Gerakan Seribu Serbet PRT: Masyarakat dan Akademisi Tuntut DPR Sahkan RUU PRT

Seribu orang termasuk puluhan akademisi di Indonesia dari Aceh hingga Papua meminta DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT). Tuntutan ini disampaikan para akademisi dan seribu orang lainnya dalam dua kali diskusi secara daring yaitu pada 4 Oktober dan 12 November 2020.

Puluhan akademisi menyampaikan pernyataannya untuk mendukung RUU PRT ini dalam diskusi melalui daring yang digelar Komnas Perempuan bersama #SerbetPRT, Koalisi Perempuan Indonesia/ KPI dan Konde.co pada 12 November 2020

Sebelumnya pada 4 Oktober 2020 juga digelar aksi seribu serbet PRT secara daring yang diikuti lebih dari 500 orang secara daring

Akademisi dari Universitas Gajah Mada, Ari Sujito dalam diskusi 12 November 2020 mengatakan bahwa kerja-kerja Pekerja Rumah Tangga (PRT) pada kenyataannya melakukan pekerjaan dimana secara substansial memenuhi unsur upah, unsur perintah dan pekerjaan

Namun begitu, selama ini PRT tetap tidak diakui sebagai profesi kerja seperti tidak punya KTP, SIM, dll, dan identitas administratif lain.

Ini menunjukkan diskriminasi  serta terjadi stigmatisasi secara sosial yang merugikan pekerja. Padahal secara sosial ekonomi, mereka ini subyek penting seperti penopang kebutuhan keluarga

Disitulah, pekerja seharusnya berhak mendapatkan hak-haknya secara manusiawi sebagai pekerja, bahkan yang paling mendasar adalah perlindungan sebagaimana yang diterima pekerja pada umumnya.

Namun yang terjadi menurut Ari Sujito, banyak kasus eksploitasi, kekerasan atau ketidakadilan yang dialami PRT ini dengan berbagai ragam bentuknya

Rantai kekerasan PRT juga terjadi mulai dari kemiskinan, ketidakadilan, kerentanan, ketidakpastian dan eksploitasi regeneratif.

“Padahal sebagai pekerja, PRT memiiliki hak yang sama, sebagai warga negara berhak dilindungi, sebagai pekerja juga harus mendapatkan perlakuan yang adil dan manusiawi.”

Ari Sujito juga mengatakan bahwa konstruksi masyarakat tentang PRT selama ini masih bias gender, terjadinya eksploitasi terhadap perempuan karena rantai problem struktural, cenderung diisi kelas bawah  dan ada represi status sosial ekonomi dengan segala pemakluman, yang rentan tereksploitasi karena lemah posisinya.

”Sejauh ini terjadi pola relasi komunal dan feodalisasi kerja; berdampak potensi eksloitasi berkedok “hubungan keluarga, dan stigma dan stereotype”, yang cenderung merugikan pekerja secara tersembunyi. Akibatnya PRT terepresi dalam status sosial yang diskriminatif. PRT ini dianggap low skill, cakupan kerja domestik sehingga memperoleh perlakuan tanpa standar sebagai pekerja, dengan  konsekuensi imbalannya tidak terukur sebagai profesi.”

Dalam konteks inilah rantai ketidakadilan terjadi, karena domestikasi kerja membuat pembatasan akses informasi, organisasi, serta pengetahuan, disitulah letak belenggu ketidakadilan struktural dan reproduksi kultural berlangsung. Ketidakadilan dan ketidakwajaran sosial ekonomi menjadi masalah serius yang dialaminya dalam kondisi kerja PRT.

Transformasi PRT dari relasi kerja personal dan komunal menjadi relasi kewarganegaraan. Relasi kewarganegaraan sebagai orientasi utama dengan jaminan hukum formal dan topangan ini seharusnya menjadi modal sosial sebagai pendekatan informal kultural, namun kenyataannya sejauh ini belum ada relasi ini

“Padahal harus ada masa depan PRT dengan keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan diri yang berkeadilan sesuai prinsip kemanusiaan dalam konstitusi UUD 1945,” kata Ari Sujito

Akademisi dari Universitas Indonesia, Ani Sutjipto menyatakan, masalah gender PRT adalah masalah beban ganda. Selain bekerja di rumah majikan, PRT juga tetap mengerjakan pekerjaan domestik di rumah masing masing.

Jenis pekerjaan PRT adalah kerja yang berparas perempuan dan  menyumbang pada fenomena kemiskinan yang berwajah perempuan.

“Rentan untuk menjadi korban kekerasan. Kasus kasus kekerasan pada PRT terus meningkat jumlahnya tiap tahun.  Selain kekerasan  fisik   bentuk kekerasan yang dihadapi PRT yang lain adalah kekerasan ekonomi, pelecehan juga kekerasan seksual dan perkosaan,” kata Ani Sutjipto

Akademisi dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, Jentera, Bivitri Susanti mengatakan sudah 16 tahun RUU PRT masuk Prolegnas tapi tetap saja tak kunjung dibahas, dianggap tidak menarik untuk politisi, dll. Ini karena ada masalah cara pandang yang salah dan ada kepentingan politisi secara pribadi sebagai majikan.

Maka penting untuk menemukan cara agar PRT dibahas di DPR, disahkan dan tetap menjadi kampanye bagi masyarakat agar mengubah konstruksi berpikir tentang PRT, karena PRT berhak untuk mendapatkan kerja layak dan hidup layak bagi PRT

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!