Komnas Perempuan: Perkuat Perlindungan Perempuan Korban Perkosaan di Aceh

Sebuah peristiwa pencabulan dan perkosaan terjadi baru-baru ini di Banda Aceh dan Aceh Timur. Ada pula peristiwa yang berujung pada penghilangan nyawa seorang anak R (9 tahun) karena menolong Ibunya melawan tindakan perkosaan. Di sepanjang tahun 2017 hingga tahun 2019, setidaknya dilaporkan sebanyak 3.695 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Aceh. 

Tim Konde.co

Di Aceh, kekerasan seksual juga menjadi salah satu isu krusial dalam refleksi 15 tahun upaya perdamaian di Aceh pasca penandatanganan MoU Helsinki. 

Komnas Perempuan dalam pernyataan sikapnya menyatakan keprihatinannya yang mendalam dengan terus meningkatnya kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual di Aceh. 

Dalam pernyataan pers Komnas Perempuan, Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahei menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2017 hingga tahun 2019, setidaknya dilaporkan sebanyak 3.695 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Aceh. 

“Selain daya jangkau pencegahan dan pemulihan korban yang masih sangat terbatas, bentuk pemidanaan pelaku juga menjadi batu sandung dalam menghadirkan pelindungan yang mumpuni bagi perempuan, terutama dalam kasus perkosaan dan pelecehan seksual/pencabulan.” 

Studi awal dari Balai Syura, payung organisasi perempuan di Aceh, menunjukkan bahwa pemidanaan dalam bentuk cambuk kepada pelaku tindak perkosaan dan pelecehan seksual termasuk pencabulan, menghadirkan ancaman bagi rasa aman korban. Hal ini karena dalam waktu singkat pelaku dapat kembali ke masyarakat dan dengan leluasa menghubungi korban, melakukan intimidasi maupun  menghadirkan ancaman untuk mengulang kembali tindak kejahatannya. 

Situasi ini jelas menunjukkan bahwa pemidanaan tersebut juga tidak efektif dalam menghadirkan rasa jera, berkontribusi pada berkurangnya rasa keadilan dan menghalangi pemulihan korban, dan mengancam keamanan masyarakat.

Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang juga mengapresiasi langkah pro aktif yang telah diambil oleh DPR Aceh untuk mengadakan pembahasan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk dari masyarakat sipil, dalam menyikapi kondisi in. 

“Langkah ini adalah sesuai dengan fungsi lembaga legislatif sebagai pengawas implementasi kebijakan. Juga, untuk membuka ruang diskusi kritis dan konstruktif terhadap peraturan daerah yang digunakan dalam menangani kasus perkosaan dan pelecehan seksual/pencabulan, yaitu Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayah atau peraturan daerah tentang hukum pidana (selanjutnya disebut Qanun Jinayat),” kata Veryanto Sitohang 

Dari amatan media, Komnas Perempuan juga mencatat dukungan untuk peninjauan ulang dengan maksud menguatkan akses keadilan dan pemulihan korban dari tindak kejahatan perkosaan dan pelecehan seksual/pencabulan  telah disampaikan oleh sejumlah tokoh Aceh. 

Komnas Perempuan mengapresiasi dukungan penting ini, seperti yang disampaikan kepada publik oleh anggota Komisi III DPR RI, Nazaruddin Dek Gam yang juga mendorong agar aparat hukum di Aceh menggunakan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA) dalam menjerat pelaku pencabulan dan perkosaan anak. 

“Begitu pula anggota DPRA Ibu Darwati A Gani, yang menyampaikan pentingnya DPR Aceh melakukan langkah politik mengkaji ulang penggunaan hukum cambuk bagi pelaku pencabulan dan perkosaan. Selanjutnya, Kepala Dinas Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A) Aceh yang juga mengingatkan pentingnya jaminan keamanan kepada korban perkosaan dan pelecehan/pencabulan yang kasusnya diproses dengan Qanun Jinayat karena pemidanaan pelaku yang berlangsung cepat berisiko segera menghadirkan peristiwa kekerasan baru oleh pelaku terhadap korban ataupun pada korban lainnya,.” 

Untuk meninjau ulang Qanun Jinayat, Komnas Perempuan menyatakan bahwa pasal-pasal tentang perkosaan dan pelecehan seksual/pencabulan sebaiknya dikembalikan kepada hukum nasional. 

Karakteristik dari kedua tindak pidana ini berbeda dari 8 tindak pidana lainnya yang diatur di dalam qanun tersebut, yaitu khamar/alkohol, maisir/judi, khalwat/berduaan, ikhtilath/bermesraan, zina, liwath dan musahaqah, yaitu hubungan senggama sesama jenis. 

Pada kedua tindak pidana ini, ada relasi timpang yang menyebabkan salah satu pihak menjadi pelaku dan pihak lainnya menjadi korban, terutama perempuan dan anak. Kondisi ini disampaikan sebagai “tanpa kerelaan korban”, berbeda dari 8 tindak lainnya yang didefinisikan memuat unsur “kerelaan kedua belah pihak”.

Komnas Perempuan pada tahun 2014 telah memperingatkan bahwa mencampuradukkan dua katakteristik berbeda dari pidana yang hendak diatur berkonsekuensi menghadirkan zona buta (blind spot) dalam hal pelaksanaan tanggung jawab negara pada pemenuhan hak korban, yang akan sangat merugikan perempuan dan anak. Situasi ini antara lain tampak pada:

•Pencampuran definisi pelecehan seksual dengan pencabulan, yang kemudian bertumpang tindih dengan definisi dari perkosaan yang telah mengadopsi rumusan progresif dari Statuta Roma.

•Ruang lingkup qanun yang menekankan hanya pada pelaku, jarimah dan uqubat. Pengaturan ini secara langsung mengabaikan kerentanan korban dalam mengakses proses peradilan. Akibat lanjutan dapat dilihat pada pengaturan berikutnya. Misalnya, syarat sumpah bagi korban yang dianggap bukti perkosaannya tidak memadai agar tidak dikenakan ancaman hukuman Ini menunjukkan ketidakpekaan pada kondisi korban dalam proses peradilan, yang padahal sedari awal pelaporannya, terus dibebani dengan proses pembuktian, mengingat tata cara yang diatur dalam Qanun Hukum Acara Jinayah yang tidak berbeda jauh dari Kitab UU Hukum Acara Pidana pada kasus ini.

•Tindak pidana perkosaan didekati dengan pemahaman pada tindak kesusilaan zina, sehingga memungkinkan proses silang sumpah antara korban dan pelaku untuk menghentikan ancaman pidana ketika bukti dianggap sumir. Hal ini berkontradiksi dengan dorongan penyikapan pro aktif dari aparat hukum untuk proses pembuktian, yang justru menjadi hambatan pada banyak kasus perkosaan selama ini.

•Bentuk hukuman cambuk yang menjadi simbol pelaksanaan kewenangan khusus Aceh tetap diadopsi untuk kasus perkosaan dan pelecehan/pencabulan karena kurang memperhitungkan faktor risiko ancaman pada keamanan korban pasca pemidanaan dan residivisme

Berkurangnya jaminan rasa aman dan jaminan pada proses yang memulihkan korban tentunya bertentangan dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khusus pasal 231 yang memandatkan agar “Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota serta penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya pemberdayaan yang bermartabat.” 

Komnas Perempuan menyatakan mendukung langkah DPR Aceh dalam melakukan evaluasi dan kajian secara komprehensif pelaksanaan Qanun Jinayat, terutama terkait pasal mengenai perkosaan dan pelecehan seksual;

“Yang kedua, merekomendasikan kepada DPRA dan Gubernur Aceh untuk melakukan moratorium penggunaan Qanun Jinayat pada tindak pidana perkosaan dan pelecehan seksual untuk ditentukan kembali berdasarkan hasil evaluasi menyeluruh itu. Selama masa moratorium, tindak pidana perkosaan dan pelecehan seksual diproses berdasarkan KUHP, UU Perlindungan Anak, maupun peraturan perundangan-undangan lain yang sesuai,” kata Veryanto Sitohang

Juga merekomendasikan kepada Kepolisian RI, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung untuk turut mendukung upaya evaluasi dan mengupayakan langkah moratorium di tingkat internal agar pemeriksaan perkara tindak pidana perkosaan dan pelecehan/seksual tetap menggunakan acuan hukum nasional;

Lalu mendorong Pemerintah Aceh untuk menguatkan dukungan implementasi Qanun No. 6 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, terutama dalam hal memastikan dukungan bagi perempuan korban perkosaan dan pelecehan seksual/pencabulan untuk mengakses keadilan dan pemulihan yang komprehensif.

“Dan mendukung upaya Mahkamah Agung dalam melaksanakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH), terutama dalam kasus perkosaan dan pelecehan seksual/pencabulan, termasuk di dalam lingkup Mahkamah Syariah.”

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!