Penyebaran Konten Intim Dan Bullying: Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online

Jumlah perempuan yang mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) melonjak tinggi. Ada perempuan yang dishare wajahnya atau tubuhnya di media sosial dan kemudian dibully tanpa klarifikasi, ini juga dialami sejumlah perempuan artis di Indonesia baru-baru ini. LBH APIK dan Komnas Perempuan melaporkan tentang tingginya angka KBGO yang jumlahnya di bawah angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Yang dialami sejumlah artis seperti Gisella Anastasia, Jessica Iskandar dan Anya Geraldine yang foto dan videonya disebarkan di media sosial dan kemudian dibully begitu saja ini termasuk dalam KBGO. Proses penyebaran tubuh perempuan dan proses pembencian tanpa klarifikasi inilah yang masuk dalam kategori KBGO

Tingginya angka KBGO menjadi keprihatinan banyak aktivis dan lembaga perempuan. Setelah Komnas Perempuan merilis catatan jumlah KBGO yang naik secara pesat, LBH APIK Jakarta juga menemukan hal yang sama. KBGO merupakan angka kekerasan tertinggi kedua yang dilaporkan selama masa pandemi di bawah angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin mengatakan dalam konferensi pers pada 24 November 2020, kebanyakan kasus KBGO tersebut terkait dengan kasus kekerasan seksual, seperti ancaman penyebaran bahkan penyebaran konten intim non konsensual atau tidak ada persetujuan yang menjatuhkan mental dan masa depan korban yang kebanyakan di usia muda.

LBH APIK juga menerima pengaduan yang sama. Di LBH APIK,  bentuk KBGO yang dilaporkan adalah pelecehan seksual secara online, ancaman penyebaran konten intim dengan motif eksploitasi seksual hingga pemerasan. Ini berarti perspektif tentang ruang aman tidak hanya harus terjadi dalam wilayah offline, tetapi juga  dibutuhkan dalam dunia digital.

Tunggal Pawestri, aktivis perempuan yang aktif berkampanye di media sosial menyatakan tingginya angka KBGO ini bisa saja terjadi karena perempuan selama pandemi banyak mendapatkan akses secara online lalu berani melaporkannya. Namun bisa juga, memang tingkat kesadaran perempuan yang semakin tinggi, maka para korban kemudian berani untuk melapor kekerasan yang dialaminya

Walaupun juga disadari bahwa secara online, akan sangat sulit untuk menemukan siapa pelaku kekerasannya.

“Ada foto intim perempuan yang dishare, namun justru disalahkan. Begitu mudah di media sosial melontarkan isu kebencian, apalagi jika ada isu feminisnya,” kata Tunggal Pawestri dalam konferensi pers 16 Hari anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2020: Gerak Bersama Ciptakan Ruang Aman Di Masa Pandemi yang dilakukan LBH APIK secara daring pada 24 November 2020.

Tunggal juga melihat adanya ancaman kriminalisasi di online, banyak perempuan yang mengalami ini. Tidak hanya selebritis atau artis yang mengalami, namun ada victim blaming, ada juga ancaman UU Pornografi dan UU ITE yang menimpa banyak perempuan pada umumnya.

“Maka kita harus memperjuangkan undang-undang yang melindungi korban KBGO. Lalu bagaimana legasi jika ada korban dan foto disebarkan ke publik, apa yang harus dilakukan? Lembaga perempuan bisa menyebarkan informasi dan menyeret pelakunya ke ranah hukum, karena saya melihat ada budaya menyalahkan korban dalam hal ini perempuan, dan ada yang mengalami depresi gara-gara ini.”

Dian novita dari LBH APIK menambahkan bahwa kondisi ini dengan sendirinya memberikan gambaran tentang tidak adanya ruang aman di dunia maya dan masih gagapnya lingkungan di dunia digital.

Dalam konferensi pers ini, pengacara LBH APIK, Tuani Sondang Marpaung memaparkan data yang dihimpun LBH APIK, yaitu terhitung sejak tanggal 16 Maret 2020 sampai November 2020, LBH APIK Jakarta telah menerima 710 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan. Pengaduan ini diterima LBH APIK Jakarta melalui hotline, media sosial, dan email.

Jumlah ini cukup tinggi mengingat pada tahun 2019, pengaduan dalam satu tahun mencapai 794 sedangkan pada tahun 2020, hanya dalam waktu 9 bulan saja jumlah pengaduan sudah mencapai angka 700an.

Dari 710 kasus, 5 kasus yang paling besar dilaporkan adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yaitu 225 kasus, menyusul adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) 196 kasus, kekerasan seksual 80 kasus, Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) 71 kasus, Pidana Umum 41 kasus. Pengaduan kasus KDRT masih  paling tinggi sama seperti yang disampaikan dalam catatan tahunan 2019 LBH APIK Jakarta.

Hal ini menjadi bukti bahwa rumah belum menjadi tempat aman bagi perempuan, dalam masa pandemi Covid-19 ini perempuan menjadi lebih rentan bukan saja rentan tertular virus tetapi juga rentan menjadi korban kekerasan karena berbagai faktor seperti ekonomi, psikologis, dan kesehatan.

“Ketika menjadi korban kekerasan, perempuan lebih sulit keluar rumah untuk melaporkan kasusnya. Penerapan bekerja dari rumah membuat pelaku dapat selalu memantau aktivitas korban. Dalam proses penanganan kasus kekerasan, perempuan korban kerap menghadapi kendala mulai dari tingkat pelaporan, penyidikan hingga proses pemeriksaan di pengadilan,” kata Tuani Sondang Marpaung

Beberapa korban kekerasan harus mengambil keputusan keluar dari rumah untuk menghindari pelaku, sementara situasi Covid membuat korban memiliki keterbatasan pilihan tempat tinggal. Selama masa pandemi Covid-19

LBH APIK Jakarta telah menyediakan rumah aman darurat untuk 35 orang perempuan dan anak dengan rincian 20 perempuan dan 17 anak baik laki-laki maupun perempuan.

“Permasalahan ini muncul karena dimasa pandemi banyak rumah aman yang tutup, sementara itu untuk mengakses rumah aman milik pemerintah harus melalui prosedur, terutama tes Covid-19 yang biayanya ditanggung korban. Pengadaan layanan rumah aman untuk perempuan korban kekerasan tentu memerlukan dana dan upaya yang tidak sedikit. Dalam memberikan layanan ini diperlukan “gerak bersama” seluruh pihak agar korban mendapatkan tempat aman yang layak dalam proses penyelesaian kasusnya.”

Untuk itu LBH APIK Jakarta melakukan donasi publik. Tidak sedikit kelompok masyarakat yang terlibat bahkan public figureinfluencer, dll. Salah satunya adalah House of Grace melalui co-founder nya Flo Harto juga turut serta menjadi bagian dalam menyediakan layanan rumah aman.

Flo Harto menyampaikan alasan House of Grace memberikan bantuan untuk rumah aman LBH APIK Jakarta, ini karena pentingnya untuk menyediakan tempat perlindungan aman untuk korban disaat kapanpun tanpa melalui prosedur yang menyulitkan korban.

“Bantuan penyediaan rumah aman sangat dibutuhkan oleh LBH Apik agar para penyintas LBH Apik dapat berlindung dengan tenang selama proses pendampingan hukum mereka berjalan, dengan adanya rumah aman, korban-korban lain yang belum percaya diri untuk meminta pertolongan akan lebih yakin menolong diri mereka dan anak-anak mereka nantinya.”  

”Sebelum mereka keluar dari lingkaran kekerasan, yang mereka pertimbangkan adalah di mana mereka akan berlindung dan tinggal, bagaimana mereka akan membiayai diri mereka dan anak-anak, Rumah Aman yang disediakan LBH Apik adalah langkah pertama dalam memberikan support untuk korban dan calon korban.”

Dalam kampanye 16 Hari anti Kekerasan terhadap perempuan ini dukungan dari kelompok seni juga sangat diubutuhkan. Tashoora sebagai perwakilan seniman mengatakan bahwa kampanye anti kekerasan harus selalu dihadirkan dan dikawal, tidak hanya berhenti di produksi karya namun juga mengawal proses advokasi kasus dan perubahan kebijakan yang memiki perspektif kesetaraan dan keberpihakan terhadap korban.

Oleh karena itu, dalam peringatan 16 Hari anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2020 ini, LBH APIK Jakarta mengajak seluruh lapisan masyarakat melakukan “Gerak Bersama” menciptakan ruang-ruang aman bagi kita semua untuk mencegah terjadinya kekerasan. Dan penyediaan layanan rumah aman yang mudah dijangkau oleh korban kekerasan dan terpastikannya korban kekerasan mendapatkan layanan test covid 19 secara gratis.

Kritik Terhadap Kebijakan Yang Tak Berpihak Pada Perempuan

LBH APIK dalam konferensi pers ini juga melakukan penolakan atas dibahasnya Rancangan Undang-Undang/ RUU Ketahanan Keluarga karena RUU ini justru akan semakin mempertajam ketimpangan antara posisi perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga. Pada pasal 25 RUU Ketahanan Keluarga lebih banyak memberikan beban kepada istri sekaligus mengekalkan stereotipe peran gender sehingga perempuan menjadi lebih rentan mengalami KDRT dan RUU ini jelas  melanggar   UU RI No 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita serta UU HAM.

Tingginya kasus KDRT baik pada masa Physical Distancing ini maupun sebelumnya,  membuktikan bahwa struktur keluarga dengan relasi gender yang timpang tsb sudah harus direkonstruksi. UU Perkawinan saat ini masih membakukan peran gender perempuan dan laki-laki dalam pasal 31 dan 34. Ketentuan ini juga harus diamandemen, bukan justru  direproduksi melalui RUU Ketahanan Keluarga yang tentunya akan semakin memperburuk situasi keluarga, terutama bagi  perempuan dan anak.

LBH APIK juga meminta DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, merevisi UU ITE yang banyak memakan korban dan sering digunakan pelaku dalam upaya pembungkaman terhadap korban.dan menegakkan implementasi UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga/ PKDRT, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang/ TPPO serta aturan dan kebijakan positif lainnya secara maksimal untuk kepentingan korban.

Lalu meminta pemerintah untuk memberlakukan Sistem Peradilan Pidana Terpadu untuk Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, termasuk layanan visum gratis dan rumah aman yang mudah diakses oleh korban.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!