Pekerja Seks Juga Manusia: Stop Stigma Sebagai Perempuan Penjual Cinta

Banyak stigma yang dilekatkan pada pekerja seks: sebagai perempuan yang tak punya akal dan malas mencari pekerjaan lain, orang yang hanya bisa menjual cinta atau sebagai orang yang harus kembali ke jalan yang benar. Namun buat saya, pekerja seks adalah manusia. Mereka orang-orang yang berusaha tetap hidup di tengah situasi sulit yang mendiskriminasi mereka 

Tulisan ini merupakan pengalaman saya dalam bergaul, berkomunikasi dengan kelompok minoritas seperti pekerja seks dan waria/ transpuan yang bekerja sebagai pekerja seks:

Para perempuan ini adalah orang-orang yang selama ini langganan mendapatkan diskriminasi.

Kondisi ini membuat mereka tak punya pilihan, jika punyapun, pilihannya serba terbatas, misalnya dalam pekerjaan. Di sisi lain mereka juga harus menanggung beban berlapis dan stigma, juga keterbatasan pendapatan, hingga kekerasan.

Namun bagi saya, pekerja seks adalah manusia.

Awalnya, saya merasa tersentak ketika ada yang menyatakan bahwa pekerja seks sebagai manusia seharusnya punya akal untuk mencari pekerjaan lain. Pekerjaan sebagai pekerja seks dinilai tidak terhormat.

Saya mengakui benar bahwa manusia memiliki akal budi dan kapasitas keahlian untuk bekerja. Namun, saya ingin tetap memanusiakan manusia. Soal cara mereka mencari penghasilan adalah persoalan lain.

Masyarakat umum memandang pekerja seks dan waria atau transpuan sebagai kategori yang sama yaitu rendah dan tercela. Nasib keduanya kerap bersinggungan.

Dua kelompok minoritas ini juga selalu dipandang dengan jijik oleh sebagian masyarakat dan kerap menjadi bahan olok-olok, baik karena pekerjaan mereka atau penampilan. Minim sekali masyarakat yang mengingat mereka sebagai sosok manusia yang memiliki akal budi.

Saya terkejut saat suatu ketika salah seorang dari mereka menghubungi saya untuk meminta bantuan. Tanpa asumsi apapun, saya langsung menanyakan kondisinya. Ia bercerita mengenai kondisi komunitasnya selama pandemi Covid-19. Area mereka ditutup. Mereka juga dilarang bekerja, termasuk warung-warung yang tidak boleh dibuka.

Dalam kondisi seperti itu, bantuan yang mereka terima sudah habis. Sementara, persediaan beras menipis.

Saya menanyakan berapa jumlah orang dewasa dan anak-anak yang tinggal bersama komunitas mereka di area pinggir rel kereta api?. Ada sekitar 150 orang.

Setelah dua hari sejak kontak itu, beberapa teman membawa bantuan makanan ke komunitas mereka. Tidak pernah terlintas di pikiran saya, apakah tindakan mereka benar atau salah. Saya hanya berpikir bahwa mereka memiliki kebutuhan mendesak yaitu makan. Apalagi, mereka juga tinggal bersama anak-anak.

Saya bersama seorang teman kemudian berkunjung ke sebuah komunitas ini, di lokasi mereka tinggal. Saya intens berkomunikasi dengan mereka. Saya kemudian mengetahui informasi mengenai asal bantuan yang mereka terima. Hanya ada satu lembaga swasta yang membantu mereka. Komunitas mereka kerap terabaikan dalam pemberian bantuan selama pandemi Covid-19.

Seorang teman transpuan yang kerap bertemu dengan saya juga mengalami kesulitan untuk bekerja. Hal yang sama juga dialami teman-temannya. Bantuan lebih banyak berasal dari individu dan lembaga swadaya. Dari cerita mereka tergambar adanya sebentuk pengabaian hak sekelompok warganegara.

Posisi sebagai perempuan yang terpinggirkan

Dalam kondisi biasa, di luar bencana, para  pekerja seks dan transpuan termasuk kelompok yang terpinggirkan. Dalam situasi bencana, keterpinggiran mereka semakin terlihat jelas. Sebagai warga negara, pekerja seks dan transpuan juga dijamin dan dilindungi hak-haknya berdasarkan UUD 1945 yang tercantum dalam pasal 28-pasal 34.

Pekerja seks mengalami diskriminasi berlipat sebagai perempuan. Status pekerja mereka tidak diakui sehingga tidak masuk dalam perlindungan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Perempuan pekerja seks juga didiskriminasi karena pekerjaan sebagai pekerja seks itu sendiri.

Kondisi itu juga mirip dengan transpuan. Mereka hidup dalam bayang-bayang stigma moral. Mereka dihadapkan pada keterbatasan pilihan dan menerima perlakuan diskriminatif. Bahkan, mereka kerap disematkan kewajiban untuk dibina agar kembali ke ‘jalan yang benar’.

Bekerja sebagai pekerja seks dan menjalani kehidupan sebagai transpuan bukan hal yang mudah dan nyaman. Kekerasan yang mereka alami tidak terlaporkan. Selama ini banyak laporan human right yang belum memasukkan data kekerasan yang terjadi pada perempuan pekerja seks.

Menurut cerita salah seorang pekerja seks, sambil menunjukkan bekas-bekas luka di wajah, kepala, dan tangannya, kekerasan merupakan makanan sehari-hari bagi seorang pekerja seks. Pelaku kekerasannya, pengguna jasa maupun partner (pacar atau suami). Pengaduan juga kerap tidak bisa dilakukan oleh waria korban kekerasan.

Selain kekerasan fisik, pekerja seks dan transpuan juga mengalami diskriminasi oleh masyarakat dan negara. Stigma yang dilekatkan membuat pekerja seks dan transpuan dianggap layak untuk menerima perlakuan yang merendahkan dan kekerasan termasuk kekerasan seksual.

Tidak sedikit pekerja seks juga merupakan orangtua tunggal. Mereka memiliki anak tanpa suami atau partner yang ikut bertanggung jawab atas keberlangsungan hidup anaknya.

Di sebuah komunitas pekerja seks, bahkan di antara mereka, ada yang secara sukarela bersedia merawat dan membesarkan anak dari seorang ibu pekerja seks yang meninggal saat melahirkan atau sebab-sebab lainnya. Mereka menanggung tanggung jawab besar, beban ganda sebagai perempuan yang bekerja domestik dan pencari nafkah.

Terjebak Dalam Situasi

Profesi sebagai pekerja seks selama ini menjadi pilihan dengan berbagai latar belakang. Sebagian karena terpaksa untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tidak memiliki pilihan pekerjaan lain. Ada pula yang terjebak karena mendapat iming-iming tawaran pekerjaan, dan banyak lagi sebab lain.

Sebagai warga negara, pekerja seks berhak mendapat perlindungan hukum dan pelayanan kesehatan serta jaminan sosial lainnya. Untuk beralih profesi pun tergantung pada keputusan tiap individu. Beberapa alasan membuat pekerja seks ragu untuk beralih profesi, bisa karena tidak memiliki ijasah dengan level pendidikan tinggi, tanpa keahlian dan modal, kemudahan dalam memperoleh penghasilan, keterikatan pada induk semang dan tentu saja, perasaan keterasingan dan penolakan dari masyarakat.

Begitu juga dengan transpuan yang memiliki hak sama sebagai warga negara. Pilihan identitas gender merupakan pilihan pribadi, sama halnya dengan pilihan beragama, menikah, bekerja, atau bertempat tinggal. Namun, pilihannya itu menghadapkan mereka pada diskriminasi berlapis dari keluarga, sosial, hingga negara.

Mereka juga terbatas memilih pekerjaan karena diskriminasi. Tidak sedikit transpuan yang memilih menjadi pekerja seks karena keterbatasan pilihan pekerjaan. Kondisi mereka sebagai transpuan sekaligus pekerja seks rentan kekerasan seksual. Namun, saat mereka menjadi korban kekerasan, saluran pengaduan minim dan tanpa pembelaan hukum.

Solusi atas diskriminasi yang kerap ditawarkan adalah pelatihan keterampilan dan membuka peluang usaha. Upaya untuk mencari solusi atas permasalahan kelompok yang terpinggirkan memang perlu ditanggapi positif. Sayangnya, tawaran solusi tersebut lebih berlandaskan alasan moral ketimbang perbaikan kesejahteraan.

Padahal, sebagai negara anggota PBB, Indonesia juga ikut dalam agenda pembangunan berkelanjutan dengan menyertakan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang ditetapkan pada 25 September 2015. Prinsip SDGs tersebut adalah ‘tak seorangpun ditinggalkan”, maka apapun profesinya, negara wajib melibatkan dan menjamin kehidupan warga negaranya. Negara berkewajiban memberikan jaminan perlindungan hukum atas keselamatan, upah dan perlakuan diskriminatif.

Pengabaian pada profesi pekerja seks dan transpuan membuat mereka tidak terlindungi dari kekerasan. Walaupun terdapat pro dan kontra akibat stigma negatif, pekerja seks juga adalah manusia dan warga negara yang berhak atas hak-hak perlindungan pekerja dan kesejahteraan:

Beginning absurd

Declining the time

What I’ve done?

Sometimes I don’t want to be here

But I’m here anyway

I don’t know where to begin

Since the time is not belong to me anymore

I’m unmistaken path

Its them who wrongfully mind

To the world I could be the one

Who holding on my mind

I’m gonna sing

I’m gonna dance

It’s a dream that fly upon the sky

Flying to your door

Will you open it?

Fly to The Sky, mini album AMUBA, Yogya

(Lirik: Ernawati)

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Ernawati

Aktif di Lembaga Solidaritas Pelangi Nusantara Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!