Emak Menolak: Relasi Pembelaan Ibu Pada Anaknya Yang Transpuan

Sebuah film berjudul “Emak Menolak” diluncurkan pada Oktober 2020. Film ini menawarkan sisi lain tentang relasi ibu kepada anaknya. Si ibu atau Emak melakukan pembelaan pada anak perempuannya yang transpuan, hal yang tak banyak dilakukan orangtua yang biasanya melakukan penolakan ketika anaknya LGBT. “Emak Menolak” memberikan tawaran yang lain pada publik

“Emangnya dia Tuhan? Kok tahu waria akan masuk neraka atau masuk surga? Itu kan hitungannya Allah yang di atas, kok ngomong begitu? Enggak boleh itu, namanya penghinaan. Kalau kita mau dihargai orang ya kita harus menghargai semua orang. Kan [transpuan] enggak merugikan orang lain,” kata Emak.

Itulah pernyataan Emak dalam film dokumenter berjudul “Emak Menolak”.

“Emak Menolak” merupakan film yang disutradarai oleh Anggun Pradesha. Film ini menampilkan hubungan harmonis antara Emak dan anaknya yaitu Anggun Pradesha.

Film ini menjadi khas di tengah banyaknya data yang menyebutkan bahwa keluarga adalah institusi yang banyak melakukan penolakan ketika anaknya adalah seorang Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender/ LGBT.

Keluarga merasa malu, sulit untuk menerima, bahkan ada yang mengasingkan anaknya. Namun dalam Emak Menolak, kita bisa melihat bagaimana Emak yang justru melakukan pembelaan pada anaknya. Film pendek yang diproduseri Anggun bersama Riska Carolina ini menawarkan sentuhan hangat Emak dan anak, dari percakapan, ngobrol di pantai yang menggambarkan penerimaan dan dukungan keduanya

“Kalau dipanggil bencong, waria ya gak papa….yang penting gak menyakiti, khan gak boleh itu,” kata Emak

Berasal dari 2 pulau berbeda, Emak dan anak ini mengobrol di sepanjang pantai Sanur yang terkena pandemi dan ngobrol soal hukum negara yang akan berakibat pada hidup anaknya

Pasal-pasal perzinahan, perbuatan cabul, dan penginjakan dalam Revisi KUHP secara tidak langsung telah mengkriminalisasi dan menstigmatisasi gender dan keberagaman seksual di Indonesia. Belum lagi ancaman terapi konversi dalam RUU Ketahanan Keluarga tetap dalam jadwal. Satu-satunya harapan saat ini terletak pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mengakomodasi perlindungan bagi semua orang dari kekerasan seksual tanpa kecuali.

Film pendek berdurasi 8 menit 29 detik ini menceritakan tentang penolakan seorang ibu terhadap rancangan aturan yang mengancam kehidupan anaknya yang transpuan.

Aturan yang dimaksud yakni Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/ KUHP dan Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga.

Dalam film tersebut, Emak kemudian banyak menceritakan tentang penilaian orang kebanyakan terhadap anaknya.

“Sekarang sudah enggak ada lagi yang punya pikiran jelek, malah bilang Anggun anak saya itu hebat, sudah bisa bawa jalan-jalan mamaknya ke luar kota. Sebagian masih bilang jelek, tapi yang orang-orang depan-depan rumah sudah baik, ya walaupun ada tetangga yang masih suka usil-usil,” tutur Emak.

Kehangatan antara Emak dan Anggun begitu terasa dalam film ini. Anggun juga selalu punya waktu untuk menjelaskan kepada Emak tentang konsensual dalam pelecehan seksual.

Selain itu Emak juga dengan tegas mengatakan kepada Anggun bahwa anaknya tak pernah menderita gangguan jiwa dan tak mau anaknya dipenjara karena alasan gender.

“Kenapa harus dipenjarakan, kan enggak merugikan orang?. Dia nyaman dengan pasangan masing-masing, mengapa harus ditangkap? Itu Emak Menolak. Mamak Merasa kalau anak Mamak dipenjara, ya rugi Mamaknya, enggak punya anak lagi,” ungkap Emak.

Ancaman Persekusi Transpuan pada RKUHP dan RUU Ketahanan Keluarga

Saat ini, nasib kelompok minoritas gender di Indonesia terancam dengan adanya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Rancangan aturan ini akan memperkeruh stigma dan diskriminasi bagi kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender/ LGBT di Indonesia.

Tertulis dalam situs Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara menuliskan tentang tentang pasal-pasal yang bisa berpengaruh terhadap kelompok minoritas seksual, seperti pasal 412 dan pasal 420.

“Hal itu dapat menyulitkan penegakan hukum di Indonesia dikarenakan antara pasal yang satu dengan yang lain conflict of norm (bertentangan). Contohnya pasal 412 tentang pelanggaran kesusilaan secara luas, yang juga menggunakan unsur di muka umum. Sedangkan pada pasal 420 tentang pasal cabul, juga memuat hal yang sama. Pada pasal penjelasan antara pasal 412 & 420 memiliki perbedaan walaupun sama-sama mengatur tentang kesusilaan di muka umum,” ujar Bivitri seperti tertulis dalam artikel berjudul “Sesat Pikir Pasal Cabul RKUHP: Dibutuhkan Kemanusiaan Dalam Pembahasannya”.

Ancaman lain dari negara terhadap kelompok minoritas gender yakni dengan adanya Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga. Seperti diberitakan Katadata.co.id, salah satu aturan kontroversial yakni Pasal 75 ayat 3 dan pasal 89, mereka menganggap kelompok LGBT adalah penyebab krisis keluarga. Mereka pun dikenai wajib lapor dan rehabilitasi jika RUU ini disahkan.

RKUHP dan RUU Ketahanan Keluarga tentu memperburuk kondisi kelompok minoritas seksual. Dalam catatan Seri Monitor dan Dokumentasi 2019 milik LBH Masyararakat, kelompok LGBT kerap mengalami penyerangan dan diskriminasi, bahkan berujung pada kriminalisasi. Hak-hak dasar kelompok LGBT pun susah didapatkan.

Pada masalah stigma terhadap kelompok LGBT misalnya, para pelaku persekusi dan diskriminasi sering menganggap bahwa LGBT tidak sesuai dengan norma di masyarakat Indonesia. Stigma ini muncul karena adanya konstruksi heteronormativitas.

Buntut dari stigma ini, kelompok LGBT pun menjadi susah dalam memperoleh akses pendidikan dan pekerjaan.

Seperti kata Anggun dalam film “Emak Menolak”, pendidikan yang rendah bagi kelompok LGBT pada akhirnya akan mempengaruhi pekerjaan yang bisa mereka akses. Padahal di lingkungan kerja, kelompok LGBT juga mendapatkan diskriminasi.

“Teman-teman transpuan kalau ada kerjaan lain, mereka juga punya (kemampuan), enggak usah ada di jalan. Sekarang kerja di kantor enggak bisa, pendidikan rendah, gimana?” tutur Anggun.

Jika RKUHP dan RUU Ketahanan Keluarga disahkan, selain kriminalisasi pada kelompok LGBT, kondisi ekonomi mereka juga akan semakin terpuruk.

Emak Menolak ‘adalah film kedua yang disutradarai oleh Anggun Pradesha setelah film‘ Emak dari Jambi ‘.

(Foto: Film “Emak Menolak”/ Youtube)

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!