Jangan Terjebak Iklan Yang Melanggengkan Stereotype Perempuan

 

Jangan terjebak dalam tayangan iklan! Iklan adalah salah satu media yang membuat kita bisa terjebak dalam konstruksi peran gender yang salah, seolah peran antara laki-laki dan perempuan tak bisa dipertukarkan. Iklan juga ikut melanggengkan insitusi motherhood. 

Jasmine Floretta V.D- Konde.co

Jika seorang perempuan belum menjadi seorang ibu, dirinya seolah bukanlah seorang perempuan sejati. Inilah jebakan yang seringkali terjadi pada iklan

Kita lihat saja iklan-iklan sabun cuci yang tayang sejak tahun 1970an-2000an, laki-laki kerap berperan sebagai penyuluh yang mana mereka memberikan informasi kepada ibu-ibu di perkampungan mengenai adanya deterjen yang bagus. 

Atau di dalam iklan lainnya, semua ahli mesin cuci yang kerap merekomendasikan merek deterjen tertentu adalah laki-laki. 

Pada tanggal 3 September 2020, peneliti media Roy Thaniago melalui akun twitternya mengunggah sebuah utas yang mengangkat sebuah topik yang menarik yaitu tentang: bagaimana representasi keluarga di media massa terutama iklan dalam mensosialisasikan pemahaman masyarakat mengenai peran gender. 

Melalui utasnya, secara sederhana Roy Thaniago menjelaskan bahwa iklan sebagai produk budaya telah sejak lama mensosialisasikan pada kita mengenai peran gender kaku antara laki-laki dan perempuan melalui absennya sosok ayah dalam ranah domestik. 

Di dalam berbagai iklan-iklan di televisi, Roy Thaniago menggarisbawahi adanya penekanan peran perempuan sebagai ibu, di mana perempuan menjadi satu-satunya sosok yang bertanggung jawab penuh atas perkembangan dan kesehatan anak-anak mereka juga segala pekerjaan domestik yang ada seperti menyuci piring, baju, atau memasak. Di lain pihak, sosok laki-laki selaku ayah selalu absen di dalam iklan-iklan ini. Jika ada kehadiran laki-laki di dalam iklan-iklan tersebut, maka mereka berperan sebagai  penyuluh atau pemberi informasi kepada para ibu. 

Roy Thaniago mengungkapkan bahwa ketika laki-laki muncul, mereka direpresentasikan sebagai otoritas pengetahuan. Iklan-iklan ini tidak hanya menguatkan posisi laki-laki sebagai otoritas pengetahuan, tetapi juga menyampaikan sebuah narasi dominan dalam membentuk makna tentang posisi sosial dan pembagian kerja di ranah privat dan publik antara laki dengan perempuan, antara suami dengan istri. 

Melalui narasi dominan yang disampaikan iklan-iklan di media massa Indonesia, kita kemudian menyadari bahwa iklan ini lalu membentuk persepsi tentang perempuan yang tidak lepas dari peran-peran gender yang dilekatkan kepadanya oleh dunia yang patriarki. Salah satu peran gender yang tidak pernah lepas dari diri seorang perempuan adalah perannya sebagai ibu. 

Hampir semua masyarakat di seluruh belahan dunia tidak terkecuali Indonesia selalu mengasosiasikan perempuan dengan perannya sebagai ibu, sehingga tidak mengherankan bahwa terdapat sebuah konsep yang sudah terinternalisasi di dalam alam bawah sadar kita. 

Konsep ini yang telah terinternalisasi di dalam alam bawah sadar kita adalah sebuah konsep yang memenjarakan perempuan, sehingga mereka mau tidak mau harus menjalankan suatu peran melalui konsep yang ada. 

Perempuan Dalam Institusi Motherhood

Konsep ini dinamakan motherhood atau peran ibu. Konsep yang begitu mengekang perempuan hingga mereka tidak bisa terlepas dari jeratannya. 

Melalui konsep motherhood kita semua diajarkan bahwa kodrat perempuan adalah menjadi seorang ibu. Konsep motherhood membawa kita pada sebuah pemikiran yang memenjarakan perempuan di mana status perempuan akan menjadi lengkap jika dirinya sudah menjadi ibu dan menjalankan perannya sebagai ibu dengan baik sesuai dengan standar yang ditetapkan patriarki. 

Masyarakat pun kemudian tunduk dengan konsep mengekang ini, sehingga tidak mengherankan juga jika ada perempuan yang menolak menjadi ibu dan memilih untuk melajang seumur hidupnya, mereka kamudian akan dianggap menyalahi kodratnya sebagai seorang perempuan.

Namun pada kenyataannya menjadi ibu bukanlah kodrat perempuan. Ann Oakley, seorang feminis berkebangsaan Inggris bahkan mengatakan bahwa kebutuhan yang dirasakan perempuan dan yang diharapkan kepadanya untuk menjadi ibu tidak ada hubungannya dengan kepemilikan ovarium dan rahim seorang perempuan. Perempuan dirasa perlu menjadi ibu justru karena mereka dikondisikan secara sosial dan kultural menjadi ibu. 

Adrienne Rich, seorang feminis berkebangsaan Amerika Serikat menambahkan bahwa motherhood justru pada kenyataannya dilihat sebagai sebuah institusi yang mengikat perempuan. Adrienne Rich melalui bukunya yang berjudul Of Woman Born: Motherhood as Experience and Institution, menilai bahwa konstruksi patriarki telah meyakinkan perempan bahwa kecuali jika seorang perempuan adalah seorang ibu, dirinya bukanlah seorang perempuan sejati. 

Kekuatan patriarki yang ada di masyarakat meyakinkan mayoritas perempuan di berbagai lapisan masyarakat di seluruh belahan dunia bahwa menjadi ibu adalah satu-satunya pekerjaan perempuan dan kodrat mereka. 

Rich juga mengatakan bahwa patriarki adalah pelaku utama dilanggengkannya intitusi motherhood, dimana patriarki dilihat sebagai kekuatan ‘sang ayah’, sebuah sistem sosial keluarga, ideologi dan sistem politik dibangun oleh laki-laki secara paksa untuk menekan perempuan melalui berbagai tradisi, hukum, bahasa, norma, etika, pendidikan, dan pembagian kerja. 

Patriarki dengan sangat ketat menentukan peran apa yang seharusnya perempuan ambil dan mana yang tidak, di mana pada akhirnya perempuan pun akan terus berada dalam kuasa laki-laki.

Perempuan dilahirkan sebagai perempuan. Tapi hanya sedikit dari kita yang mengetahui bahwa terdapat efek kultural yang terdapat di dalamnya. Status perempuan dalam melahirkan anak dan mengasuh anak menjadikan faktor utama dalam hidupnya. 

Lebih lanjut Rich menjelaskan bagaimana patriarki membangun institusi motherhood untuk mengurung perempuan di dalamnya. 

Menurutnya institusi motherhood bertujuan untuk memastikan bahwa potensi dan semua perempuan akan tetap berada di bawah kendali laki-laki. Institusi ini ada sebagai kunci untuk hampir semua sistem politik dan sosial di masyarakat, yang menciptakan segregasi antara ruang privat dan publik,  juga mengklasifikasikan pilihan dan potensi manusia. 

Dalam kontradiksi yang paling mendasar, institusi motherhood telah mengasingkan perempuan dari tubuh mereka sendiri dengan memenjarakan mereka di dalamnya. Institusi ini menuntut perempuan memiliki insting maternal dibandingkan memiliki intelektualitas sebagai seorang manusia, selflessness (mementingkan orang lain) dibandingkan self-relazation (pemenuhan potensi diri), relasi dengan orang lain dibandingkan pembentukan diri. 

Institusi motherhood memaksa perempuan untuk menjadi ‘ibu yang baik’. Hal ini tidak mengherankan bahwa perempuan akhirnya diberi tanggung jawab penuh dan sepihak dalam menjaga kesehatan anak-anaknya, pakaian yang anak-anaknya pakai, perilaku anak-anaknya ketika di sekolah, bahkan hingga kecerdasan dan juga perkembangan general sang buang hati. 

Tidak mengherankan kemudian jika ada hal apapun yang terjadi pada sang anak, perempuanlah yang akan pertama ditunjuk atas pertanggung jawabannya. Dirinyalah yang bertanggung jawab penuh ketika anak-anak sakit. Dirinyalah yang bertanggung jawab untuk merawat dan memberi obat anak-anaknya bahkan jika konsekuensinya adalah harus mengajukan cuti kerja ataupun izin kepada atasannya. 

Apa yang kemudian disebut dengan ‘keluarga’ sebenarnya mememiliki arti ‘sang ibu’, seseorang perempuan yang memikul tanggungjawab terbesar dan utama dalam membesarkan anak, mendidik anak, mengurus segala urusan domestik dan juga harus menerima segala rasa frustasi dan juga kemarahan dari suami-suami yang mereka bawa dari tempat kerja mereka bahkan tidak jarang rasa frustasi dan kemarahan suami-suami ini berimplikasi pada kekerasan dalam rumah tangga. 

Melalui intitusi motherhood, perempuan diambil kebebasannya. Segala mimpi dan harapan perempuan yang ingin mereka capai direbut secara paksa karena peran yang harus mereka ambil sebagai ibu yang ada 24 jam sehari bersama anaknya. 

Perempuan akhirnya terpaksa mengorbankan mimpi dan harapan mereka dengan berat hati karena beban rasa bersalah selalu menyertai mereka jika mereka bersikap egois dan menelantarkan ‘rumah’nya.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Jasmine Floretta V.D, A proud fangirl (BTS Army) dan pecinta kucing garis keras. Sedang menjalani studi S2 di Kajian Gender Universitas Indonesia (UI)  dan memiliki minat mendalam pada kajian tentang penggemar dan isu terkait peran ibu 

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!