengkuatirkan ketika polisi melakukan pendekatan represif terhadap masyarakat yang melakukan aksi, dan sekarang kekerasannya menimpa para jurnalis

“Pemerintah harus memperhatikan dan melindungi jurnalis dari perilaku ketidaksewenang-wenangan karena melakukan ini pada jurnalis dan peserta aksi sama saja menebar ketakutan, ditangkap tanpa memberikan informasi pada keluarga, padahal negara harus melindungi mereka.”

Muhammad Isnur, aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/ YLBHI mendesak polisi untuk segera mengakhiri tindak kekerasan karena ini tidak hanya melanggar etik namun juga melanggar ketentuan pidana. Jika diusut tuntas, polisi harus disidangkan dalam pengadilan umum. 

“Aksi di Jakarta berlangsung damai sampai sore di patung kuda, tiba-tiba ada gas air mata. Mengapa terjadi seperti ini? Ini penting sekali karena polisi adalah lembaga negara yang diberikan anggaran dan kewenangan, namun melakukan tindakan di luar hukum. Ini kejadiannya masif dan ada di banyak tempat, apakah ini direncakan secara terstruktur dan berhubungan dengan telegram Kapolri sebelum aksi unjuk rasa?.”

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/ YLBHI, Asfinawati dalam konferensi pers pasca aksi 8 Oktober 2020 menyatakan bahwa aksi brutal yang dilakukan polisi ini dilakukan pasca ada telegram dari Kapolri yang meminta polisi di lapangan untuk menghalangi, mencegah peserta aksi dengan melakukan penangkapan dan pengamanan sebelum aksi.

Asfinawati mengatakan tindakan yang dilakukan polisi ini tidak hanya terjadi di Jabodetabek namun juga di 18 provinsi. 

Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) adalah komite yang terdiri dari sejumlah organisasi untuk media dan jurnalis untuk stop kekerasan. Komite Keselamatan Jurnalis, secara khusus bekerja untuk mengadvokasi kasus kekerasan terhadap jurnalis. 

Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019. Komite  beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). 

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!