Film Indonesia Pernah Alami Masa Menampilkan Tubuh Perempuan Secara Sensasional

Indonesia pernah memproduksi banyak film yang mengeksploitase tubuh perempuan, kebanyakan diproduksi di tahun 1980-1990. Produksi film di masa ini muncul ketika banyak penonton Indonesia yang tak mau lagi menonton film dan beralih menonton televisi yang sudah dibanjiri film-film asing yang penonton bisa gampang mengaksesnya.

Bagaimana pandanganmu tentang film perempuan dan film anak di Indonesia, apakah tayangannya layak untuk ditonton oleh perempuan dan anak?

Mari kita bahas bersama, Selasa 3 November 2020 yang lalu Lembaga Sensor Film (LSF) mengadakan webinar online tentang Film untuk Perempuan dan Anak

Dalam sejarahnya, Indonesia sudah memproduksi film dan memutarnya sejak tahun 1900 yang pemutaran filmnya sudah dilakukan pertamakali di Tanah Abang, Jakarta.

Sutradara film, Joko Anwar mengatakan bahwa sejak itu film di Indonesia mengalami perubahan. Di tahun 1960an- 1970an Joko Anwar mencatat keberhasilan film Indonesia yang dianggapnya berhasil karena bisa meningkatkan hasil penjualan yang tinggi dan film di masa itu bisa diekspor ke luar negeri dan diterima penonton disana.

Kemudian ada juga film horor yang banyak muncul, seperti Film “Ratu Ilmu Hitam” yang punya ciri khas sebagai film produksi sineas Indonesia. Di akhir tahun 1980an, mulai muncul televisi swasta yang menampilkan film-film dari luar negeri.

Dan masa-masa inilah yang menyebabkan penonton tak mau menonton film ke bioskop karena mereka sudah bisa menonton film di dalam rumah.

Maka di tahun 1980-1990 itulah ada banyak produksi film sensual yang menampilkan tubuh perempuan, Film-film ini banyak diproduksi untuk menarik hati penonton agar tak meninggalkan film.  Film-film tersebut antaralain berjudul “Setetes Noda Manis”, “Gairah Malam”, “Permainan Erotic”, “Ranjang Ternoda,” dll.

Film di Indonesia pada kenyataannya menurut Joko Anwar memang mengalami pasang surut, maka itu adalah masa produksi film dewasa yang menampilkan tubuh yang sensasional yang dulu dimaksudkan untuk “menyelamatkan” kondisi film Indonesia.

“Untuk menyiasati agar tidak mengalami kemunduran bahkan bangkrut dibuatlah film dengan genre dewasa,” ungkap sutradara Joko Anwar.

Jika kita mencari di laman media online yang mengulas tentang film-film di zaman itu, genre dewasa ini yang menjadikan perempuan sebagai obyek seksualitas untuk menarik kembali penonton demi kepentingan komersial bagi sebagian orang yang terlibat dalam film tersebut.

Maka dalam sejarah produksi film Indonesia, awal tahun 2000 adalah tahun yang sangat penting dimana ada sineas yang membuat penonton mau kembali nonton film Indonesia, seperti film-film yang diproduksi sineas muda Mira Lesmana dan Riri Riza yang membuat Film “Petulangan Sherina”, “Ada Apa Dengan Cinta/ AADC” yang berhasil membangkitkan film Indonesia. Lalu ada Film Arisan oleh Nia Dinata. Lalu ada juga Laskar Pelangi.  

Di tahun 2019-2000 disebut Joko Anwar sebagai masa keemasan film Indonesia karena berhasil menjual tiket yang tinggi.  Namun sayangnya, kata Joko Anwar hingga sekarang sineas Indonesia belum bisa duduk bersama dengan pengusaha dan pemerintah untuk membangun bersama bisnis film. Jika bisa duduk bersama, maka bisa memproduksi film yang bisa ditonton khalayak lebih banyak

Lembaga Sensor Film melalui ketuanya, Romy Fibri menyatakan dengan pernah adanya kondisi film-film yang sensual ini dan banyaknya film online, maka diperlukanlah sensor mandiri, artinya sensor sendiri di rumah dengan memilih film-film yang dianggap sehat

Rita Pranawati, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia/ KPAI mengatakan tentang pentingnya sensor mandiri ini.  Berdasar data KPAI, anak-anak Indonesia saat ini banyak mengkonsumsi film di televisi dan secara online,  sebanyak 79% anak tidak memiliki aturan dalam mengakses gawai, kebanyakan anak-anak kemudian menonton tv dan youtube dan seringkali tanpa pengawasan orangtua.

“Potensinya besar nonton tv dan youtube, ini seharusnya diawasi. Bagaimana sensoring di keluarga menjadi sangat penting Karena anak seringkali menjadi kendali sendiri, bukan orangtua.”

Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah mengatakan bahwa perempuan memang seringkali menjadi obyek bukan subyek di film, padahal perempuan punya pengalaman dan hak yang bisa dilibatkan.

“Maka masyarakat harus melakukan sensor mandiri dengan perspektif hak asasi manusia dengan mengembangkan hak budaya, pemenuhan hak budaya dengan film yang bermutu, ada sistem perlindungan terhadap perfilman dan koordinasi dan sinergi yang melibatkan pemangku kepentingan.”

Data juga menyebutkan bahwa film semakin lama dalam perkembangannya semakin meningkat akan tetapi genre film anak-anak yang dikonsumsi anak tidak mengalami pertumbuhan.

Menteri Negara Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan dalam diskusi tersebut tentang minimnya film dengan segmentasi anak yang patut ditonton anak harus dipilah.

Data LSF menyebutkan bahwa film ramah anak di Indonesia hanya sekitar 10-24% di tahun 2019. Produksi film anak di tahun 2017-2018 hanya 2% saja.

“Kondisi ini membuat anak menonton film yang tak sesuai dengan umur mereka. Padahal dalam film tersebut anak akan meniru karakter yang ditampilkan lewat adegan-adegan yang seharusnya anak belum tahu hal tersebut, seperti adegan kekerasan, anak akan meniru atau bahkan mempraktikannya dengan teman seusianya, juga perempuan dalam film digambarkan orang yang galak, judes, tidak mau mengalah sehingga ter-mindset kalau perempuan mempunyai sisi tersebut. Yang kita alami di kehidupan sehari-hari, sifat tersebut merupakan sifat yang ada pada manusia jadi bukan hanya kaum perempuan saja. “

Bintang Puspayoga mengatakan tiap anak boleh mengakses hak anak yang baik sesuai dengan UU perlindungan anak, punya fungsi pendidikan dan budaya. Pemasang iklan juga harus tampil dengan konten menarik dan fakta edukasi. Hak asasi perempuan dan perlindungan anak untuk sensor mandidik, tidak ada kekerasan dan diskriminasi dan sifatnya mendidik.

Gerakan nasional sensor mandiri kemudian dikampanyekan LSF untuk memilih tayangan yang cocok dengan usia dan kebutuhannya.

Christina Aryani, anggota DPR RI dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa penting agar orangtua memilih dan memilah film untuk anak

Osi NF

Designer grafis. Menyukai hal-hal baru dan belajar di media online sebagai tantangan awal. Aktif di salah satu lembaga yang mengusung isu kemanusiaan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!