Kapan Perempuan Disable Korban Perkosaan Dapat Akses Keadilan? Tonton Film Kaabil

Dengan sistem hukum yang bobrok, tidak berpihak pada korban dan jauh dari inklusif, perempuan disabilitas korban perkosaan menjadi korban berkali-kali. Film Bollywood berjudul "Kaabil" memberi gambaran yang jelas tentang ini.

Film ini bercerita tentang sulitnya perempuan disabilitas korban perkosaan yang berjuang untuk mendapatkan akses keadilan. Pengakuan perempuan disabilitas korban perkosaan kerap dianggap tidak kuat. Mereka dianggap tidak mampu memberikan bukti bahwa mereka benar diperkosa.

Tanpa upaya pencegahan dan perlindungan hukum, setiap perempuan bisa menjadi korban kekerasan seksual, tidak terkecuali mereka yang merupakan penyandang disabilitas.

Suami istri tunanetra, Rohan Bhatnagar dan Supriya Sharma, merupakan pasangan yang romantis. Mereka kerap berkencan, berdansa, saling memberi hadiah, dan kegiatan romantis lain seperti kehidupan pasangan suami istri bahagia. Namun, kisah cinta romantis yang mereka jalani harus berakhir tragis saat Supriya Sharma menjadi korban perkosaan.

Cerita dalam film Bollywood dari FilmKraft Productions dengan sutradara Rakesh Roshan, yang berjudul Kaabil ini tidak sekadar menceritakan aksi “balas dendam” seorang suami penyandang tunanetra (buta) atas kematian istrinya. Film thriller itu juga menggambarkan sistem hukum penanganan kasus kekerasan seksual yang bobrok.

Film itu diperankan oleh Hrithik Roshan sebagai Rohan Bhatnagar dan Yami Gautam sebagai Supriya Sharma. 

Kehidupan bahagia mereka berubah bencana saat suatu malam ketika sedang dalam perjalanan pulang berkencan dari restoran, keduanya dihadang oleh Amit Shellar (Rohit Roy) dan Wasim (Sahidur Rahaman) tepat di depan tempat tinggal mereka. Amit Shellar merupakan adik dari seorang politikus terkenal dengan kekayaan yang sangat melimpah, Madhavrao Shellar (Ronit Roy). Meski Amit akhirnya kabur karena Supriya berteriak minta tolong, tapi peristiwa malam itu malah menjadi titik awal tragedi dimulai.

Keesokan harinya saat Rohan bekerja, Amit serta Wasim menyelinap ke dalam rumahnya dan memperkosa Supriya. Rohan yang baru pulang bekerja, masuk ke dalam kamar untuk menemui Supriya. Namun, ia mendapati istrinya disekap di atas kasur dengan badan telanjang tertutup selimut dan mulut disumpal kain.

Rohan yang ketakutan dengan keadaan istrinya pun sontak melaporkan peristiwa itu ke polisi. Kasus Supriya ditangani langsung oleh Inspector Amol Chaube yang diperankan Narendra Jha. Seperti pada kebanyakan kasus perkosaan, Inspector Chaube menyarankan korban untuk melakukan tes medis alias visum untuk membuktikan bahwa Supriya benar-benar diperkosa.

Mengetahui Amit terlibat kasus sebagai pelaku perkosaan, Madhavrao sebisa mungkin melindungi adiknya. Sebagai politikus yang disegani, ia segera memanfaatkan kedudukannya untuk menguasai kepolisian di bawah Inspektur Chaube.

Dan benar saja, Inspektur Chaube beserta anak buahnya melindungi si pelaku. Inspektur berdalih ke Rohan bahwa susah untuk mengusut kasus yang menimpa istrinya. Sebab, Supriya tidak bisa melihat, bagaimana bisa ia membuktikan kalau pelakunya adalah Amit dan Wasim.

Supriya yang merupakan korban perkosaan semakin sulit untuk mendapatkan keadilan. Ketika menuju rumah sakit untuk mendapatkan tes, ia dipersulit. Hingga akhirnya ia tidak dapat tes karena sudah melebihi waktu 24 jam dari kejadian. Belum lagi ketika membuat laporan ke kantor polisi, Supriya dan Rohan malah dituduh berbohong sebab tidak memiliki bukti apalagi saksi.

Pelaku pemerkosaan pun dibiarkan tetap berkeliaran dan korban tidak mendapatkan perlindungan. Akibatnya, Supriya diperkosa untuk kedua kalinya oleh orang yang sama. Kondisi itu benar-benar membuat Supriya hancur hingga ia memutuskan untuk bunuh diri. Ia tidak mau terus-terusan diperkosa oleh Amit dan Wasim yang tidak ditahan oleh pihak kepolisian.

Kisah Supriya itu cukup jelas menggambarkan tentang bagaimana kasus perkosaan, terlebih dengan korban penyandang disabilitas, menemui berbagai kendala mendapatkan keadilan. Padahal, setiap korban membutuhkan dukungan untuk memperoleh keadilan. Penyandang disabilitas korban perkosaan sering kali menemui kesulitan ketika melaporkan mengenai apa yang mereka alami. Layaknya di film Kaabil, sumber kesulitan yang paling sering mereka hadapi adalah ketika berhadapan dengan kompleksnya sistem peradilan.

Sulitnya korban perkosaan mengakses keadilan dilatarbelakangi oleh sistem peradilan yang tidak inklusif serta tidak sensitif terhadap korban. Absennya perundang-undangan yang memihak korban membuat aparat penegak hukum tidak memiliki landasan untuk melindungi korban.

Alih-alih melindungi korban, polisi justru memihak kepada pelaku. Seperti diceritakan dalam film Kaabil, pelaku perkosaan yang memiliki kekuasaan kerap lolos dari jerat hukum. Korban semakin jauh dari keadilan karena proses hukum yang dapat dibeli dengan uang.

Film Kaabil juga memperlihatkan kepolisian dan penegak hukum lainnya tidak kompeten dalam menangani kasus perkosaan. Mereka kerap menghentikan proses penyelidikan kasus perkosaan dengan alasan kurangnya bukti hingga tidak adanya saksi.

Pengakuan korban juga dianggap tidak meyakinkan. Dalam kasus korban tunanetra, mereka dianggap tidak dapat mengetahui secara jelas siapa pelaku perkosaan. Penyandang disabilitas korban perkosaan kerap dianggap tidak atau kurang memiliki kemampuan memadai untuk mengetahui apa yang terjadi atas tubuhnya. Akibatnya, polisi enggan mempercayai pengakuan korban perkosaan yang merupakan penyandang disabilitas.

Saat menerima laporan kasus perkosaan, polisi kerap meminta hasil visum et rebertum atau pemeriksaan dokter forensik untuk bukti kasus perkosaan. Namun, visum itu sendiri sulit untuk menjadi bukti karena seperti dalam film Kaabil, korban dipersulit untuk tes hingga bukti di badan terhapus oleh air.

Dalam kasus perkosaan, saya sepakat dengan pandangan Siti Mazuma dari LBH APIK untuk menggunakan visum psikiatrikum sebagai bukti. Visum psikiatrikum digunakan untuk mengukur tingkat traumatik yang dialami korban.

Saya juga berpandangan banyak aparat penegak hukum yang tidak memiliki inisiatif dalam membantu korban untuk mendapatkan bukti kasus perkosaan. Hal itu bisa dilihat dari beban pembuktian hanya berada pada korban. Korban sendiri yang harus membuktikan bahwa dirinya diperkosa. Padahal, aparat penegak hukum seharusnya bertanggung-jawab dalam mencari bukti untuk memberi keadilan bagi korban.

Penanganan kasus kekerasan seksual adalah hal yang harus diperjuangkan untuk keadilan korban. Selain itu, pendampingan dan pemulihan korban juga perlu diutamakan. Korban perkosaan tidak hanya menderita secara fisik, tetapi juga mental. Korban dapat menanggung trauma seumur hidupnya.

Berkaca dari film Kaabil, sistem peradilan yang berpihak pada korban kekerasan seksual sangat diperlukan. Reformasi sistem peradilan dibutuhkan untuk melindungi dan memberi rasa keadilan bagi korban kekerasan seksual. Sistem keadilan itu juga mesti inklusif sehingga penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual bisa mendapatkan keadilan. Jika tidak menginginkan kasus perkosaan yang menimpa Supriya terjadi di Indonesia, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) harus segera disahkan. Dalam rancangan itu diatur dari pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual termasuk perkosaan, hingga pemulihan korban.

Venella Yayank

Mahasiswi Aqidah dan Filsafat Islam, IAIN Tulungagung
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!