Koalisi Perempuan Indonesia Menolak UU Cipta Kerja Karena Tak Berperspektif Perempuan


Koalisi Perempuan Indonesia/ KPI menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang dilakukan secara tergesa-gesa dan belum sepenuhnya terbuka kepada publik. Sehingga masih banyak kesimpang-siuran pada substansi hukum yang berdampak pada marjinalisasi, diskriminasi, pelanggaran Hak Asasi Manusia/ HAM pada pekerja, kelompok perempuan dan kelompok rentan lainnya ketika undang-undang ini diimpementasikan. 

Tim Konde.co

Koalisi Perempuan Indonesia/ KPI melihat bahwa pengesahan Undang-Undang pada tanggal 5 Oktober 2020 ini dirasakan tergesa-gesa dikarenakan sidang paripurna yang sedianya dijadwalkan pelaksanaannya pada tanggal 8 atau 9 Oktober dengan jadwal agenda yang tidak menjelaskan secara spesifik tentang pembahasan UU Ciptaker, sehingga menuai reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat, kelompok buruh, petani, nelayan, mahasiswa dan kelompok perempuan dan lainnya. 

Mike Verawati Tangka, Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia/ KPI dalam pernyataan pers nya mengatakan bahwa sebagai organisasi massa beranggotakan perempuan dari berbagai latar belakang memahami semangat pembentukan Undang-Undang ini sebagai upaya baik untuk memperbaiki berbagai kebijakan yang selama ini tumpang tindih dan disharmoni sehingga implementasi pembangunan manusia, pembenahan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dirasakan kurang optimal. Terutama bagaimana menyelesaikan problem kemiskinan yang muncul dari sektor ketenagakerjaan sehingga UndangUndang ini diharapkan dapat memberikan peluang kepada masyarakat untuk memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik. Sehingga diperlukan Kebijakan paket yang menyentuh segala aspek hidup masyarakat, sehingga Undang-Undang ini dibentuk dengan metode Omnibus Law, memuat klaster yang sangat luas dengan 11 (sebelas) klaster pembahasan, dan total 79 undang-undang terdampak, serta terdapat 1.244 Pasal, 1.028 halaman. 

“Namun kebijakan “sapu jagad” ini seharusnya menjadi proses yang melalui banyak pemikiran, penggalian aspirasi, terbuka dalam hal partisipasi keberagaman kelompok masyarakat yang nantinya akan dinaungi oleh Undang-Undang ini. Naun disayangkan dalam prosesnya seperti dikebut dan meminggirkan banyaknya masukan yang datang dari berbagai elemen masyarakat sejak kebijakan mulai diwacanakan baik oleh DPR RI dan Pemerintah. Koalisi Perempuan Indonesia juga menyoroti dampak yang nantinya akan dialami oleh perempuan sebagai bagian dari pekerja lintas sektor, perempuan petani, nelayan, professional, pelajar,dan pelaku usaha menengah kecil dan lainnya yang berkaitan secara langsung dalam kebijakan ini,” Kata Mike Verawati Tangka

Kesulitan implementasi pengarusutamaan gender, dan mendorong perspektif kesetaraan dan inklusi sebenarnya masih menjadi pekerjaan rumah yang besar jauh sebelum Undang-Undang Cipta Kerja disahkan. 

Sementara berbagai informasi yang berkembang bahwa pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Cipta Kerja justru mengalami pelemahan dibanding dengan kebijakan yang telah diatur sebelumnya. 

Sebagai salah satu contoh adalah pengaturan cuti haid/melahirkan, meskipun tidak dihapus tetapi substansi tentang upah per jam menghilangkan esensi dari cuti haid dan cuti melahirkan karena jika pekerja perempuan menjalani cuti tersebut otomatis tidak dihitung bekerja, sehingga tidak mendapatkan upah cuti. 

“Sementara kesehatan reproduksi adalah hal yang melekat dalam diri perempuan yang mempengaruhi perempuan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai pekerja. Selain itu juga terkait pengaturan waktu lembur yang diserahkan keputusanya kepada pihak perusahaan dan pemberi kerja, yang berpotensi dipahami secara multi intepretasi, juga pengaturan-pengaturan lainnya yang masih simpang siur dalam masyarakat. “

Koalisi Perempuan Indonesia menengarai pernyataan-pernyataan anggota legislatif dan pemerintah yang menggunakan argumentasi pandemi covid sebagai alasan untuk mempercepat proses merupakan hal yang kontradiktif dengan komitmen untuk menekan angka penularan virus covid 19. 

“Sementara dalam konteks yang lain argumen kegawatan pandemi ditempatkan sebagai alasan yang mempersulit proses penyusunan legislasi ketika masyarakat mempertanyakan proses Rancangan Undang-Undang lainnya seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,RUU perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan lainnya. Sehingga anggapan masyarakat semakin kuat bahwa Undang-Undang Cipta Kerja prosesnya sarat dengan kepentingan para pemilik modal besar, atau peluang sebesar-besarnya untuk investasi.”

Koalisi Perempuan Indonesia juga menyepakati bahwa peraturan perundang-undangan dengan metode Omnibus Law merupakan langkah positif dan sebagai solusi dari persoalan kebijakan, implementasi dan penegakan hukum yang selama ini belum efektif di Indonesia. 

Tetapi langkah baik ini juga perlu dibarengi dengan semangat dan prinsip penyusunan kebijakan yang benar-benar berazaskan keadilan, kesetaraan, non diskriminatif, partisipatif dan transparan sehingga perbaikan diranah hukum dan kebijakan juga membawa perubahan yang significan bagi semua masyarakat juga menyelesaikan problem ketimpangan gender dalam pembangunan dan mengangkat kualitas seluruh masyarakat tanpa terkecuali. 

“Sehingga yang diperlukan adalah kebijaksanaan dan komitmen kuat dari pemerintah dan DPR RI untuk memproses pembuatan kebijakan yang berpegang pada etika hukum dan kebijakan, bukan sekedar proses legislasi yang berangkat dari kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.” 

Selain itu Koalisi Perempuan Indonesia menyatakan mendesakkan kepada Presiden Joko Widodo mengambil tindakan melakukan penghentian proses Undang-Undang Cipta Kerja sebagai Undang-Undang yang akan diimplementasikan, untuk kemudian melakukan tinjau ulang substansi hukum agar jauh lebih berpihak kepada rakyat melalui mekanisme hukum yang tersedia. 

Lalu mendesak anggota DPR RI untuk melakukan sosialisasi secara terbuka kepada publik mengenai substansi Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disusun dan dihasilkan dan megakomodir aspirasi masyarakat dan berbagai kelompok yang akan bernanung dibawah kebijakan ini. 

Yang ketiga, KPI mendorong Pemerintah untuk melakukan tindakan yang serius terhadap eskalasi massa yang melakukan unjuk rasa terhadap Undang-Undang Cipta Kerja dalam masa pandemi yang berpotensi menambah penularan virus corona dengan berpegang pada prinsip, anti kekerasan, anti penyiksaan, dan tindakan non represif. 

“Kami juga mendorong kepada institusi aparat penegak hukum agar dapat mengelola dinamika masyarakat yang melakukan kegiatan unjuk rasa dengan cara nir kekerasan, dan mengusut tuntas dan menindak tegas kelompok-kelompok yang memanfaatkan unjuk rasa untuk melakukan kerusuhan dan tindakan perusakan fasilitas publik. Sehubungan dengan sikap diatas Koalisi Perempuan Indonesia mengundang semua pihak untuk kembali memperkuat persatuan dan terus memantau dan mengawal proses legislasi yang mengedepankan prinsip keadilan, kesetaraan dan HAM,” Kata Mike Verawati Tangka

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!