Siapa Bilang Perempuan Tak Punya Hak Untuk Menyatakan Cinta?

Narasi yang sering kita jumpai mengenai perempuan adalah, perempuan identik sebagai orang yang menunggu, tak boleh memulai lebih dulu karena akan dicap sebagai perempuan yang agresif, apalagi menyatakan cinta. Ini masih jadi sesuatu yang dianggap tabu 

Dini Damayanti- Konde.co

Apa sih susahnya bilang “Aku cinta kamu?.”

Tapi ternyata ini masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk perempuan. Perempuan dikotakkan sebagai orang yang tak boleh langsung menyatakan perasaannya dan harus memendam perasaannya.

Konstruksi masyarakat kita memang memiliki andil besar dan cukup kuat dalam menetapkan standar baik atau buruk bagi perempuan. Apalagi sistem kita yang cenderung patriarki.

Konstruksi masyarakat yang demikian menjadikan perempuan jadi enggan untuk menyatakan perasaannya atau menyatakan pikirannya pada laki-laki. Misalkan saja, perempuan tak boleh berani untuk menyatakan perasaan sukanya kepada orang lain.

Sebagian besar masyarakat mungkin akan cenderung berpandangan sama, bahwa perempuan tidak semestinya melakukan hal tersebut. Dalam hal urusan menyatakan perasaan, perempuan cenderung diminta menunggu saja. Alhasil, melihat perempuan yang berani menyatakan perasaannya akan dinilai kurang pantas, dinilai cenderung murahan, agresif, dan tidak tahu malu.

Konstruksi masyarakat kita memang cenderung menempatkan perempuan sebagai ‘yang dikejar’, ‘yang diperjuangkan’, dan ‘yang menunggu’.

Saya ingat sekali pernah mendapat curhatan dari teman perempuan yang sedang menyukai laki-laki. Beberapa kali dia harus memberi kode lewat status. Saya menyarankan untuk secara jujur bilang kepada si laki-laki. Tapi teman saya menolaknya, dengan alasan rada gengsi, takut dibilang murahan, dan takut ditolak. Dia lebih memilih untuk memendam perasaannya. Apalagi dia menganggap bahwa derajatnya sebagai perempuan serasa turun apabila berani menyatakan perasaan secara langsung.

Memang dalam konstruksi masyarakat, urusan-urusan semacam ini dinilai menjadi porsinya laki-laki. Mulai urusan menyatakan perasaan, yang harus dilihat paling berjuang mendapatkan perempuan, memulai segalanya lebih dulu menjadi hak sepenuh-penuhnya laki-laki untuk bersuara terlebih dahulu.

Tentu saja situasi ini menjadi problem bagi perempuan, karena semua punya hak yang sama untuk menyatakan perasaannya. Parahnya, klaim-klaim yang sering terdengar di telinga kita, apalagi oleh laki-laki, perempuan itu seperti bunga yang berarti perempuan hanya menunggu untuk ada yang berani memperjuangkan dan menyatakan perasaan kepadanya. Sehingga dalam menyatakan perasaan atau meminta sesuatu, perempuan cenderung tak boleh untuk memulai dulu. Hal demikian semata dilakukan agar perempuan terhindar dari kecaman maupun pelabelan masyarakat.

Seharusnya ini harus kita hilangkan. Sebagai manusia, baik laki-laki maupun perempuan atau konstruksi gender yang lain memiliki kecenderungan suka satu sama lain. Sama-sama memiliki hasrat dan keinginan. Tidak masalah baik laki-laki atau perempuan atau yang  lain lebih dahulu menyatakan perasaan atau keinginannya selama disampaikan secara baik.

Bahkan perempuan yang berani menyatakan perasaannnya justru harus dilihat sebagai usaha perempuan dalam mendapatkan haknya dalam bersuara. Itu sangat wajar dan tidak salah. Tidak ada urusannya dengan murahan, agresif, dan tidak tahu malu. Toh, meskipun akan berujung penolakan, itu suatu hal yang wajar. Penolakan bisa terjadi pada semua orang. Urusan menolak atau menerima juga menjadi milik laki-laki, bukan hanya perempuan.

Mulai sekarang, kita harus bersama-sama secara sadar membunuh narasi-narasi diskriminatif yang cenderung mendiskreditkan perempuan. Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai aspek. Mau urusan pekerjaan, percintaan, atau yang lainnya. Perempuan berhak menyatakan apa yang dirasakannya, berhak memperjuangkan apa yang dimauinya, dan berhak menyampaikan apa yang ada dalam isi otaknya.

Sekali lagi, penolakan dan penerimaan bisa dialami laki-laki maupun perempuan. Perempuan memiliki kesempatan sama untuk bebas, melawan rasa takut, dan melawan segala stigma masyarakat.

Perempuan berhak menyatakan dan memperjuangkan apa yang diinginkannya. Saatnya pula untuk sesama perempuan saling mendukung dan berani

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Dini Damayanti, Mahasiswi dan feminis

Dini Damayanti

Seorang perempuan biasa, sekaligus EXO-L, yang sedang menikmati hidup di umur 20 tahunan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!