Mari Menanam: Bukan Mie Instan dan Makanan Kaleng Yang Dibutuhkan Perempuan

Pastinya, menanam itu bukan hanya urusan perempuan. Menanam adalah gerakan global yang tidak hanya untuk mendapat makanan murah, namun juga menolak kemiskinan dan makanan instan. Menanam juga bagian dari kampanye agar pemerintah memberikan bantuan makanan bergizi, bukan mie instan atau makanan kaleng yang tak dibutuhkan perempuan

Gerakan menanam di Indonesia oleh Koalisi Perempuan Indonesia/ KPI sekaligus dijadikan sebagai kritik atas bantuan pemerintah untuk korban bencana seperti di masa pandemi yang tak sehat dan tak punya nilai gizi, seperti biskuit, makanan kaleng dan mie instan yang tidak dibutuhkan perempuan

Lalu sebenarnya sejak kapan menanam sendiri ini menjadi bagian dari gerakan? Kebiasaan menanam ternyata tak hanya dilakukan di desa, namun juga di perkotaan.

Radarplanologi.com mencatat bahwa untuk di kota, konsep Urban Agriculture sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu, tepatnya di Machu Pichu, di mana sampah-sampah rumah tangga dikumpulkan menjadi satu dan dijadikan pupuk. Air yang telah digunakan masyarakat dikumpulkan menjadi sumber pengairan melalui sistem drainase yang telah dirancang khusus oleh para arsitek kota di masa itu.

Pada Perang Dunia II di Amerika Serikat dicanangkan program Victory Garden, yaitu membangun taman di sela-sela ruang yang tersisa. Program ini dipercaya menjadi cikal-bakal gerakan urban farming.

Perhatian akan manfaat Urban Agriculture menjadi berkembang ketika masyarakat di berbagai belahan dunia menyadari bahwa semakin hari pertumbuhan penduduk semakin besar dan kebutuhan akan makanan juga bertambah, sementara luas lahan pertanian semakin berkurang. Maka mulailah lahan-lahan kosong di daerah perkotaan dipakai sebagai tempat bercocok tanam. Mulai dari lahan sempit di depan rumah hingga atap – atap gedung-gedung pencakar langit, kini dimanfaatkan sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan berkebun.

Selain menyenangkan, urban farming juga membantu memberikan kontribusi terhadap ruang terbuka hijau kota dan ketahanan pangan. Bisa dibayangkan jika setiap gedung mengadopsi kegiatan urban farming. Tentunya situasi sebuah kota akan semakin hijau dan sejuk.

Koalisi Perempuan Indonesia/ KPI adalah lembaga yang kemudian mengajak banyak perempuan di kota untuk melakukan gerakan menanam. Gerakan ini dilakukan KPI untuk melakukan kampanye soal keragamanan makanan, mencukup kebutuhan pangan karena murah dan sehat, memanfaatkan lahan pekarangan yang tersisa, sekaligus mengkoreksi bantuan pemerintah atas makanan yang tidak dibutuhkan seperti mie instan, biskuit atau makanan kaleng.

Di tengah pandemi ini, KPI kemudian melakukan gerakan menanam, salah satunya di Kota Salatiga, Jawa Tengah bersama para perempuan di Bale Perempuan KPI disana.

Gerakan Menanam Di Tengah Pandemi

Di rumah Parjiyem misalnya, tak banyak tanah sisa di samping rumah Parjiyem, hanya 4×6 meter saja. Untuk rata-rata warga yang bermukim di desa Mangunsari, Sidomukti, Salatiga, tanah seluas itu bahkan hanya cukup dibangun separuh atau sepertiga bagian rumah. Namun, perempuan berjilbab ini punya ide lain. Ia mencangkul tanahnya agar lebih gembur. Niatnya bulat.

“Saya mau bercocok tanam.”

Kenyataannya, kerja-kerja mencangkul dan menanam itu tak semudah yang ia pikirkan.

“Saya bingung macul (mencangkul)  itu maju apa mundur. Tanya ke suami tidak tahu. Tanya ke tetangga ada yang bilang maju dan mundur. Saya praktikkan semua tips itu ragu-ragu. Lha, baru ketahuan, ternyata macul itu ya maju,” kisahnya.

Tekad Parjiyem berbuah manis. Kebunnya kini dipenuhi berbagai jenis sayur-sayuran segar. Tanpa harus repot ke pasar, kebutuhan pangan sehari-hari keluarganya terpenuhi di tengah pandemi.

Parjiyem tak sendiri. Sejumlah perempuan yang tergabung dalam Bale Perempuan Koalisi Perempuan Indonesia di kampungnya juga mempraktikkan hal senada. Mereka menanam seadanya, di ember, di polybag, di pot, di botol bekas, di lahan-lahan sempit sekitar rumah. Yang ditanam pun mencakup semua kebutuhan pangan harian, baik sayuran, obat-obatan, hingga pelbagai tanaman bumbu dapur. Semangat awal yang mulanya demi mencapai kemandirian pangan masing-masing keluarga, kini sudah berkembang menjadi salah satu jalan keluar dari tersumbatnya ekonomi mereka karena pagebluk Corona.

Gerakan untuk memulai menanam di rumah ini disebarluaskan oleh Koalisi Perempuan Indonesia sejak Juni 2020 silam. Salatiga dalam hal ini adalah salah satu prototipe mereka.

Satuf Hidayah, pegiat Koalisi Perempuan Kota Salatiga menerangkan dalam diskusi bertajuk “Kemandirian Pangan Perempuan Urban Perkotaan di Masa Pandemi”, yang dilakukan KPI, Senin (16/11/ 2020) secara daring. Hingga kini ada lima Bale Perempuan (BP) di Salatiga, yakni BP Blotongan, BP Kutowinangun Lor, BP Mangunsari , BP Noborejo, dan BP Sidorejo Kidul. Selain sering melakukan pelatihan, Koalisi Perempuan bersama dengan para pegiat BP Salatiga juga menghelat pasar daring, yang kemudian bisa menjadi jembatan antara produsen yang menanam dengan para konsumen, bahkan membantu perempuan lain yang kesulitan mengakses bahan pangan.

Para perempuan ini bisa menghemat kebutuhan keluarga hingga Rp. 10 ribu- Rp. 15 ribu perharinya. Keluarga bisa langsung memetik dan memasaknya. Ada bayam yang sudah tua atau siap petik, lalu dimasak sayur bening bayam, namun bayam yang masih terlihat muda bisa direbus dan dijadikan lalapan.  Demikian juga sayuran lain yang bisa mereka manfaatkan karena tidak sulit menanamnya seperti cabai, labu atau terong dan juga untuk bumbu dapur seperti jahe, kunyit, dll

Gerakan menanam yang diinisiasi para perempuan tersebut tak hanya bisa ditemui di Salatiga yang notabene masih diberkahi tanah lapang. Para perempuan urban di Jabodetabek, misalnya, juga menanam di tengah keterbatasan lahan.

Adalah aktivis buruh migran, Anis Hidayah, salah satu pengagasnya. Kesukaannya menanam di rumahnya menular pada tetangga di perumahan Studio Alam Indah (SAI), Depok, Jawa Barat sejak awal 2019. Gerakan yang ia mulai itu berkembang sedemikian rupa dengan 48 anggota. Ia bahkan punya komunitas yang lebih luas bernama Rumah Organik Studio Alam Indah (ROSAI). Alih-alih sekadar kegiatan rekreasi, komunitas ini menanam demi memenuhi kebutuhan sayur-sayuran sehat organik.

Anis Hidayah kini juga sudah membagi bibit-bibit tanaman secara gratis kepada banyak perempuan lain. Di sosial media, Anis sering membagikan kegiatannya ini, maka kemudian banyak yang tahu informasinya dan meminta bibit tanaman. Ini juga dilakukan sebagai bagian dari kampanye menanam dan makanan sehat.

Gerakan Global dan Menolak Kemiskinan Perempuan

Kebiasaan menanam di tengah pandemi ini sebenarnya adalah fenomena jamak. Di India, wabah Corona telah memaksa penduduk perkotaan melirik kembali pentingnya sistem pangan lokal. Mereka meniru warga desa dengan mulai menanam sendiri lewat teknik modern seperti aquaponik maupun hidroponik.

Di Australia, di mana lahan jauh lebih terbatas ketimbang negara berkembang lainnya, warga setempat mengampanyekan pentingnya alih fungsi lahan dari ruang hijau seperti taman umum dan lapangan golf menjadi lahan pertanian umum perkotaan. Seorang warga, Nick Verginis misalnya, baru-baru ini memulai grup media sosial bernama ‘Komunitas untuk Membuka Lapangan Golf Northcote’ demi menyulap ruang eksklusif itu untuk taman umum dengan kemungkinan ruang untuk pertanian juga.

Sementara di Amerika Serikat, pencarian orang akan urban farming alias berkebun di rumah meningkat 50 persen di mesin pencarian Google sepanjang Maret 2020. Ini didorong oleh penumpukan pembelian bahan-bahan pokok oleh konsumen hingga lebih dari US$8,5 miliar selama bulan itu, catat Nielsen Corporation, perusahaan riset pasar global.

Maraknya kebiasaan menanam para penduduk kota di berbagai negara dipicu oleh ketakutan bersama soal krisis pangan. Tak hanya sistem kesehatan negara dan kesehatan mental penduduk yang rapuh, bayang-bayang krisis ekonomi pun membuat tren ini mendapatkan momentum yang pas. Apalagi di negara yang memberlakukan pembatasan skala besar yang diikuti penimbunan bahan pangan, tren menanam demi kemandirian pangan pun tak terelakkan. Berita baiknya, perempuan adalah pihak yang menyadari ini dan turut menjadi motor, dengan mencari solusi lewat bercocok tanam sendiri.

Jika ditarik sejarah, sebenarnya gerakan perempuan menanam ini sudah dijumpai sejak Perang Dunia I. Krisis pangan yang parah muncul di Eropa ketika pekerja pertanian direkrut untuk dinas militer, pun lahan pertanian mendadak disulap jadi medan perang. Imbasnya, beban memberi makan jutaan orang yang kelaparan jatuh ke tangan Amerika Serikat.

Pada Maret 1917, beberapa minggu sebelum AS memasuki perang, Charles Lathrop Pack mengorganisasi Komisi Taman Perang Nasional untuk mendorong warga Amerika menanam, memupuk, memanen, serta menyimpan buah dan sayuran mereka sendiri demi keperluan sekutu. Dalam hal ini, warga sudah mulai memanfaatkan semua lahan kosong yang belum digunakan untuk produksi pertanian.

Dengan slogan sohor “Victory Gardens”, gerakan ini disebarkan dari mulut ke mulut melalui berbagai klub perempuan, asosiasi sipil, dan kamar dagang. Hasilnya, 3 juta petak kebun baru ditanam pada 1917 dan meningkat lebih dari 5,2 juta setahun setelahnya. Jika dihitung, angka panennya sekitar 1,45 juta liter buah dan sayuran kalengan. Usai Perang Dunia I rampung, kebiasaan ini masih dipelihara oleh para perempuan.

Pertanyaannya, kenapa perempuan yang lebih banyak aktif dalam kegiatan bercocok tanam? Ini tak bisa dilepaskan dari fenomena feminisasi kemiskinan. Menurut Scott (1984), feminisasi kemiskinan adalah istilah untuk menggambarkan kegoyahan ekonomi tertentu bagi perempuan yang secara sendirian menyokong kehidupan keluarga secara ekonomi.

Kendati ada laki-laki di keluarga, terkadang tanggung jawab untuk menjaga “keutuhan” dan kecukupan keluarga hanya dilekatkan pada kelompok perempuan. Celakanya, di era pandemi kini, kemiskinan yang dialami perempuan tak sebatas ketertinggalan ekonomi semata. Menjadi perempuan juga telah meminggirkan mereka terhadap akses pelayanan publik, sumber daya ekonomi, kepemimpinan dan partisipasi politik. Ini belum ditambah dengan risiko kekerasan, kejahatan seksual, ataupun bayang-bayang beban ganda.

Karena itulah, dalam kondisi ekonomi yang rentan di dalam keluarga, maka perempuan dipaksa menjadi problem solver ketika keluarga dirundung krisis pangan.

Kita patut bangga sebagai perempuan, karena mampu bertahan sejauh ini lewat gerakan menanam demi kemandirian pangan. Semoga semangat ini terus terjaga hingga pandemi usai.

Purnama Ayu Rizky

Penulis, editor dan periset yang tengah merampungkan studi masternya di bidang gender dan politik Universitas Indonesia.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!