Antara BTS dan The Beatles: Selera Musik Kita Ditentukan Laki-Laki

Kenapa ya, persoalan selera penonton atas musik saja harus ditentukan oleh laki-laki?. Jika penyukanya adalah para laki-laki, maka ini akan mengubah persepsi bahwa musik tersebut layak disukai. Namun ketika perempuan yang menyukai, maka perempuan dianggap tak berselera sekelas laki-laki  

Jasmine Floretta V.D- Konde.co

Sebagai pengguna twitter yang aktif sejak tahun 2009, saya adalah satu dari jutaan orang yang setiap harinya menemukan berbagai perbincangan panas yang menarik untuk disimak, mulai dari utas mengenai isu terhangat yang terjadi di belahan dunia lain sampai utas mengenai pengalaman horor seseorang. 

Salah satu perbincangan panas yang kerap menarik perhatian saya tidak lain tidak bukan adalah: ketika orang Indonesia berbicara tentang Boyband BTS yang namanya sejak tahun 2017 perlahan–lahan mulai naik di industri musik barat. 

Pada tanggal 3 Juni tahun lalu (2019), saya menyaksikan sebuah perbincangan panas antara ARMY (fans BTS) dan para locals (pengguna twitter yang tidak menggunakan akunnya sebagai akun penggemar namun murni sebagai akun pribadinya). 

Perbincangan panas ini bermula dari unggahan dari akun official Hai Magazine yang berbunyi “Disebut The Beatles Abad 21, BTS Mau Tetap Dikenal Sebagai Bangtan Boys.”

Di dalam unggahan tersebut, Hai Magazine menambahkan tautan artikel untuk mengelaborasi judul yang ada lebih lanjut. Namun, layaknya kebanyakan masyarakat Indonesia, para locals meninggalkan banyak komentar-komentar hinaan dan ejekan dalam merespon unggahan tersebut murni dari judulnya saja dan tidak mau repot-repot mencari tahu siapa yang memberikan mereka julukan The Beatles Abad 21 yang sebenarnya telah dicantumkan di dalam tautan artikel yang ada.

Komentar-komentar dari unggahan Hai Magazine ini dipenuhi locals yang merasa tidak terima bahwa band musik legenda semacam The Beatles disamakan dengan sekumpulan laki-laki yang menurut mereka hanya mengandalkan penampilan femininnya dan tariannya dalam bermusik. 

“WTF? Big NO”

“Sampaaaaah” 

“Halu”

 “Harusnya fans The Beatles pada ngamuk. Masa disamain sama plastik joget-joget.”

 Ya begitulah kira-kira ujaran yang penuh dengan kebencian, hinaan, dan ejekan yang akan kalian lihat dari para locals yang meninggalkan komentarnya di dalam unggahan Hai Magazine tersebut. 

Melihat komentar-komentar yang ditinggalkan locals di bawah unggahan tersebut, sayapun dibuat merenung. Di dalam benak saya secara berulang kali berputar pertanyaan yang sama, mengapa respon orang-orang terhadap BTS begitu penuh dengan kebencian? Dan mengapa The Beatles begitu diagung-agungkan? 

Dari pertanyaan tersebut, saya teringat oleh suatu fenomena yang memegang peranan kunci dari bagaimana The Beatles mendapatkan makhkotanya dan disebut sebagai legenda musik dunia. 

Adalah Mentrification. Tentunya Mentrification ini bukan merupakan sebuah istilah yang umum didengar oleh masyarakat luas, bahkan untuk akademisi sendiri istilah ini masih sangat asing. Melalui artikel yang ditulis Van Badham (seorang penulis dan komentator sosial berkebangsaan Australia) dalam The Guardian, istilah ini pertama kali dikemukakan oleh pengguna Tumblr @thelilithnoir dalam menjelaskan sebuah proses di mana pencapaian perempuan dalam menciptakan atau mengembangkan sesuatu hal ‘diambil’ paksa oleh laki-laki dan laki-lakilah yang pada akhirnya yang mendapatkan segala penghargaan dan apresiasinya. 

@thelilithnoir menciptakan istilah mentrification sebagai rasa kecewa dan dukanya atas kurangnya pengakuan yang seharusnya diberikan kepada perempuan sebagai aktor utama pembentukan budaya yang pada masa mendatang menjadi sangat populer dan ‘diagung-agungkan’ oleh masyarakat luas. 

Mentrification mencapai sebuah transformasi sebuah status yang setara dengan pengambilan paksa sejarah patrisipasi dan prestasi perempuan dan melekatkannya pada simbol phallus (kelamin laki-laki). Mentrification pun menjadi sebuah fenomena sosial di dalam masyarakat patriarkal di mana suatu hal menjadi begitu bernilai dan diterima sebagai sesuatu hal yang ‘layak’ diterima oleh mata publik ketika telah mendaparkan validasi dari laki-laki.

Lalu pertanyaan berikut pun muncul, seperti apa contoh nyata dari mentrification? Penerimaan Star Trek dan The Beatles sebagai bagian dari ikon budaya populer merupakan contoh nyata dari mentrification.  

Van Badham dalam artikel yang sama mengatakan bahwa Star Trek awalnya merupakan produk budaya yang banyak digandrungi oleh perempuan, terutama ibu rumah tangga. Star Trek pada awalnya penayangannya dianggap sebagai series fiksi ilmiah yang ringan, bahkan bisa dibilang ‘ecek-ecek’. Lalu ketika semakin banyak laki-laki yang menonton Star Trek dan mendapatkan ‘anggukan’ kepala dari mereka

Star Trek pun akhirnya berhenti dianggap sebagai series fiksi ilmiah yang ringan, yang ‘ecek-ecek’, dan tidak layak didisukai oleh ibu rumah tangga. Dalam hal ini StarTrek pun kemudian mulai dipandang sebagai ‘a serious nerd business’, sehingga perempuan pun diliyankan dengan cara dipaksa untuk keluar dari diskurus pembentukan dan perkembangan budaya. 

Apa yang terjadi pada Star Trek juga terjadi  pada penerimaan The Beatles di dalam masyarakat luas. The Beatles merupakan group band laki-laki dengan jumlah penggemar perempuan yang masif dengan remaja perempuan sebagai mayoritas demografinya. 

Barbara Ehrenreich, Elizabeth Hess dan Gloria Jacobs dalam jurnal akademik mereka mengungkapkan bahwa pada awal kemunculannyapun, The Beatles dianggap sebagai pembawa wabah dan Beatlemania (penggemar The Beatles) adalah kesengsaraan, sebuah ‘epidemi’ yang datang untuk merusak moral anak-anak perempuan dan menjauhkan mereka dari ‘purity’ (perempuan di dalam masyarakat patriarkal dituntut untuk memegang erat dan mengamalkan nilai-nilai feminitas seperti tidak boleh berbicara terlalu keras, berteriak, memperlihatkan antusiasmenya kepada publik, harus bersikap pasif dan lain-lain). 

Hal ini pun bisa dilihat dari bagaimana seorang kepala polisi Dublin menghakimi kehadiran The Beatles sebagai “semuanya berjalan seperti biasa sampai akhirnya mania berubah menjadi barbarisme”. 

Kritikus-kritikus musik pada awal kemunculan The Beatles pun melihat group band ini sebagai lelucon belaka dan yang menyukai group ini adalah sekumpulan monyet dungu. Kritikus-kritikus musik ini pun menilai The Beatles dan musik mereka yang ‘tidak karuan’ hanya akan merusak tatanan musik Barat dan peyebab dari gangguan mental para remaja kala itu. 

Dari kilas balik awal kemunculan Star Trek dan The Beatles, pertanyaan pun kembali muncul. Sejak kapan Star Trek mulai dikenal dan diterima sebagai series legendaris bukan sebagai series ‘ecek-ecek’ yang digandrungi oleh ibu-ibu rumah tangga? Sejak kapan The Beatles mulai dikenal dan diterima sebagai legenda musik dunia bukan sebagai boyband konyol yang disukai gadis-gadis remaja? Jawabannya sangat mudah. Semuanya dikenal dan diberikan predikat sebagai legenda atau ikon budaya ketika laki-laki memutuskan bahwa mereka menyukainya dan memberikan validasi mereka terhadap sesuatu yang perempuan minati sebelumnya. 

Mentrification pun pada akhirnya adalah tentang bagaimana laki-laki melanggengkan struktur kekuasaan mereka di dalam tatanan sosial masyarakat dengan meliyankan perempuan di bawah supermasi laki-laki. 

Melalui pelanggengan struktur kekuasaan ini, laki-laki secara tradisional ‘menginjak-injak’ minat perempuan terhadap sesuatu dan memasang stigma atas mereka. Tidak mengherankan kemudian jika kalimat-kalimat kebencian pun dilontarkan kepada BTS dan ‘pengagungan’ diberikan sepihak kepada The Beatles dalam unggahan Hai Magazine. Hal ini dikarenakan masyarakat ‘dibuat’ menjadi buta akan sejarah keterlibatan aktif perempuan di dalam diskursus pembentukan budaya dan disaat bersamaan menghakimi antusiasme perempuan atas keterlibatan mereka di dalamnya.

(Foto: BTS, The Beatles dan Star Trek/ Wikipedia)

Jasmine Floretta V.D, A proud fangirl (BTS Army) dan pecinta kucing garis keras. Sedang menjalani studi S2 di Kajian Gender UI  dan memiliki minat mendalam pada kajian tentang penggemar dan isu terkait peran ibu

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!