Dengan Adanya UU Cipta Kerja, Dimana Perlindungan Untuk Buruh Migran?

 

Saat buruh migran belum selesai mempertahankan hak perlindungan melalui Mahkamah Konstitusi (MK), mereka harus menghadapi Omnibus Law UU Cipta Kerja. Kebijakan perlindungan buruh migran ini diuji pengusaha di Mahkamah Konstitusi dan digerus pemerintah lewat UU Cipta Kerja

Dewi Nova- Konde.co

Ini juga menjadi tanda bahwa hak perlindungan bagi buruh migran telah digerus UU Cipta Kerja yang tanpa melalui pembahasan publik, tiba-tiba telah mengubah UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. 

Jauh sebelum UU Cipta Kerja disahkan, tepatnya November 2019, gerakan buruh migran yang dilakukan Serikat Buruh Migran Indonesia  (SBMI) dan Migrant Care, sudah berjibaku mempertahankan sebagian hak buruh migran dalam UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). 

Perubahan itu terjadi ketika Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia Swasta (Aspataki) mengajukan permohonan pengujian materi UU PPMI ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor perkara 83/PPU-XVII/2019, pada 19 November 2019.

Asosiasi tersebut mengajukan uji pada tiga materi UU PPMI yang sebelumnya dalam UU tersebut menyebutkan memberikan perlindungan pada buruh migran 

Asosiasi pengusaha yang terdiri dari 142 anggota di bidang Perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPPTKIS) ini, memohonkan uji materi pasal tentang pengaturan izin usaha dan kewajiban deposito kepada negara, pemidanaan dan denda bila pengusaha menempatkan tenaga kerja tidak sesuai dengan perjanjian kerja atau kerugian lainnya, dan kepastian hukum bagi tenaga kerja yang ditempatkan tidak sesuai perjanjian. 

Menurut Aspataki, perbuatan yang dilakukan pihak yang memperkerjakan buruh migran harus ditanggung oleh pemohon. Hal ini jelas akan menguntungkan pengusaha

Padahal, gerakan buruh migran sudah bersusah payah melakukan advokasi dari UU perlindungan buruh migran sebelumnya yang berorientasi pada kepentingan pengusaha ke UU PPMI yang mulai berorientasi pada perlindungan buruh migran. Walaupun UU PPMI belum sepenuhnya melindungi hak-hak buruh migran, tetapi lebih melindungi dibanding UU sebelumnya.

Oleh karena itu, gerakan buruh migran menilai uji materi yang diajukan Aspataki ke MK merupakan ancaman bagi tercerabutnya kembali hak buruh migran yang sudah dengan susah payah mereka perjuangkan. Untuk itu, Migrant Care dan SBMI mengajukan permohonan sebagai pihak terkait kontra pemohon kepada Mahkamah Konstitusi terkait uji materi  tersebut.

Migrant CARE dan SBMI  memberikan beberapa catatan kepada Mahkamah Konstitusi. Pertama, Mahkamah Konstitusi harus menjalankan fungsi yang melekat pada wewenangnya sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) dan pelindung hak konstitutional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights) dalam menjamin hak konstitusional pekerja migran Indonesia atas pekerjaan yang layak, sebagaimana dijamin dalam pasal 28 D ayat 2 UUD 1945. Perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja juga diatur dalam ketentuan UU PPMI pasal 82 huruf (a) dan pasal 85 huruf (a).

Kedua, berdasarkan definisi Badan Perburuhan Dunia, ILO, pekerjaan layak atau decent work adalah pekerjaan yang dilakukan atas kemauan atau pilihan sendiri, berupah atau memberikan penghasilan yang cukup untuk membiayai hidup secara layak dan berharkat, serta terjamin keamanannya dan keselamatan fisik maupun psikologis. Jaminan kepastian hukum bagi seorang pekerja harus tertuang di dalam perjanjian kerja. Sehingga kesesuaian pekerjaan dengan perjanjian kerja merupakan salah satu syarat mutlak terwujudnya kerja layak.

Dengan demikian, ketika UU PPMI 2017 mengatur sanksi pidana yang berat terhadap pelanggaran perjanjian kerja sebagaimana pasal 82 huruf a dan 85 huruf (a) sudah sangat tepat. 

Oleh karena itu, segala upaya untuk menghapus atau merevisi dengan ketentuan hukum yang lebih ringan terhadap pasal-pasal di atas akan berdampak sangat buruk dalam perlindungan pekerja migran Indonesia. 

Sebagian besar pekerja migran Indonesia adalah perempuan yang sering mendapatkan tindakan sewenang-wenang pemberi kerja dan juga perusahaan pengirimnya. Ancaman pidana yang berat diharapkan dapat mencegah terjadinya praktik perdagangan orang yang sering dilakukan melalui modus pengiriman pekerja migran. 

Migrant Care dan SBMI tidak berharap Mahkamah Konstitusi turut membuka penyelesaian kasus perdagangan orang bagi pekerja Migran Indonesia.

Berbagai upaya dilakukan Migrant Care dan SBMI selama proses persidangan di MK, dari mulai menghadirkan saksi ahli hingga menghadirkan buruh migran penyintas trafficking dari kalangan perempuan PRT hingga laki-laki Anak Buah Kapal (ABK). Hal itu sebagai upaya betapa pentingnya mempertahankan perlindungan buruh migran pada proses penempatan dan kesesuaian antara perjanjian kerja dengan apa yang mereka kerjakan, serta pidana dan denda bagi pengusaha bila melanggar, guna menutup peluang terjadinya perdagangan orang. 

Hingga saat ini, Migrant Care dan SBMI sedang menunggu putusan MK atas uji materi yang diajukan Aspataki tersebut.

Ditelikung Lewat Omnibus Law

Belum usai perjuangan gerakan buruh migran di Mahkamah Konstitusi, mereka dikejutkan oleh konspirasi eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat. 

Pada 4 Oktober 2020, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia  menyampaikan 4 undang-undang yang ditambahkan ke pembahasan RUU Cipta Kerja, salah satunya UU PPMI. Kemudian UU Cipta Kerja yang memuat UU PPMI itu disahkan pada 5 Oktober 2020, hanya satu hari setelah pemberitahuan Kemenko.  

Artinya, masuknya UU PPMI ke dalam RUU Cipta Kerja tanpa melalui pembahasan terkait isu buruh migran di pemerintah dan DPR. 

Selain itu, pada draft  RUU Cipta Kerja dan naskah akademik yang dapat diakses publik di website DPR tidak ditemukan adanya  pembahasan terkait UU PPMI di tingkat draf. Dengan kata lain, secara prosedur masuknya UU PPMI ke dalam UU Cipta Kerja telah mengabaikan aspirasi buruh migran dan masyarakat sipil yang akan terdampak langsung atas disahkannya UU Cipta Kerja ini.

Dalam siaran persnya, SBMI memandang bahwa memasukkan UU PPMI ke dalam RUU Cipta Kerja cacat formil. Karena tidak memasukan UU PPMI ke dalam naskah akademik, akibatnya tidak diketahui tujuan dan dasar masuknya/diubahnya UU PPMI ke dalam RUU Cipta Kerja. 

Masuknya UU PPMI ke dalam RUU Cipta Kerja ini juga, telah mengabaikan asas kejelasan tujuan, kedayagunaan, dan kehasilgunaan, dan keterbukaan.

Selain memasukkan UU PPMI ke dalam UU Cipta Kerja, DPR RI telah mengubah beberapa pasal krusial tanpa konsultasi dengan buruh migran dan masyarakat sipil. Pengubahan itu antara lain, pengubahan pemberi Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja  Migran Indonesia (SIP3MI) dari Menteri Ketenagakerjaan menjadi pemerintah pusat (pasal 1, angka 16, UU Cipta Kerja). Hal itu  juga mengubah yang pada UU PPMI harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri beralih ke pemerintah pusat (pada UU Cipta Kerja).

Selanjutnya, kantor cabang Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) yang pada UU PPMI wajib terdaftar di pemerintah daerah provinsi menjadi cukup memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota pada pasal 53 UU Cipta Kerja. DPR RI juga menambahkan pasal 89 A pada UU Cipta Kerja terkait pengertian atau makna surat izin perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia menyesuaikan dengan ketentuan mengenai  perizinan berusaha. 

Pengubahan itu berakibat pada perubahan orientasi dari pasal-pasal tersebut, dari orientasi perlindungan buruh migran ke orientasi kemudahan perizinan, yang  kembali membuka peluang bagi tindak trafficking.

Menanggapi pengubahan dan penambahan pasal tersebut, SBMI melalui siaran persnya pada 7 Oktober  2020 menyampaikan: bahwa dengan dicabutnya kewenangan Kementerian Ketenagakerjaan dalam memberi izin kepada perusahaan penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI), dan digantikan oleh pemerintah pusat, justru mengacaukan tata kelola perizinan P3MI. 

Seharusnya Pemerintah dan DPR menyadari, bahwa hingga saat ini, masih terjadi tumpang tindih pengaturan terkait penerbitan izin perusahaan penempatan pekerja migran antara Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perdagangan.

Menurut SBMI pemberian izin P3MI yang diatur dalam Pasal 51 UU PPMI dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 10 tahun 2019  tentang Tata Cara Pemberian Izin P3MI sudah mengakomodasi syarat perizinan perusahaan di sektor penempatan pekerja yang membedakan perusahaan di sektor perdagangan. Tetapi UU Cipta kerja mengubah ketentuan pasal tersebut dengan mensyaratkan adanya perizinan berusaha yang diterbitkan oleh pemerintah pusat. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 21 UU Cipta Kerja, pemerintah pusat adalah Presiden RI dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara RI tahun 1945.

Selain itu, pada pasal 57 UU PPMI disyaratkan P3MI memperbaharui izin 5 tahun sekali. Salah satu syarat pembaharuan izin yaitu  rekomendasi Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).  Menurut SBMI, rekomendasi BP2MI itu cukup efektif, karena salah satu fungsi BP2MI sebagai pelaksana UU PPMI adalah melakukan pengawasan kinerja P3MI. Namun, UU Cipta Kerja menghilangkan peran BP2MI dalam memberikan rekomendasi, sehingga melemahkan mekanisme perizinan P3MI. Pasal 57 RUU Cipta Kerja hanya mensyaratkan pemberitahuan data P3MI dalam waktu 30 hari. Substansi pasal ini juga berisiko multitafsir, karena  tidak merumuskan secara tegas klausul “pemberitahuan data P3MI dalam waktu 30 hari”.

Ketentuan pasal 58 UU PPMI yang menyebutkan pencabutan surat izin P3MI (SIP3MI) oleh Menteri Ketenagakerjaan. Sementara dalam Pasal 51 RUU Cipta Kerja, surat izin P3MI dikeluarkan oleh pemerintah Pusat. Hal itu menimbulkan ketidakjelasan wewenang dalam pencabutan surat izin P3MI. Sementara, antara pasal 1 angka 9 dan  pasal 1 angka 16 RUU Cipta Kerja terdapat tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Kementerian Ketenagakerjaan. Menurut SBMI hal itu, akan melanggengkan carut marut tata kelola perizinan P3MI seperti yang terjadi selama ini.

Secara prinsip, bila permohonan uji materi Aspataki terhadap UU PPMI dikabulkan Mahkamah Konstitusi, yang semangatnya sejalan dengan pengubahan UU PPMI pada UU Cipta Kerja yaitu kemudahan izin usaha pengusaha dan semakin kompleksnya upaya buruh migran melindungi haknya, akan memberi jalan lapang bagi trafficking dan pelanggaran hubungan kerja lainnya. Bagi buruh migran perempuan undang-undang yang anti-buruh seperti itu akan memberi sekam pada api kejahatan seksual yang akan semakin membakar kemanusiaan mereka. Padahal sebagian besar buruh migran adalah perempuan dalam konsentrasi jenis pekerjaan yang belum diakui sebagai pekerja di banyak negara tujuan, yaitu PRT.

Siti Badriah, perempuan yang pernah bekerja sebagai buruh migran yang merupakan penyintas dari trafficking, mengajak publik untuk mendukung upaya Migrant Care dan SBMI sebagai kontra pemohon uji materi  UU PPMI di MK dan mendesak negara untuk membatalkan UU Cipta Kerja. 

“Secara prosedur memasukkan UU PPMI ke dalam UU Cipta Kerja melanggar UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam hal ini terkait partisipasi publik, karena tidak melibatkan buruh migran dan organisasi buruh migran,” ujarnya,  yang saat ini berprofesi advokat dan menjadi kuasa hukum pihak kontra pemohon –SBMI dan Migrant Care— atas uji materi yang diajukan Aspataki di Mahkamah Konstitusi.”

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Dewi Nova, Karya puisi, cerita, esai sosial, profil budayawan, hasil penelitian  dan naskah akademisnya terbit di media massa dan dalam bentuk buku. Pemilik usaha Warung Perempuan Kopi ini dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!