Aktivis: Media dan Polisi Diskriminatif Memperlakukan Selebritis Transpuan

Media dan polisi dinilai diskriminatif dan transphobia dalam kasus penangkapan selebritis transpuan, M. Media menyebarkan data-data pribadi M dan menuliskan beritanya secara sensasional dan tak relevan. Polisi juga menempatkan M di sel laki-laki. Ini akan menimbulkan bahaya bagi keamanan M di dalam penjara

Penangkapan selebritis transpuan berinisial M pada Minggu (22/11/ 2020) dini hari di sebuah hotel di kawasan Jakarta Utara menjadi bahan pemberitaan media. M  ditangkap karena dugaan kasus tindak pidana narkotika.

Sehari kemudian, pada 23 November 2020, Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok, menggelar jumpa pers bahwa M yang transpuan telah ditetapkan sebagai tersangka dan akan ditahan dalam sel tahanan laki-laki. 

Menanggapi maraknya pemberitaan tentang M, Jaringan Transgender Indonesia (JTID) dan Konsorsium Crisis Response Mechanism (CRM) menyoroti dua hal tentang perspektif media terhadap kasus ini.

Kanzha Vina, aktivis Sanggar Suara mengatakan bahwa dalam pemberitaan di kasus ini, media menuliskan pemberitaan yang melanggar kode etik jurnalistik dengan menyebarkan data pribadi M dan keluarga. Dalam kasus ini, media juga memberitakan secara sensasional yang tak relevan dan justru menimbulkan bahaya bagi keamanan M di dalam tahanan.

“Hal ini bertentangan dengan kode etik jurnalistik dan hak atas privasi. Kedua, media tidak melakukan perspektif yang baik dalam pemberitaan kasus M yang berlandaskan hak asasi manusia dan keadilan, sehingga berita yang dihasilkan terkesan menyudutkan dan merugikan pihak M. Kondisi ini menimbulkan efek domino yang tentunya sangat merugikan serta membangun asumsi negatif di kalangan masyarakat tentang transgender,” kata Kanzha melalui siaran pers yang diterima www.Konde.co

Selain media, JTID dan CRM juga menyoroti keputusan Polres Pelabuhan Tanjung Priok yang justru melanggar aturan internal yakni Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 4 butir h Perkap No.8 tersebut menyebutkan konsep dasar perlindungan HAM antara lain:

HAM tidak membedakan ras, etnik, ideologi, budaya/agama/keyakinan, falsafah, status sosial, dan jenis kelamin/orientasi seksual, melainkan mengutamakan komitmen untuk saling menghormati untuk menciptakan dunia yang beradab; dan…”. Selain itu, Pasal 6 butir h aturan yang sama mengatakan bahwa HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yang termasuk dalam cakupan tugas Polri, meliputi, “hak khusus kelompok minoritas,…., dan orientasi seksual.”

Dalam kasus penangkapan M, polisi telah bersikap diskriminatif karena tidak mengakui ekspresi gender dan identitas gender seseorang.

“Kondisi di atas akan secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak bagi kelompok transgender di Indonesia. Di mana semakin meningkatnya perlakukan diskriminatif terhadap kelompok transgender dan menempatkan kelompok transgender dalam situasi yang krisis. Selain itu, publikasi dan pemberitaan media yang menyebutkan nama lahir transgender adalah kondisi yang melukai hati setiap transgender di Indonesia dan semakin jauh dari cita-cita pemenuhan Hak Asasi Manusia yang universal di Indonesia,” tutur Khanza.

Berdasarkan laporan berjudul Jalan Panjang untuk Penerimaan: Analisis Situasi Transpuan di Indonesia yang ditulis oleh Sanggar Suara pada 2019 lalu, masih banyak media yang mengabaikan kode etik jurnalistik dan perspektif hak asasi manusia dalam memberitakan isu transgender. Seperti dalam kasus M, media justru menjadi pelaku diskriminasi dengan menyebarluaskan identitas pribadi M dan keluarga.

Jika berpegang pada prinsip Hak Asasi Manusia, media seharusnya mengawal kasus ini untuk memastikan pemenuhan hak M di dalam tahanan serta memastikan keamanan M.

Vina pun meminta kepada pihak kepolisian untuk memastikan pemenuhan hak-hak tersangka dalam proses penyidikan dan memastikan keamanan M dengan mengedepankan prinsip Equality Before Law yang inheren dengan prinsip HAM, sehingga dalam kasus ini, tersangka berhak bebas dari perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif.

Penempatan M di ruang tahanan laki-laki tentu merupakan bentuk sikap diskriminatif kepolisian atas identitas gender dari M yang mengidentifikasi dirinya sebagai transpuan. Sikap polisi ini merupakan bentuk transphobia dalam mekanisme penanganan kasus transgender.

“M merupakan korban dari pemberitaan media yang transphobia ini membentuk opini masyarakat untuk melakukan penghakiman kepada M dan komunitas transgender secara umum. Hal ini kemudian diperkuat dengan pernyataan dan perlakuan pihak kepolisian yang memandang masalh ini dengan perspektif yang sangat biner,” tutur Vina.

Masyarakat harus sadar bahwa M merupakan seorang manusia dan warga negara yang harus dihormati hak asasinya dan berhak mendapatkan perlakuan yang manusiawi. Masyarakat wajib menghentikan perundungan terhadap M baik secara offline maupun di media sosial.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!