Sanksi Untuk Rumpi No Secret, Tak Selesaikan Sensasionalisme Perempuan

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjatuhkan sanksi penghentian sementara tayangan Televisi “Rumpi (No Secret)” di Trans TV selama dua kali penayangan pada 12-13 November 2020. Dalam siaran tersebut ditampilkan jual beli celana dalam DJ, Dinar Candy. Tayangan ini memang sangat buruk, namun sanksi KPI atas nama kesopanan perempuan juga tak menyelesaikan sensasionalisme tubuh perempuan di televisi

Keputusan pemberhentian program ini berdasarkan keterangan surat penghentian sementara yang dikeluarkan dan ditandatangani Ketua Komisi Penyiaran Indonesia/ KPI Pusat pada akhir Oktober 2020.

KPIdalam pernyataan pers nya menyatakan tayangan “Rumpi (No Secret)” kedapatan melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Ada sembilan pasal dalam P3SPS yang dilanggar tayangan tersebut.

Adapun pelanggaran yang dilakukan “Rumpi (No Secret)” ada di tanggal 24 September 2020 pukul 14.04 WIB yaitu berupa tampilan wawancara host Rumpi, Feni Rose kepada DJ Dinar Candy dan Bobby Tria Sanjaya terkait jual beli pakaian dalam milik Dinar Candy di sosial media.

Kira-kira percakapannya seperti ini:

Dinar Candy dalam tayangan program ini mempromosikan celana dalamnya yang sebelumnya telah disebarkan di media sosial:

“Aku tidak punya penghasilan yang jelas selama Corona, sekarang ditambah lagi PSBB. Jadi aku mau jual beberapa barang-barang aku, salah satunya aku mau jual celana dalam aku Rp. 50 juta, jadi ini sudah dipakai guys, jadi yang minat kalian boleh whats app asisten aku ini nomernya kucantumin di bawah, ini serius ya guys, jadi aku gak main-main. Makasih.”

Lalu Feni Rose mengkonfirmasikan ini ke Dinar Candy:

“Fitnah atau fakta apakah kamu menjual celana dalam 50 juta ke bobby yang sebenarnya harganya 300 ribu untuk gimmick menarik follower kamu?”

“Bagaimana Bobi bisa dan 2 follower kamu mau beli ini? Apa istimewanya celana dalam kamu? Ada tulisan Dinar Candy?,” tanya Feni Rose lagi pada Dinar Candy

Lalu dalam tayangan ini juga ditampilkan Bobby Tria Sanjaya, seorang youtuber yang membeli celana dalam Dinar dan dikonfirmasi Feni Rose dan Dinar.

“Apakah ini strategi Pansos? Karena follower Bobby naik drastis,” tanya Feni Rose

Jawaban Bobby, ternyata ia mengidolakan Dinar Candy selama ini:

“Sebenarnya saya mengidolakan Dinar Candy, sebenarnya tanya dulu (untuk beli celana dalam), lalu dia nantang dan aku tertantang.”

Lalu ada pertanyaan-pertanyaan personal soal pacar Bobby:

“Apakah pacar Bobby cemburu karena pacar Bobby seperti marah melalui media sosial?,” tanya Veni Rose lagi

“Kamu kaya dong, ya? Dimana saja pendapatan kamu? Pacar kamu sepertinya marah ya, ini kita lihat pacarnya Bobby marah di media sosial.”

Tayangan seperti ini adalah tayangan yang selalu menjadikan sensasionalisme tubuh perempuan sebagai sasaran empuk televisi, jika tak membicarakan celana dalam, maka tayangan talk show infotainment ini akan mengulit hal-hal personal seperti:

“Pacar kamu siapa?”

“Kekayaan kamu berapa?”

“Sudah cerai ya?”

“Putus pacar?”

“Baju kamu kog seksi.”

“Baju kamu kurang ke bawah.”

Pertanyaan-pertanyaan itu yang selama ini ditujukan pada artis pada tayangan talkshow seperti ini.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan wawancara tentang jual beli pakaian dalam sangat tidak pantas disiarkan di ruang publik. Menurutnya, hal ini tidak menghargai nilai-nilai dan norma kesopanan serta kesusilaan yang berlaku di masyarakat.

“Tidak ada nilai dan juga manfaatnya dari tayangan itu bagi masyarakat. Apa juga korelasinya dengan kepentingan publik soal jual beli pakaian dalam. Jangan karena persoalan itu viral di media sosial, harus selalu masuk ke dalam ranah publik. Penyiaran itu mesti dimanfaatkan untuk hal yang baik dan berdampak positif,” jelas Mulyo melalui pers releasenya pada Senin (9/11/2020).

Selain itu, lanjut Mulyo, tayangan itu dinilai tidak mengindahkan aturan tentang perlindungan terhadap anak dan remaja. Seharusnya, program siaran dengan klasifikasi R atau Remaja yang disiarkan di jam-jam seperti ini.

Tubuh Perempuan dan Industri Televisi

Sepertinya tubuh perempuan adalah tubuh yang selalu “menarik” (baca: eksploitase) dan diperbincangkan. Setelah video viral mirip artis perempuan, dan kini adalah soal celana dalam perempuan.

Sensasionalisme tubuh sebenarnya sudah terlalu sering dilakukan di televisi. Tubuh perempuan selalu dianggap menarik dan layak untuk dieksploitase: dari tubuh yang sedikit terbuka, hingga celana dalam yang juga diceritakan dalam talkshow setengah jam.

Namun sayang, seperti biasa KPI hanya memberikan sanksi pada sejumlah program dan tidak memberikan sanksi pada banyak program lain yang serupa: menggosipkan personal dan menjadikan perempuan tubuh yang sensasional atau lebih tepatnya memberikan sanksi namun membiarkan program-program seperti ini tetap ada

Hal lain yang dilakukan KPI yaitu memberikan sanksi berdasarkan kesopanan. Padahal ini bukan tentang kesopanan—seolah-olah perempuan harus sopan dan laki-laki tidak—namun ini adalah eksploitase atas sensasionalisme tubuh perempuan yang dilakukan televisi yang telah lama dibiarkan.

Jika memberikan sanksi tentang kesopanan, jangan jangan KPI terjebak pada penilaian bahwa perempuan harus sopan, membicarakan celana dalam tidak sopan. Namun tak membicarakan soal memperbincangkan perempuan yang mengganggu personalitas di tayangan infotainment. Buktinya tayangan seperti ini selalu ada setiap hari: ini pacaran ini, ini cerai sama itu.

Sepertinya jika bicara celana dalam tak boleh, tapi membicarakan hal personal yang mengganggu, tetap saja dibiarkan karena selalu membicarakan hal personal selalu diidentikkan dengan tayangan hiburan yang banyak disukai penonton

Representasi tubuh perempuan dalam media selama ini untuk memenuhi ekspektasi tatapan pria (male-gaze). Oleh karena itu, tubuh menjadi sasaran atas berbagai aturan sosial, yang termasuk mengatasnamakan moral kesopanan seperti dalam sanksi KPI.

Myra Macdonald dalam “Representing Women, Myths of Femininity in the Popular Media”, mengungkap secara historis, tubuh lebih diidentikkan sebagai bagian dari identitas perempuan ketimbang laki-laki. Tubuh perempuan merupakan pusat untuk identitas feminin yang penampilannya diatur dalam berbagai instruksi yaitu bentuk dan ukuran tubuh ideal, make-up dan kosmetik yang cantik, dan dandanan lewat pakaian serta aksesoris. Pengaturan tubuh perempuan itulah yang, dalam kasus larangan KPI untuk Rumpi No Secret, dikomodifikasi oleh televisi.

Penelitian Remotivi di tahun 2012 tentang bagaimana media mengkonstruksi tubuh perempuan di televisi menemukan bahwa kekerasan terhadap perempuan di lingkup media dilakukan dari kekerasan fisik yang dilakukan secara langsung, kekerasan simbolik melalui narasi-narasi yang mendukung objektifikasi dan subordinasi terhadap perempuan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menerapkan pemberian sanksi pada perempuan di media menggunakan Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi yang justru mencampuradukkan perkara kekerasan terhadap perempuan dengan perkara moralitas. Semangat yang terkandung dalam Undang-undang Pornografi justru mengatur agar tubuh perempuan wajib taat pada kode-kode moralitas tertentu. Akibatnya, ketika bagian tubuh perempuan itu, misanya belahan dada, tampil tidak dalam konteks seksual dan tidak disertai dengan objektifikasi, KPI  menetapkan sanksi karena memandang penampakan bagian tubuh tersebut sebagai sesuatu yang melanggar norma kesopanan dan kesusilaan.

Penyikapan KPI ini kemudian menempatkan perempuan malah menjadi korban dua kali: sudah dieksploitasi oleh televisi, lalu mendapat sanksi juga dari KPI (secara tidak langsung).

KPI juga menyebutkan bahwa kemunculan kekerasan, bias gender, atau berbagai masalah lain di layar televisi ini sangat dipengaruhi oleh mekanisme pasar yang menggerakkan industri televisi. Jenis muatan ini memang (katanya) mendatangkan untung yang besar namun membiarkan stereotype pada perempuan yang mengakibatkan diskriminasi terus terjadi

Problem seperti ini terjadi terus-menerus dan selalu dibiarkan, akibatnya inilah yang terjadi: obyektifikasi terus menerus yang terjadi pada tubuh perempuan di televisi

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!